[NOVEL] Juragan-BAB 1

Penulis: Heri Widianto

Bab 1 : Panggul

 

Seorang laki-laki berperawakan tegap dengan kumis tipis dan cambang yang dicukur rapi, bercelana longgar warna hitam dan dipadu dengan baju lurik mirip dalam lakon wayang orang, terlihat sedang memandang ke kejauhan dan sempat menekan paru-parunya sedikit lebih dalam untuk bernapas. Sembari berdiri, Cokro terlihat sesekali mengangguk, sewaktu berselisih jalan dengan orang-orang yang akan menuju ladang tembakau tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Kegiatan yang hampir setiap hari Cokro lakukan.

Sebelum memulai kegiatan menyambangi ladang tembakau saban pagi, Cokro sudah lebih dulu membuat cethe dari sisa kopi yang sudah diteguknya sampai habis, mengoleskannya pada batang rokok keretek yang dibuatnya sendiri. Orang-orang menyebutnya dengan ngelinting dewe atau tingwe.

Beberapa hari ini, rasa-rasanya Cokro tidak dapat tidur nyenyak. Dia baru bisa terpejam saat bandul jam di ruang tamu menunjuk angka empat dan bunyinya bisa menembus sampai tembok kamar. Pikirannya menjelajah ke mana-mana. Salah satunya, ke ladang tembakau miliknya yang seluas lima bau, atau orang-orang lebih mudah menyebutnya dengan tiga setengah hektare. Semingguan ini, ayam jagonya beberapa kali berkokok pada tengah malam, menambah keruwetan pikiran Cokro saja, sejak dia menemukan sendiri kejanggalan pada panen tembakau miliknya sembilan bulan yang lalu.

Ada yang bikin hasil ladangku, pikirnya.

"Sugeng enjang [1], Pak Cokro," sapa Mulyono, salah satu buruh tani trengginas [2] yang dipercayainya untuk mengawasi ladang. Dia sampai harus mengatur napas karena setengah berlari dari tengah ladang menuju tempat Cokro berdiri.

"Iya, Mul."

Saat Mulyono sudah beres mengatur napas, dia langsung melontarkan pertanyaan kembali, "Pagi sekali Bapak sudah ada di ladang?"

"Tiba-tiba pengin jalan-jalan pagi, Mul. Mau lemasin otot kaki sama pikiran yang lagi penuh, sekalian mau hirup udara segar. Kamu sendiri kok pagi-pagi sudah ada di sini. Apa ada masalah sama tembakaunya?"

"Bapak sendiri yang nyuruh saya periksa galengan kemarin, soalnya kata Bapak kurang lebar. Itu, sudah saya kerjakan separuh lebih, Pak. Nanti dilanjut lagi, soalnya masih ada perlu di rumah."

"Kan, bisa nanti ngerjainnya, tho?" tanya Cokro, seolah butuh penjelasan lebih.

Kerutan di dahi Mulyono terlihat nyata, saat mencoba menganalisis pertanyaan semacam itu keluar dari mulut juragannya. "Bapak yang minta pagi-pagi saja buat kerjakan soalnya kalau siang tanahnya bakal keras. Bukan begitu?"

Menilik informasi yang seharusnya semakin mencurigakan, otak Cokro sepertinya tak mampu memberikan timbal balik berupa penyanggahan, mengenai Mulyono yang sedang berbohong atau dia sendiri yang lupa dengan perintahnya. Jadi, Cokro hanya mengangguk saja, saat membalas kalimat Mulyono.

"Pak Cokro apa sudah kepanggih [3] sama anaknya Sapto?"

Cokro seperti sedang mengingat-ingat siapa Sapto yang dimaksud. "Anaknya Sapto memangnya kenapa?"

"Anaknya Sapto hilang, Pak. Katanya, waktu malam-malam kemarin disuruh pulang sama Sapto soalnya masih main obak delik [4] sama teman-temannya di kebun samping rumahnya, kok, nggak nyahut-nyahut, padahal teman-temannya sudah pulang semua. Sampai pagi tadi, anaknya belum pulang-pulang juga dan lumayan bikin gempar kampung, pas dicari ke mana-mana belum ketemu juga. Dicari di sungai, di tetangga-tetangga, di kebun, di ladang juga, nggak ketemu."

Begitu gambaran Sapto yang berperawakan sedikit bungkuk dan selalu menyumpah setiap kali kakinya menginjak batu lancip muncul dalam otak Cokro, dia baru bisa membayangkan rupa anak Sapto. Dia pun langsung menimpali obrolan pagi harinya yang tak terlalu penting itu agar dapat melanjutkan menghirup udara pagi, tanpa gangguan lagi. "Ini kamu lagi ngomongin si Bendol yang biasanya bantu-bantu Sapto di ladang itu, tho?"

"Leres [5], Pak. Anaknya memang pernah nggak pulang ke rumah sekali, paginya terus ketemu tidur di lincak yang ada di depan rumahnya Bagyo. Yogane pancen mbelis [6], soalnya memang anak satu-satunya."

"Kamu, ya, ikut nyari?"

Mulyono menggeleng pelan. Wajahnya yang cekung dan matanya yang membulat, seolah tak cocok dengan wajah merasa bersalah karena Mulyono seperti tidak mampu mewujudkannya.

"Ya, sudah. Semoga cepat ketemu."

"Inggih [7], Pak."

"Aku mau nerusin regangin otot kaki dulu," Cokro pamit. "Mul, cangkulmu jangan sampai lupa dibawa pulang. Nanti hilang malah nggak bisa kerja."

"Inggih, Pak. Matur nuwun."

Langkah kaki pelan milik Cokro mulai menyibak satu demi satu hal yang menjangkiti pikirannya, saat ladang tembakau dan palawija terlihat begitu luas di depannya, mengapit jalan yang dilalui oleh Cokro, sementara di sebelah kirinya mengalir sungai cukup deras aliran airnya dan tanaman jarak tumbuh subur di tepian sungai.

Pikiran Cokro terpecah dan mengarahkannya langsung ke adu pendapat dengan putra semata wayangnya―Danu―saat mereka sedang makan malam dan sempat membuatnya naik pitam.

Belum lagi otak Cokro yang mencoba mengurai kenapa semakin sulit menjelaskan masa depan dan juga bisnis yang digelutinya dengan menjadi juragan tembakau di Desa Maesan, hal tersebut sepertinya tidak begitu menarik bagi Danu.

"Pak," Mulyono menyusul langkah kaki Cokro, sementara cangkul berada di pundaknya yang liat. "Anaknya Sapto sudah ketemu. Bapak mau ikut lihat?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Cokro mengangguk dan mengikuti langkah kaki Mulyono yang bergas.

Di satu rumah kecil, berdinding anyaman bambu dan berpagar bambu utuh setinggi pinggang orang dewasa, berlantai tanah yang ditepuk setiap hari dengan sapu lidi dan air hingga terlihat liat, orang-orang sedang berkerumun di depan rumah Sapto dan tak ada yang berani mendekat, begitu mendengar sumpah serapah milik Sapto mengudara. Dan, sempat terdengar oleh Cokro dan Mulyono, saat mereka baru melangkahkan kakinya di depan pagar.

"Minggir semuanya ...." Mulyono seolah mencarikan jalan buat Cokro lewat.

"Isuk-isuk wis arep golek perkoro [8]...."

Reaksi wajah marah yang ditunjukkan oleh kerumunan saat mendengar kalimat Mulyono, segera berubah menjadi senyuman, begitu Cokro melangkah menuju halaman rumah Sapto.

"Mas Sapto ...."

"Opo?" teriak Sapto dari dalam rumah.

"Pak Cokro ke sini, Mas."

Suara tinggi Sapto sedikit berkurang, sewaktu melangkahkan kakinya dari dalam rumah, menuju Cokro yang pelan-pelan mengangguk.

"Bapak kok pagi-pagi sudah ke sini. Mari masuk, Pak. Di luar masih dingin," tawar Sapto, memberi jalan kepada Cokro untuk melangkah.

"Anakmu nggak apa-apa?" tanya Cokro, saat membungkuk karena atap bagian depan rumah Sapto terlalu rendah untuk tinggi badannya yang menjulang.

"Bendol memang nakal anaknya, Pak. Semalam tidak pulang. Saya tanya belum dijawab-jawab juga. Semalam ngeluyur [9] ke mana juga jawabannya tidak tahu. Nah... Jinah, kowe iki nang endi, tho. Iki, lho, enek [10] Pak Cokro."

"Sekedap [11], Mas," suara Jinah, istri Sapto terdengar dari arah dapur. "Sekalian saya mau buatkan teh buat Pak Cokro."

"Bilang ke istrimu, nggak perlu dibuatkan teh. Aku ke sini cuma sebentar. Mau lihat anakmu, thok. Habis itu harus balik ke rumah, soalnya ada yang mau mampir ke rumah buat lihat panenan tembakau."

"Mboten menopo, Pak. Sekedap, nggih [12]." Sapto menyusul istrinya di dapur dan meninggalkan Cokro beserta Mulyono di ruang tamu.

Pandangan mata Cokro langsung tertambat pada Bendol yang sedang duduk dan terdiam, sejak mereka datang. Cokro mencoba mendekat dan duduk di sebelahnya.

Saat Bendol menatap mata Cokro, tangisnya langsung pecah dan Cokro pun berdiri dari tempatnya duduk. Mematung untuk beberapa saat lamanya.

Mulyono yang berada tak jauh dari Cokro, sontak berteriak, saat tiba-tiba saja mendengar raungan Bendol. "Kowe kenek opo [13]?"

Telunjuk Bendol langsung terulur kepada Cokro yang tak siap mendapati perlakuan seperti itu.

Sapto dan Jinah yang berlari dari arah dapur, langsung membaur dengan Mulyono yang sedikit kebingungan.

"Demit [14], Pak!"

Setelah Bendol menatap bahu Cokro cukup lama, pandangannya beralih kepada pintu yang sedang terbuka lebar. Hal teraneh yang empat orang tak pernah temui selama hidupnya adalah Bendol tertawa terbahak-bahak untuk beberapa saat lamanya.

"Anake awake dewe kenek opo, Pak [15]?" tanya Jinah. Tampak kepanikan di wajahnya, saat mendekat kepada Bendol yang kini sedang menandak.

Sapto hanya sanggup menggeleng dan menatap lurus kepada Mulyono yang tak juga mengatupkan bibirnya. Pertanyaan demi pertanyaan berjejalan di kepala mereka, tetapi belum juga ada satu jawaban yang tepat untuk menjelaskan situasi janggal tersebut.

 

[1] selamat pagi
[2] lincah
[3] tahu
[4] permainan petak umpet
[5] betul
[6] anaknya memang nakal
[7] iya
[8] pagi-pagi sudah mau cari perkara
[9] main
[10] kamu di mana, tho. Ini, lho, ada
[11] sebentar
[12] tidak apa-apa, Pak. Sebentar, ya
[13] kamu kenapa?
[14] hantu
[15] anak kita kenapa, Pak?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Juragan-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya