[NOVEL] Juragan-BAB 2

Penulis: Heri Widianto

Bab 2 : Seteru

 

Sesaat setelah membuka pintu gerbang berukir Jepara, dengan tangkai relung memanjang dan melingkar di sisi-sisi pintu dan juga berfungsi sebagai pagar depan rumahnya yang luas, suara sapu lidi yang bergesekan dengan tanah masih saja terdengar oleh Cokro dari samping rumah, begitu dia kembali dari rumah Sapto yang sudah lebih tenang dari sebelumnya, saat beberapa orang mulai dipersilakan masuk oleh Sapto untuk melihat keadaan Bendol yang kembali seperti semula. Terbengong.

Setelah Bendol ditemukan di bawah pohon sawo ijo [1] yang berumur puluhan tahun, bersanding dengan sumur tua yang sudah tidak digunakan lagi dan pernah ditutup oleh warga namun dibuka kembali, setelah kerasukan menimpa salah satu keluarga yang tinggal tidak jauh dari sana. Mereka menuntut agar sumur dibuka kembali atau akan menghantui seluruh desa. Satu desa sempat geger, sewaktu keluarga tersebut meminta daharan [2] berupa rokok kelobot, telur ayam mentah sebanyak tujuh, bunga tujuh rupa dan memakan semua itu dengan lahap. Dan setelah sadar, mereka muntah-muntah dan sakit perut selama tiga hari.

Bayangan Bendol yang menunjuk bahunya masih lekat diingatan, sampai Cokro tidak sadar sudah sampai rumah. Langkah kakinya terhenti, begitu melihat Danu keluar dari dalam rumah dengan langkah tergesa.

"Saya berangkat dulu, Pak," pamit Danu pelan, sembari meraih sepeda pancalnya.

"Mau berangkat ke mana?"

"Berangkat ngajar, Pak."

Senyum mengejek terlihat jelas di bibir Cokro dan berbanding lurus dengan tatapannya, saat Danu mendekat ke arahnya dan akan melaluinya. "Pancen bocah ora duwe dhur [3]."

"Nanti saya bantu Bapak di ladang setelah selesai ngajar. Saya sudah janji sama anak-anak, kalau hari ini mau datang ke balai. Nggak enak, Pak, kalau sampai dibatalkan lagi."

"Sekalian kowe [4] nggak usah datang. Aku bisa awasi ladang sendirian. Banyak juga yang mau bantu. Gusti, punya anak satu ora iso di-ngenger [5]."

Kekecewaan jelas terpancar dari wajah keduanya, begitu mereka memilih jalan masing-masing. Danu melanjutkan menuntun sepeda pancalnya keluar dari halaman rumah, sementara Cokro melangkah gesit ke dalam rumah gedongan yang dia bangun setelah pabrik rokok yang baru didirikan di Kediri menebas seluruh panenan tembakaunya.

Pertengkaran semalam mengenai Danu yang masih berat untuk meninggalkan mengajar anak-anak yang tak mampu bersekolah masih berkelebatan di kepalanya, sementara Cokro berharap anaknya mampu mewarisi bisnis yang sudah dirintisnya semenjak Cokro pindah dari Nganjuk berpuluh tahun yang lalu.

Cokro langsung teringat percakapan di ruang makan semalam. Meja memanjang berukir buah khas Madura, terbuat dari jati tua yang didatangkannya langsung dari kota tersebut pula, menambah kesan kokoh dan tentu saja untuk mengangkat meja makan tersebut sampai di ruang makan yang cukup luas dengan lantai marmer sebagai alas keseluruhan rumahnya, membutuhkan banyak tenaga. Kokoh, sekaligus dingin. Persis kesan berjarak yang semakin tampak, saat Cokro dan Danu memilih duduk dari ujung ke ujung meja.

Minah sebagai abdi dalem yang paling dipercaya oleh Cokro untuk mengawasi rumah tangga, menyajikan sayur lodeh tujuh rupa dengan cabai utuh, tempe dan tahu goreng, ikan asin sepat dan ayam goreng, persis permintaannya.

Di tengah-tengah mengunyah makanan, Cokro membuka mulutnya, saat mengamati Danu yang terlihat tenang, ketika menikmati makan malamnya. "Bantuin Bapak, ya, Le [6]."

"Bantu apa, Pak?"

"Di ladang. Awasi hasil tembakaunya. Nanti kamu bakalan dibantu sama Mulyono. Gantikan Bapak sementara ini, soalnya Bapak sudah tua. Kamu pasti bisa, Le, soalnya kamu anak pintar dan sudah pernah terjun langsung di ladang. Dulu, sebelum kamu selesaikan sekolahmu, sudah Bapak ajari bagaimana pilih bibit yang bagus, kapan gemburin tanah, sampai aturan pupuk segala."

Di ujung meja, Danu tak menggerakkan kembali sendoknya. Dia sedang mencari kalimat yang tepat untuk membalas perkataan Cokro, namun seolah buntu karena Danu sudah pernah menjelaskannya berulang-ulang mengenai prioritas yang ingin dilakukannya untuk saat ini, dan menanam tembakau menjadi prioritasnya kedua.

"Apa susahnya, Dan, bantu Bapak di ladang. Nanti Bapak ajari caranya, kalau kamu memang sudah lupa. Atau sama Mulyono, kalau kamu nggak mau Bapak ajari." Cokro akhirnya mempertegas pertanyaannya.

"Bukan itu maksud saya, Pak. Saya mau bantu, tapi ada hal yang harus saya lakukan dulu sekarang. Jadi, mungkin saya bisa bantunya setengah-setengah dulu. Nanti begitu siap, saya akan terjun seratus persen di ladang."

"Kegiatanmu satu itu nggak bakalan kasih kamu makan."

Danu menatap kembali makanannya dan menunduk, saat berkata kepada Cokro. "Mengajar memang tidak menghasilkan uang, Pak. Tapi, hati saya penuh bangga bisa melakukannya."

"Omong kosong," Cokro mulai meninggikan suaranya. "Kamu harusnya tahu bagaimana caranya membalas budi sama Bapak. Salah satunya, ya, meneruskan usaha Bapak."

Mulut Danu yang sudah hampir terbuka, menutup kembali, begitu melihat Minah mendekat ke arahnya dengan membawakan air putih dalam kendi dan menyerahkan dua gelas belimbing kepada mereka.

"Ini kendinya baru, tapi sudah bisa dingin airnya. Jangan kaget, ya, Pak, Mas, kalau nanti masih berasa ada tanahnya."

"Mbok, duduk sebentar..." pinta Cokro.

Dari tempatnya berdiri, Minah tahu bahwa dia akan diseret untuk memasuki drama keluarga Cokro yang tak pernah ada habisnya, semenjak dia bergabung menjadi abdi dalam keluarganya.

"Inggih..."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Minah menengok kepada Danu yang sedang menundukkan kepalanya.

"Sampean kan sing gulawentah [7] Danu dari kecil. Sekarang aku mau tanya sama kamu. Apa salahnya, kalau aku minta bantuan sama anakku sendiri soal tanggung jawab?"

Gelengan kepala Minah memancing rasa ingin tahu Danu mengenai episode lanjutan dalam hidupnya.

"Pak, Mbok Minah tidak perlu diikutkan dalam masalah ini. Cukup saya sama Bapak saja yang menyelesaikannya." Danu sedikit meninggikan suaranya.

Pandangan Minah yang menyejukkan, memantik rasa sesal di hati Danu yang berani meninggikan suaranya, saat Cokro berbicara. Minah tak pernah mengajarinya seperti itu. Danu sadar, selain Minah adalah orang kepercayaan Bapaknya, dia juga menganggap Minah sebagai pengganti Ibunya yang sudah meninggal dunia setelah melahirkannya.

"Diajari sama siapa kamu, kalau ngomong ngawur begitu. Aku ini Bapakmu!" kemurkaan tampak jelas di wajah Cokro.

"Pak Cokro," potong Minah, saat menggerakkan lehernya. "Jangan emosi. Nanti saya bicara sama Mas Danu."

"Urus dia, Mbok!"

"Iya, Pak."

Begitu Cokro pergi ke belakang untuk menenangkan diri, tanpa meminum terlebih dulu air putih dalam kendi pesanannya, Minah mendekat kepada Danu yang juga tak melanjutkan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Minah pun memilih duduk di sebelahnya.

"Mbok harusnya jangan mau, kalau Bapak sudah narik Mbok ke masalah saya sama Bapak." Danu langsung buka suara, begitu Minah tak juga berkata-kata.

Minah tersenyum dan memegang punggung tangan Danu cukup lama, berusaha menenangkan. "Bagaimana Mbok bisa bilang begitu, sama juragan Mbok sendiri?"

"Tapi, kan..."

"Mengalah bukan berarti kalah, Mas Danu. Mas Danu harus tahu, Bapak itu sudah sepuh [8], tidak bisa diajak bicara begitu. Kalau Bapak emosi, Mas Danu jangan ikut emosi juga. Ingat, batu saja bisa berlubang kalau tiap hari kena tetesan air."

Danu mengangguk. "Iya, Mbok. Paham."

"Mbok ke belakang dulu, ya. Kalau Mas Danu sudah selesai makan malamnya, nanti Mbok bereskan mejanya."

"Saya sudah selesai makan malamnya, Mbok. Jadi, Mbok Minah bisa bereskan sekarang."

"Ya, Mas."

"Saya bantu, ya, Mbok."

"Tidak usah, Mas Danu. Ini sudah tugas Mbok. Lagian beres-beres begini cepat."

Kalau Danu tak membalas perkataannya dan lebih memilih berkacak pinggang, itu artinya Minah hanya bisa mengangguk dan menuruti apa mau Danu.

"Terima kasih banyak, Mbok. Makan malamnya enak," puji Danu, saat mulai membereskan piring kotornya.

"Iya, sama-sama."

Kalau saja Minah tak menjadi penengah di antara mereka berdua, kemungkinan besar keluarga Cokro sudah hancur sejak dulu, sejak kegagalan mempertahankan pernikahannya yang kedua dengan Sulikah. Istrinya kabur dan sempat menggegerkan seluruh kampung karena sampai sekarang tidak tahu rimbanya.

 

[1] hijau
[2] makanan (sesaji)
[3] memang anak tidak punya tata krama
[4] kamu
[5] tidak bisa diturut
[6] panggilan untuk anak laki-laki
[7] kamu yang mendidik
[8] usia

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Juragan-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya