[NOVEL] Just You and Me-BAB 4

Penulis: Titi Sanaria

Empat

 

AKU benar-benar dalam masalah. Dompetku yang berisi ATM pemberian Nia tertinggal di rumah Yanti. Ponselku juga. Kabar buruknya, aku tidak hafal nomor Nia. Jadi uang yang kumiliki sekarang hanyalah sisa ongkos taksi pemberian laki-laki sombong tadi pagi. Sekarang aku menyesal karena tidak mengambil semua lembaran uang yang diulurkannya. Sebagian atau semuanya, toh tak berarti banyak di matanya untuk menaikkan image-ku. 

Ini dunia nyata di mana kesombongan tidak punya tempat untuk orang miskin seperti diriku. Mulai sekarang, aku harus menelan harga diriku bulat-bulat. Harga diri tidak bisa dipakai untuk membeli makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Dan aku butuh semuanya sekarang.

Aku menatap pantulan diriku di cermin toilet klinik. Orang itu tampak asing, seperti bukan diriku. Pakaian yang melekat di tubuhku ini adalah pakaian yang sama dengan yang aku pakai kemarin. Sebelum ini, aku tidak pernah memakai pakaian yang sama selama 24 jam. Sekarang aku sudah melampai waktu itu, dan masih akan mengenakannya entah sampai kapan.  

Lihat sisi positifnya, aku mencoba menghibur diri. setidaknya, aku masih memakai pakaian kerjaku saat para debt collector itu datang, karena aku akan terlihat menggelikan kalau hanya memakai piama saat kabur. 

Tadi, aku bahkan harus meminjam compact powder salah seorang perawat untuk memulas wajah setelah menumpang mandi di klinik. Perbedaan nyata antara aku dan gelandangan sekarang hanya terletak di jas putihku.

Jam jagaku tidak lama lagi akan selesai, dan aku bisa pulang. Masalahnya sekarang adalah, pulang ke mana? Tidak mungkin ke rumah Yanti. Aku bisa dijadikan perkedel oleh para debt collector yang mungkin masih berjaga di sana. Ada jutaan tempat menginap lain di Jakarta. Hanya saja, aku tidak memiliki passport untuk memasukinya. Uang.

Aku mengeluarkan sisa uang yang diberikan lelaki di hotel tadi subuh. Tiga ratus dua puluh ribu. Benar, TIGA RATUS DUA PULUH RIBU dan aku butuh pakaian, tempat menginap, peralatan mandi, dan makeup seadanya. Aku bisa saja miskin, tetapi tetap harus berpenampilan seperti dokter di depan pasien. Pasien tidak akan kembali ke klinik ini kalau aku menghadapinya dengan wajah kucel. Kesembuhan pasien terkadang merupakan faktor sugesti. Semakin baik pelayanan yang diterimanya, akan semakin baik pula perasaan mereka. Penampilan dokter jelas berpengaruh pada psikis mereka menghadapi penyakit.

Mungkin aku harus meminta gajiku lebih awal. Jadwal gajian masih seminggu lagi, tetapi pengurus klinik ini tidak mungkin menolak kalau aku memintanya. Masalahnya, aku belum pernah menadahkan tangan meminta pertolongan dalam bentuk uang kepada orang lain. Sampai hari ini. Tadi aku sudah melakukannya sekali. Sepertinya akan menjadi dua kali untuk hari ini.

"Dok, ada pasien kecelakaan. Sebenarnya ini sudah masuk jam jaga Dokter Hery, tapi dia belum datang. Mungkin terjebak macet." Seorang perawat muncul dari balik pintu ruang jaga dokter.

"Akan saya tangani." Aku belum tahu akan pulang ke mana. Sibuk dengan pasien lebih baik untuk menghabiskan waktu. Sebenarnya aku bisa saja tidur di ruang jaga, tapi aku enggan memberikan penjelasan kenapa aku harus melakukan hal itu pada orang-orang di klinik.

Pasien yang baru masuk itu mengalami kecelakaan lalu lintas. Tidak terlalu parah. Hanya saja, karena lukanya di kepala, darah yang keluar lumayan banyak. Tidak butuh waktu lama untuk menjahit lukanya. Dia terlihat lebih baik setelah perawat yang menanganinya bersamaku membersihkan sisa-sisa darah yang menempel di wajahnya.

Aku lalu keluar klinik untuk mencari udara segar. Kepalaku sedikit pening. Aku lantas teringat kalau aku belum makan apa-apa sejak kemarin siang. Yang terakhir masuk dalam perutku adalah soda yang membuatku ketiduran yang diberikan para lelaki kurang ajar semalam. Adrenalin yang tumpah ruah membuatku melupakan rasa lapar. Akibatnya baru aku rasakan sekarang.

"Itu dia!" seruan keras dan kasar itu membuatku menoleh. Aku membeku seketika. Aku tidak terlalu hafal wajahnya, tetapi postur empat orang lelaki kekar yang sedang mendekatiku itu terlihat familier. Oh tidak, kenapa mereka mencariku? Apakah mereka sudah menangkap Yanti? Lalu apa hubungannya denganku?

Keempat orang laki-laki itu sudah mengurungku. "Beneran dia orangnya?" tanya seseorang yang kuperkirakan adalah pemimpin mereka.

"Benar, Bos. Gua beberapa kali lihat dia di rumah Yanti. Kayaknya dia memang tinggal di sana. Semalam, gua juga lihat dia di hotel."

  Mati aku!

"Di mana Yanti?" Si pimpinan mendekat.

Aku menggeleng. "Saya nggak tahu." Aku tidak bohong. Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Seandainya tahu pun belum tentu aku mau memberi tahu.

"Nggak mungkin kamu nggak tahu." Dia menunjuk laki-laki yang tadi bicara. "Dia bilang, kamu sama-sama Yanti semalam."

"Kami terpisah di hotel," Aku mengoreksi takut-takut. Aku mulai membayangkan diriku menjadi bulan-bulanan preman ini. Mungkin aku akan berakhir kaku sebagai mayat di salah satu kali tanpa sempat bertemu Papa. Hatiku mulai gentar. Tungkaiku melemas.

"Kalau kamu nggak mau bilang, kami terpaksa harus menahanmu. Atau..."

"Atau apa?" sambarku cepat. Ini kesempatanku untuk meloloskan diri. Aku harus menegosiasikan nyawaku.

"Kamu harus membayar utang Yanti. Kami akan memberi kamu keringanan. Nggak semua bunganya harus kamu bayar. Penawaran ini hanya berlaku saat ini juga. Nggak ada perpanjangan waktu."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Berapa?" tanyaku takut-takut. Pertanyaan bodoh, aku tahu. Uang di sakuku sekarang bahkan tidak cukup untuk membeli pakaian yang layak.

"Nggak banyak. Tinggal dua ratus juta lagi."

DUA-RATUS-JUTA. Aku menelan liur. Aku hanya punya tiga ratus dua puluh ribu sekarang. Kurangnya berapa? Aku selalu bangga karena suka matematika, tapi aku benci kemampuanku berhitung sekarang. "Atau?" Itu pertanyaan putus asa. Mungkin aku memang ditakdirkan tidak punya umur panjang. Seandainya saja aku tidak  keras pada Papa. Seandainya aku tidak meninggalkan rumah. Seandainya...

"Atau kamu menjadi tawanan kami sampai Yanti atau ayahnya keluar dari persembunyian mereka. Kamu dokter kan? Kamu bisa berguna untuk kami."

Aku berusaha berkelit ketika dua dari laki-laki itu hendak meraih lenganku, mencoba mengintimidasi. Mereka gagal di percobaan pertama, tetapi kemudian berhasil mencekalku. Aku menoleh ke tempat satpam berjaga, berharap dia melihat aku membutuhkan pertolongan, meskipun aku tidak yakin dia bisa mengatasi para lelaki sangar ini

"Lepaskan dia!" Suara itu terdengar saat aku baru membuka mulut hendak berteriak memanggil satpam.

Aku menarik napas lega saat menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki bertubuh tinggi datang menghampiri. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dia membelakangi matahari.

"Jangan ikut campur!" cekalan di tanganku terlepas. Aku spontan mengurut pergelangan tangan yang perih. Tenaga orang-orang itu menakutkan. Ini baru mencekal pergelangan tanganku. Bagaimana kalau mereka memukulku? Aku benar-benar bisa tewas mengenaskan hanya dalam beberapa pukulan dan tendangan.

"Saya juga malas ikut campur kalau tidak melihat kalian kasar begitu sama perempuan."

"Bukan urusanmu!"

"Terlambat. Sudah jadi urusan saya sekarang. Saya benci kekerasan. Apalagi kalau dilakukan laki-laki pada perempuan."

"Dia punya utang yang harus dibayar," kata si pemimpin. "Banyak."

"Berapa banyak?"

Aku berusaha mengikuti alur percakapan debt collector dan laki-laki yang baru saja muncul itu. Rasanya melegakan dibela seseorang, meskipun dia orang asing. Aku terus mengamatinya. Seandainya dia tidak membelakangi matahari pasti lebih mudah melihat wajah malaikat penolong ini.

"Untuk apa kamu tahu? Mau membayarnya, hah?" Tawa melecehkan orang-orang itu terdengar nyaring. "Baiklah kalau kamu mau tahu. Dia berutang dua ratus juta pada kami. Dan kami nggak akan melepaskan dia sebelum mendapatkan uang itu."

Itu bukan utangku, tetapi percuma membantahnya. Bagi para lelaki kasar ini, aku adalah pengganti Yanti.

Malaikat Penolong itu merogoh saku dan mengeluarkan dompet. Dia menarik sebuah kartu nama. "Ini alamat kantor pengacara saya. Kalian bisa ke sana dan menyelesaikannya. Saya akan menelepon untuk memberitahu dia. Setelah ini, saya tidak mau bertemu kalian lagi."

 Bos penagih meneliti kartu nama itu skeptis. "Ini sungguhan?"

Aku juga terkejut. Memang tidak masuk akal. Dia benar-benar akan membayar utang yang jumlahnya tidak sedikit itu? Di dunia ini ternyata masih ada masih ada orang baik. Orang yang tidak terlalu peduli jumlah nominal uang saat hendak menolong orang lain. Terima kasih, Tuhan! Kejadian seperti ini probabilitasnya pasti lebih dari 1 banding sejuta, tetapi Tuhan telah memilih aku untuk mengalami mukjizat ini. Memang tidak ada yang mustahil. Aku memejamkan mata sejenak, meresapi rasa syukur yang memenuhi rongga dada. Memulai hari dengan buruk ternyata tidak harus berakhir buruk juga.

"Tawarannya hanya berlaku sekali saja. Pertanyaan berikutnya akan membatalkan negosiasi ini. Pilihannya sekarang, ambil atau tinggalkan."

Si pimpinan memberi tanda pada anak buahnya untuk menyingkir. Aku mengikuti kepergian mereka dengan pandangan. Lalu mengalihkan tatapan pada malaikat penolong yang sekarang bergeser ke sampingku.

Sekarang aku bisa melihat wajahnya. Jelas sekali. Tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku pasti sedang sial. Kutukan Papa sangat manjur. Dia bukan malaikat. Dia laki-laki sombong yang kutemui di hotel tadi subuh. Yang memberiku utang untuk bayar taksi. Takdir pasti sedang bercanda denganku. Ini sama sekali tidak lucu. Aku memang terbebas dari para penagih utang itu, tetapi kenapa aku tidak merasa lega?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya