[NOVEL] Kelana, Lelaki Seribu Cerita - BAB 1

Penulis: Ary Nilandari

1. Kembara Bhumi
 

Senyumnya sering berarti ketidakpuasan.

Kata-kata lembutnya adalah peringatan.

Tawanya mengandung ancaman.

Namanya diawali dengan panggilan ‘Ayah’,

Karena ia memungut banyak anak yatim piatu,

Memberikan tempat untuk anak-anak jalanan.

Seperti seorang ayah, ia mengayomi.

Seperti seorang ayah, ia menyayangi.

Ia tidak menuntut apa-apa kecuali kepatuhan.

Ia bahkan memberikan hadiah bagi anak-anak

yang melaksanakan tugas darinya.

Mereka yang membandel,

akan diberinya pelajaran tidak terlupakan.

Bekasnya menetap, tidak terlihat di cermin,

tapi mengubah dirimu selamanya.

***

Aku buru-buru menutup mulutku yang ternganga oleh kata-kata dan ekspresinya. Baru kusadari juga, aku sudah meninggalkan tempat duduk. Mengintip dari balik rak buku. Di sudut perpustakaan, pada area baca beralas karpet dan bantal-bantal, anak itu dikelilingi teman-teman sebayanya. Bercerita dengan suara wajar, tanpa keraguan. Tentang Ayah Bastian, ketua Sindikat Siodi.  

Ini kali kedua aku mendengar ia bercerita. Kali pertama, sebelum masuk kelas pagi ini, topiknya tentang pahlawan super bernama Kael. Kupikir ia menyebutkan nama asli Superman, Kal-El. Tapi segera menjadi jelas, namanya Kael, pemuda Indonesia yang sama sekali tidak punya kekuatan super, hanya kecerdasan dan kecerdikan luar biasa.

Sekarang, sepertinya, ia menciptakan musuh tandingan untuk Kael. Ayah Bastian. Deskripsinya membuatku merinding.

Bel tanda masuk tiba-tiba berdentang. Anak-anak pendengarnya serempak mengeluh. Sang pencerita sendiri begitu santai berdiri. Ia bilang akan melanjutkan ceritanya besok. Jam yang sama, tempat yang sama. Saat teman-temannya berhamburan keluar dari perpustakaan, anak itu memunguti buku-buku yang berserakan. Dengan cermat membaca judul dan kode buku, lalu mengembalikannya ke tempatnya semula di rak.

“Hai!” Aku menyapanya ketika ia mendekati tempatku berdiri. Tanpa pendampingan guru-guru DIPS, aku adalah orang asing. Anak-anak di sini pasti sudah dibekali pelajaran agar tidak berbicara dengan orang yang tidak dikenal. Aku tidak peduli. Ia telah mengusik rasa ingin tahuku. “Aku mahasiswa yang sedang melakukan survei di sini. Seruni Nismara. Panggil saja Kak Runi.”

Ia memandangku. Ekspresi tenangnya membuatku gugup sendiri. Ah, aku terlalu terbiasa dengan anak-anak yang pecicilan dan petakilan. “Eh, biar Kak Runi saja yang merapikan itu. Nanti kamu terlambat masuk kelas.” Aku menunjuk sisa buku di tangannya.

Senyumnya terkuak perlahan. Lalu ia menggeleng. “Tidak apa-apa. Terima kasih.”

Aku tidak siap dengan penolakan. Berdeham, kikuk. “Siapa namamu? Kelas berapa?”

“Ibay, 5A.” Ia bergeser ke rak berikutnya.

“Ceritamu tadi, dari buku apa?” Aku mengedarkan pandangan, perpustakaan SD Internasional Darmawangsa jauh lebih maju dibandingkan perpustakaan SD negeri dan swasta lain yang pernah kukunjungi. Tapi aku tidak yakin ada buku tentang bos mafia di sini, apalagi yang “mengajari” Ibay bahasa implisit seperti tadi.

Ibay menyeringai, kali ini menunjukkan tampang kekanakannya. “Ceritaku bukan dari buku. Tapi dari … eh, dari sini.” Ia mengetuk dahinya sendiri. “Aku mengarang-ngarang saja.”

Wow. Aku berhadapan dengan anak yang memiliki kecerdasan verbal luar biasa ... atau suka membaca buku-buku yang bukan untuk usianya di luar sekolah. Aku jadi penasaran, ingin mewawancarainya. Ibay bisa jadi objek observasi yang menarik dan cocok dengan survei yang kulakukan sekarang. Tapi, aku hanya diminta melakukan observasi di kelas 1-3, lalu mengirimkan data mentahnya kepada klien. Mereka bahkan tidak meminta pendapat dan analisis.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kupandangi Ibay keluar dari perpustakaan. Pasti ada jalan nanti. Tidak ada yang lolos dari Seruni, tunggu saja.

Aku kembali pada pekerjaanku. Sampai di mana tadi? Ah ya, menyalin hasil pengamatan di kelas 3, bagaimana tanggapan anak-anak saat membaca buku yang dominan ilustrasi.

Apakah mereka memahami cerita? Apa yang paling membuat mereka tertarik: plot, karakter, atau ilustrasinya? Bagaimana cara guru membacakan, menunjukkan gambar-gambar atau membantu menginterpretasi dengan kalimat sendiri? Dan seterusnya.

Tiga buku, enam kelas, dua minggu, ruangan ber-AC, dan bayaran lumayan. Yang terakhir itu sangat melegakan. Bisa kubagi rata untuk tiga pos pembiayaan: biaya hidup hemat satu bulan; tabungan untuk uang kuliah; dan simpanan khusus untuk sesuatu yang harus kucapai dalam dua tahun ini. Dibandingkan pekerjaan sebelumnya sebagai surveyor ke pelosok daerah, menjadi pengamat di sini bisa dibilang bonus ganda.

“Seruni.” Miss Najma, pustakawan, masuk tergesa-gesa. Meletakkan sekotak kue di meja.

Ditambah kue-kue dan makan siang, bonus tiga kali lipat!

Miss Najma mengempaskan tubuh besarnya di kursi di depanku. “Maaf, coffee break-nya terlambat. Tadi aku menggantikan suster yang absen dulu, menunggui murid yang sakit di klinik sampai orangtuanya datang.”

Aku menggeleng, menepuk-nepuk tangannya di meja. Dua minggu berinteraksi dengannya, aku tidak ragu berbicara apa adanya. “Miss, aku kan sudah bilang, enggak usah disediakan apa-apa. Aku bukan tamu.”

Wanita paruh baya itu tertawa. “Instruksi langsung dari Pak Darmawangsa. Jangan ditolak. Silakan lanjutkan pekerjaanmu. Aku ada di posku kalau kamu perlu apa-apa.” Ia hendak berdiri.

Miss, aku mau tanya sesuatu,” selaku. Ia duduk lagi. “Ibay, kelas 5A ….”

“Ah, kamu sudah ketemu Kembara Bhumi. Itu nama asli Ibay. Romantis, ya?” Miss Najwa menyahut cepat, ada nada kagum dalam suaranya.

Aku mengangguk. Namanya mungkin dicomot dari novel percintaan, pikirku. “Tadi pagi dan barusan, aku mendengarkan Ibay bercerita ….” Lalu aku tertegun sendiri. Kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya.

Eskpresi Miss Najma semakin cerah. “Kamu dengar yang mana? Kael, Ayah Bastian, Sindikat C-O-D, Mami Carla, atau Kelana dengan beragam versinya?”

Aku tercengang. “Baru Kael dan Ayah Bastian. Sebanyak itu, tentang apa saja? Ibay mengarang sendiri?”

Miss Najma mengiakan. “Anak genius, Ibay itu. Awalnya, kami juga kaget. Waktu baru pindah ke sini awal kelas 4, dia sama sekali enggak mau bicara. Ada 5 bulan, barangkali, kami berusaha mencairkannya, terutama dengan buku-buku cerita. Pelan-pelan Ibay jadi mudah diajak mengobrol. Semakin lama, semakin mudah bercerita. Ada satu masa, ia malah kayak bendungan jebol. Tapi cerita-ceritanya dianggap seram oleh sebagian guru. Psikolog sekolah menyarankan kami hati-hati. Jangan melarangnya karena khawatir ia akan kembali menarik diri. Sebaiknya ajak dia berdiskusi tentang cerita-ceritanya itu. Apalagi karena beberapa orangtua mengirimkan surat protes kepada kepala sekolah. Menganggap ceritanya terlalu liar buat anak-anak, entah yang mereka dengar sudah melalui mulut keberapa. Untungnya enggak sampai jadi masalah. Setelah diajak bicara, Ibay mengerti dan menerima masukan. Aku bilang juga, anak ini genius. Mudah saja dia menyesuaikan cerita untuk teman-temannya. Jadi, yang kamu dengar itu versi lunak. Sayang sekali.”

Aku menyodorkan air mineral dari kotak kue karena Miss Najma terengah-engah. Bahasa tubuhnya kentara sekali, ia memuja Ibay dan menyesali protes orangtua.

“Buatku pribadi, cerita-cerita Ibay itu kreatif dan imajinatif. Ia menyampaikannya dengan ekspresif pula. Aku sampai mengira, ceritanya itu dari kejadian nyata.” Miss Najma memegang pipi sendiri. Terkikik. Lalu berbisik, “Aku jatuh cinta pada Kael dan Kelana. Dua tokoh utama Ibay. Satu pahlawan, satu lagi penipu ulung. Keren banget.”

Aku bingung harus bereaksi bagaimana. Antusiasmenya mengejutkan. Respons seperti itu sudah biasa pada pembaca yang menemukan buku menghanyutkan. Tapi untuk cerita yang keluar dari mulut seorang anak?  Rasa penasaranku berlipat ganda. “Miss, aku mau dong, diceritain versi aslinya.”

Miss Najma langsung menggeleng-geleng. Buru-buru bangkit dari kursi. “Aku enggak bisa. Enggak mungkin dapat feel-nya kayak Ibay. Kamu rugi nanti. Mendingan minta Ibay langsung. Carilah kesempatan. Tapi hari ini terakhir ya kamu di sini. Ahh … sayang sekali.”

Sayang sekali, katanya berulang-ulang, tapi sambil beranjak meninggalkanku, kembali ke tempat kerjanya di balik meja tinggi, di bagian depan perpustakaan.

Ya, sayang sekali. Ke mana Ibay selama berhari-hari aku ada di sini? Aku menyemburkan napas. Andai tidak mendengar dan menyaksikan sendiri aksi Ibay, aku akan mengira Miss Najma lebay.

Ponselku memberikan notifikasi chat. Kukira dari klien, mengingatkan batas pengiriman data sebelum pukul 11.00. Rupanya dari Roti Bantat. Bukan adik sepupuku kalau pesannya tidak membuatku senewen.

“Ninis chayank, cuma setengah hari, kan di situ? Aku tungguin lunch di Warung Soto Cak Kosim. Muah … muah ….”

“Bukannya sekolah bubar sore? Awas kalau bolos!” balasku. Lalu kubisukan notifikasi. Kalau tidak, pasti berisik dengan kecerewetannya.

Segera kuselesaikan tugasku. Kalau bisa, aku tidak ingin pulang bareng Roti Bantat. Kalau bisa, aku bahkan tidak ingin pulang ke apartemennya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Untuk satu semester ini saja.

Nama sebetulnya Karuna Sanskara, 18 tahun, kelas 12 di Darmawangsa International High School. Sanka, itu panggilan normalnya, adalah putra bungsu Bude Rasmi, kakak ibuku. Cowok ingusan polos, bantat alias belum matang. Tapi dalam sebulan ini, tiba-tiba saja ia menolak bersikap sesuai usianya. Dan itu gara-gara aku.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kelana, Lelaki Seribu Cerita - BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya