[NOVEL] Earthshine - BAB 4

Penulis : Suarcani

Namanya Alvin Terra Pradana. Asli Palembang, tetapi lahir dan besar di Surabaya. Umurnya 29 tahun dan ini adalah tahun ketiganya mengajar. Dia salah satu lulusan cumlaude untuk S1 dan S2, di kampusku yang berlokasi di kawasan Pulo Gadung. Selain itu, dia juga mendapat predikat mahasiswa terpintar di angkatannya dan hanya perlu menunggu setahun setelah tamat S2 untuk diangkat menjadi dosen. Aku tahu tiga fakta itu hasil ilmu stalking yang sudah setingkat planet. Sayang, buntungnya juga nggak bisa ditolak. Karena terlalu semangat stalking, aku jadi tahu kalau dia sudah punya pacar.

Nama cewek beruntung itu adalah Shireen. Mukanya kayak orang blasteran. Dari umur, kayaknya sih sebaya sama Pak Alvin. Dari foto-fotonya, gaya hidupnya tampak glamor. Dan yang bikin aku ngiri itu, dia cantik banget. Kerjaannya juga keren, di hotel bintang lima terkenal yang cabangnya ada di seluruh dunia. Dari Instagramnya, kelihatan doi memang sering pindah-pindah dan sekarang sedang ada di Pattaya.

Teman-teman langsung lemas ketika membaca hasil penelusuranku. Mereka juga nyalahin aku karena menginjak-injak mimpi indah mereka untuk jadi pendamping Pak Alvin. Lha, aku kan hanya memaparkan fakta. Lagi pula, mimpi mereka ketinggian banget sih mau jadi pendamping hidupnya Pak Alvin. Aku aja yang relatif lebih sering komunikasi aja nggak berani berharap apa-apa. Bagiku ya, meskipun yang namanya cinta itu konon nggak mengenal status dan umur, cuma tetap aja dia dosen. Hubungan pribadi antara mahasiswa dan dosen itu adalah skandal.

Aku nggak mau bikin skandal di kampus, karena itu Pak Alvin cuma aku anggap sebagai idola. Aku ke Pak Alvin itu cuma fangirling. Aku udah punya pacar, yang meskipun nggak sayang-sayang amat, tetapi cukup berharga untuk aku tinggalin demi mengejar orang yang nggak mungkin dikejar.

Ah, omong-omong soal Fajar, cowok itu masih menunggu di selasar. Tampangnya cemas luar biasa saat melihatku keluar dari ruang dosen.

"Lan, kamu beneran diusir dari kelas?" tanyanya.

"Ya... kayaknya sih gitu," sahutku malas.

"Kok, kayaknya? Alasannya apa?" Cecarnya.

Aku menghela napas. Dia tahu aku diusir dari kelas, mustahil tidak tahu alasannya. Kenapa sekarang pakai nanya lagi sih?

"Kamu lagi ada masalah?" cecar Fajar saat aku tidak menyahut.

Aku menggeleng. "Nggak ada apa-apa, sumpah. Aku baik-baik aja, cuma agak eror dikit."

"Yang bikin kamu eror apaan?"

"Bukan apa-apa, cuma nggak konsen doang."

"Ya itu, pasti ada masalah kan sampai kamu nggak konsen gitu?" cecarnya.

"Udah aku bilang, aku nggak ada masalah apa-apa ah!" sahutku, mulai lelah.

Fajar menggeleng. Mimiknya masih sama seriusnya. "Bulan, aku kenal kamu nggak sehari dua hari. Nggak biasanya kamu sampai nggak konsen gitu di kelas, pasti ada apa-apanya. Cerita dong sama aku, siapa tahu aku bisa bantu!"

Aku bengong. Ini cowok tapi kok bawaannya ngeyel banget? Kayak Papa aja. Harus sampai kayak gimana aku ngomongnya, aku lagi nggak ada masalah. Lagian, emang orang kehilangan konsen itu melulu karena masalah? Nggak, 'kan?

Malas berdebat, akhirnya aku berkata. "Aku agak capek, banyak tugas, begadang sampai pagi." Jawaban itu biasanya mempan. Fajar tahu kalau aku ngebut kuliah dan ingin tamat cepat.

"Dari kemarin-kemarin, kamu biasa begadang. Bahkan nggak tidur malah. Besoknya biasa aja. Nggak pernah sampai melamun gitu di kelas, secapek apa pun, kamu yang paling semangat kalau masuk kelas," sahut Fajar dengan wajah dramatisnya.

Aku bengong. Masuk kelas sehabis begadang menyelesaikan tugas memang lumayan melelahkan. Namun, hari ini urusan itu jadi seukuran biji jagung ketimbang menghadapi orang ini. Belajar itu nggak melelahkan, yang capek itu meladeni pacar yang cerewet berlebih kayak si Fajar ini.

Aku geleng-geleng, lalu berbalik.

"Lha, kamu mau ke mana, Lan?"

"Beli kancing baju!"

"Tapi kita kan lagi ngomong," teriak Fajar lagi.

"Emoh ngomong ama kamu ah!" sahutku sambil mengacak rambut, kayak orang frustrasi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Eh benaran, aku kadang sampai ngerasa frustrasi kalau ngomong sama Fajar. Anaknya cerewet banget. Semua hal harus jelas di depannya atau dia bakal terus mencecar sampai kasus benar-benar tuntas. Aku capek lahir batin menghadapi dia dan kelamaan, aku curiga kalau jawaban asal ke Pak Alvin tadi sebenarnya keluar dari hatiku yang paling dalam.

Apa emang aku mulai bosan ya sama Fajar?

*

Windri, teman sekamarku, sudah di kos ketika aku tiba. Dia sedang makan di karpet bersama pacarnya, Robi. Aku langsung nimbrung dan mengejek keduanya. "Ya ilah, asyik ya, makan sebungkus berdua. Belajar irit sejak pacaran nih ceritanya?"

"Nggak usah usil deh, Lan," tegur Robi.

Kami bertiga seangkatan, satu jurusan pula. Aku kenal dengan Windri saat pemberkasan sewaktu pendaftaran kembali, ngobrol, saling menanyakan soal kos. Sama-sama merasa butuh, kami akhirnya sepakat untuk berbagi kamar.

Aku duduk di sebelah Windri lalu mencomot paha ayam yang tersisa. Keduanya berteriak, melarang. Tetapi percuma, ayamnya sudah masuk ke mulut. Mereka mencak-mencak, aku sih ketawa aja.

"Sial lo ya, kita sengaja sisain untuk makan paling akhir!" maki Windri.

"Salah sendiri," sahut aku sambil mengunyah. "Makanya, yang enak-enak itu makan duluan. Sebelum diembat orang."

"Pengalaman pribadi kayaknya nih," sindir Windri.

Aku terkekeh. Betul, itu hal yang biasa kulakukan jika makan bersama Fajar. Kami akan saling lirik lauk masing-masing, lalu saling comot setiap ada kesempatan. Menurutku itu wajar sih, aku bayar sendiri makananku. Fajar juga bayar makanannya dia sendiri.

Yang kudapat dari Fajar itu hanya sebongkah kecil lauk, bukan seporsi makan pagi, makan siang bahkan sampai makan malam seperti yang didapat Robi dari Windri. Rahasia saja ya, Robi ini tipe pacar yang parasit. Apa-apa ngerepotin Windri, bahkan sampai urusan odol. Aku sudah sering menegur Windri, tetapi cewek itu kayaknya sudah telanjur bebal untuk dijejali nasihat.

"Gue dengar lo diusir dari kelas sama Pak Alvin, kenapa?" tanya Robi.

"Ya ampun, sepopuler itukah gue sampai lo yang jarang ngampus aja juga tahu?" seruku sambil memasang tampang heboh.

"Gue ikut rapat studi banding sama jurusan, bukannya bolos," sahut Robi membela diri. Dia ketua HM Akuntansi, kegiatannya seabrek.

"Oh begitu. So, tujuannya jadi ke Bali nih?" tanyaku. Studi banding merupakan program wajib dari program studi untuk mahasiswa semester VI. Walau visi misinya seram-seram, sudah rahasia umum kalau mayoritas kegiatannya itu diisi dengan kunjungan wisata.

"Sepertinya nggak, tiket ke Bali mahal. Nanggung, mending ke luar," sahut Robi.

"Ke luar negeri maksudnya?" tanyaku semringah.

"Opsi awalnya ke Thailand katanya," sela Windri dengan semangat.

"Mau mau mau, gue mau kalau ke Thailand!"

"Tapi harus bikin paspor dong?" cetus Windri.

"Gampang mah urusan itu!" sahutku enteng. Betul, itu pekerjaan remeh. Hanya ngurusin paspor mah kecil. Usahanya nggak sebanding sama tujuan studi banding kami. Lagian, kapan lagi bisa minta duit buat jalan-jalan ke luar negeri sama Papa?

*

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Earthshine - BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya