[NOVEL] Juragan-BAB 3

Penulis: Heri Widianto

Bab 3 : Sentong

 

Kepulan asap di dapur kotor yang ada di bagian samping rumah masih membumbung tinggi menembus wuwung [1], saat Minah sedang sibuk menumbuk bumbu kacang untuk nasi pecel, juga sambal tumpang, dan sesekali mengawasi sayur kluwih [2] olahannya untuk kiriman sarapan dan juga makan siang ke ladang, bersama dengan tahu goreng yang tak pernah mengecewakan rasanya.

Di saat bersamaan, Cokro berjalan menuju halaman belakang rumahnya, setelah memeriksa kondisi dapur dan meminta Minah untuk membuatkannya kopi tubruk. Cokro berjalan melalui lorong yang terletak sedikit jauh dari dapur dan salah satu sentong [3] yang sengaja dikosongkan sedikit menjulur, terletak di pojok ruangan sebelum lorong berakhir, dan hanya akan dibuka saat bulan suro [4] tiba. Cokro berhenti sejenak, berkomat-kamit dan memejamkan matanya, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.

Satu lorong dengan pencahayaan remang karena mengandalkan sinar matahari dari jendela yang juga jarang sekali dibuka, membuat suasana sedikit janggal. Ditambah lagi, beberapa lukisan seperti kereta kencana, burung elang sedang mematuk ular, persawahan luas, dan terasa semakin gelap saat menuju ke bagian belakang lorong, serta satu lukisan berukuran besar penguasa pantai selatan di dinding lain, seolah mengawasi siapa saja yang melaluinya.

Derap langkah Cokro akhirnya bertaut pada pohon sawo kecik berdaun rindang dan jarang sekali berbuah, di satu amben [5] dengan ukiran Jepara berbentuk pokok relung di sisi-sisi terluar dari lengannya yang berjumlah genap, tanpa meja, dan jika musim hujan tiba, abdi dalem Cokro akan berbondong-bondong mengangkatnya masuk untuk melindungi kualitas kayunya. Sembari duduk melihat tanamannya, kekesalan masih tercetak jelas di wajah Cokro, saat tangannya mulai melinting rokok kelobot. Anehnya, gigi Cokro tak pernah terlihat menguning. Bahkan, keriput tak tampak banyak di wajahnya yang bisa dibilang masih tampan untuk laki-laki seusianya. Kalau saja Cokro memutuskan menikah untuk ketiga kalinya, kemungkinan besar tak ada perempuan yang tak kepincut dengan pinangan, apalagi pesonanya.

"Ini Pak, unjukane [6]," Minah membawakan satu nampan kecil dengan secangkir kopi tubruk yang masih mengepulkan asap, dan sepiring rebusan ubi yang didapatnya dari kebun. "Ini masih panas, Pak, jadi cocok buat teman ngopi."

"Terima kasih, Nah. Kamu masih repot di dapur?"

Minah menggeleng, setelah meletakkan pesanan Cokro dan akan membawa nampan tersebut kembali ke dapur.

"Duduk dulu sebentar, Nah. Aku mau ngobrol."

Minah memilih duduk di ujung amben, sementara Cokro mulai menyalakan rokok kelobotnya, sembari menyeruput kopi tubruk buatan Minah. Cokro sempat memejamkan matanya, saat menikmati ketenangan dan Minah tersenyum melihatnya.

"Kamu ikut aku sudah berapa tahun, Nah?" tanya Cokro, membuka kembali matanya dan menerawang jauh, menembus tembok rumahnya yang di-lur [7] dengan sangat rapi.

Minah terdiam seperti sedang menghitung di dalam kepala. "Termasuk sama Ibu Dartik, sudah tiga puluh satu tahun, Pak. Ada apa, ya?"

"Ternyata kamu sudah tua, ya, Nah."

Minah tertawa kecil, menyadari usianya yang sudah genap enam puluh tahun, tahun ini, dan Cokro mengingatkannya seperti memberitahu bahwa wajah Minah telah berkeriput di mana-mana.

"Tapi saya masih sregep [8], lho, Pak."

"Aku akui kalau yang satu itu. Pakai acara bungkuk segala, kamu juga bisa selesai nyapu halaman dari depan sampai belakang. Angkat rencek [9] sendirian, ya, bisa," berganti Cokro yang tertawa, menyadari kalimat pujiannya dengan menggeleng pelan.

Minah ikut tertawa, namun hanya sebentar karena tersadar ada jarak yang harus dijaga.

"Kabar keluargamu bagaimana, Nah?" tanya Cokro, mengubah pembahasan hanya dalam waktu sekian detik dan terkadang Minah tak siap dengan hal-hal semacam itu.

Muncul kekhawatiran di wajah Minah. Seperti ada yang disembunyikannya rapat-rapat, Minah sengaja mengulas senyum. Selama ini, dia sengaja berlaku agar tidak ada yang tahu mengenai kedalaman hatinya. Sedikit ragu, akhirnya Minah menjawab pertanyaan Cokro pelan. "Keluarga saya baik-baik saja, Pak. Suami kebetulan sudah lama meninggal, anak sudah punya rumah sendiri-sendiri. Wayah [10] sudah besar. Marno, kadang ikut juga di ladang."

"Oh, Marno cucumu?"

"Leres, Pak."

"Terus, Paidi, ya, Nah, nama suamimu. Aku masih ingat, dulu kalau jemput kamu pakai delman dari pasar, terus katamu delmannya pernah nggak mau jalan soalnya kudanya lempoh [11]. Akhirnya, kalian berdua menginap di sini."

Minah mengangguk, meresapi gemeresik angin yang menerpa wajahnya, seolah meniup daun sawo kecik sampai bergesekan, meski otaknya mulai bertanya-tanya, ke arah mana pertanyaan Cokro akan bermuara.

"Kopinya enak, Pak?" tanya Minah, berusaha untuk mengalihkan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin berkelebatan di dalam kepala Cokro.

"Enak, kok, Nah. Pokoknya, nggak ada yang bisa kalahin kopi buatanmu, termasuk ubi rebusmu yang satu ini." Cokro menjumput satu ubi lagi dan mulai mengunyahnya pelan.

"Bagus, Pak, kalau enak, soalnya kopinya baru numbuk. Saya masuk dulu, ya, Pak, kalau sudah selesai ngendikan [12]. Sudah waktunya nyiapin sarapan buat orang-orang di ladang. Sebentar lagi, Mas Danu juga sudah pulang dari balai."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Kamu sudah bicara sama Danu, Nah?" tanya Cokro, mencoba menghentikan niatan Minah untuk segera kembali bekerja di dapur.

"Soal semalam, Pak?"

Cokro mengangguk. "Apa katanya?"

"Mas Danu, kan, masih muda, Pak. Emosinya kadang belum bisa, kalau dikasari begitu. Maaf, Pak, kalau saya lancang," Minah berusaha mencari kalimat yang tepat untuk merangkum apa yang ada di dalam kepalanya. "Sebaiknya Pak Cokro jangan terlalu keras dulu sama Mas Danu. Nanti rugi semuanya, Pak."

"Kamu terlalu manjain dia, Nah. Harusnya kamu bilang sama Danu, kalau dia sudah dewasa dan harusnya sudah bisa menentukan sikap. Aku ini cari uang juga kalau bukan buat dia, buat siapa lagi? Nanti kalau aku sudah nggak ada, memangnya mau minta sama siapa? Medi [13]?"

"Nanti coba saya ngomong lagi sama Mas Danu, ya, Pak. Siapa tahu anaknya sudah bisa berpikir jernih."

"Tolong, ya, Nah. Danu lumayan nurut sama kamu."

"Inggih, Pak."

Sembari berpikir sejenak, Cokro seperti teringat sesuatu. "Nah, kamu dulu pernah ajak ke sini ponakanmu. Yang perempuan. Yang ayu itu, waktu ada selamatan di rumah ini. Bawa lagi saja ponakanmu ke sini, biar bisa bantu kamu di dapur. Tak lihat-lihat, kamu kok tambah bungkuk, tho."

"Saya masih kuat, Pak. Memang bungkuk sedikit, tapi nggak jadi masalah kalau masak sambil bersih-bersih rumah."

"Siapa nama ponakanmu itu, Nah?"

"Sari, Pak."

"Iya, Sari. Kalau ada yang bantu, kan, kamu nggak perlu capek-capek terus. Coba saja pas nanti waktunya panen tembakau, suruh bantu-bantu kamu di dapur."

"Matur nuwun sanget, Pak. Saya balik dapur dulu, nggih."

"Iyo."

Minah akhirnya bangkit dari tempat duduk dan pamit untuk kembali ke dapur, menyiapkan sarapan buat pekerja di ladang, sementara Cokro melanjutkan merokok kelobot dan menimang-nimang apa yang seharusnya dilakukannya untuk meyakinkan Danu agar mau mengambil alih bisnisnya karena dia merasa usianya sudah tidak lama lagi.

Begitu Minah menelusuri lorong berpenerangan remang dengan langkah pelan, tengkuknya seperti ditiup, namun terasa dingin, bukan hangat seperti embusan napas manusia. Sesuatu seperti menarik perhatiannya, saat pintu kamar besar yang tak pernah dibuka kecuali oleh Cokro sendiri di bulan-bulan tertentu, terdengar sesuatu dari dalam sana. Suara gesekan antara kaki meja atau kursi, dengan lantai.

Untuk pertama kalinya, Minah melangkahkan kakinya pelan. Mendekat. Lalu, menempelkan telinganya untuk memastikan.

Suara yang sebelumnya terdengar begitu dekat, seolah sirna. Minah sampai menggeleng sendiri, tersadar kalau apa yang didengarnya sebelumnya mungkin sesuatu yang salah.

Saat akan menarik telinganya, Minah dikejutkan dengan suara seperti seseorang menggedor pintu dari dalam. Dadanya bergemuruh dan bibirnya komat-kamit membaca doa, saat langkah kakinya berayun cepat meninggalkan kamar kosong tersebut. Bahkan, Minah tak berani menengok ke belakang lagi hingga dapur terlihat olehnya dan air putih dalam kendi dapat menenangkan jantungnya, begitu tertenggak. Tangannya gemetaran dan keringat mengucur deras dari pelipisnya.

"Gusti, opo kuwi maeng? [14]" Minah membatin, lalu kembali membaca-baca doa.

 

[1] bagian atap, cerobong asap
[2] sejenis buah nangka
[3] kamar
[4] bulan dalam penanggalan Jawa
[5] tempat duduk luar ruangan
[6] minuman
[7] teknik memperhalus tembok menggunakan semen putih
[8] rajin
[9] kayu bakar
[10] cucu
[11] capek
[12] bicara
[13] hantu
[14] Tuhan, apa itu tadi?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Juragan-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya