[NOVEL] Kelana, Lelaki Seribu Cerita - BAB 2

Penulis: Ary Nilandari

2. Karuna Sanskara
 

Jam makan siang, Warung Soto Cak Kosim di seberang kompleks Darmawangsa International School ramai pengunjung. Aku sengaja mengulur waktu. Berharap Sanka bosan menunggu dan pulang lebih dulu. Sekali pandang ke sekeliling ruangan, tidak ada Sanka, aku nyaris berjingkrak. Terdengar dehaman seraknya di belakangku. Lalu tangan usilnya menarik-narik kepangan rambutku. Aku segera berbalik dan menggebuknya dengan gulungan majalah. Ia mengaduh.

“Jadi beneran kamu bolos? Sudah kelas 12, ingat ujian nasional, ujian masuk perguruan tinggi!”

“Iya … aduh! Aku ingat kok!” Sanka melindungi diri dari pukulanku selanjutnya. “Kan tinggal pemantapan, enggak ada pelajaran reguler. Cuma sampai pukul 12. Segitu juga sudah bikin ngebul, tahu?”

Aku berdecak. Memasukkan majalah ke dalam tote bag.

“Apaan itu?” Sanka berhasil menyambarnya. “Majalah properti?” Cengiran bandel anak itu lenyap. Berganti ekspresi terluka.

Aku angkat bahu. “Memangnya kenapa? Sudah kubilang, enggak mungkin aku numpang terus sama kamu.”

Sanka berbalik, tanpa bicara mendahului ke tempat parkir. Pasti merajuk. Aku menyeringai, lega. Sikap kekanakannya membuatku nyaman. Ia masih Sanka yang sama, adik yang pernah kuasuh dan tumbuh bersamaku di pinggiran Jakarta dulu.

Tapi kelegaanku tidak lama. Ia menyodorkan helm dengan senyum lebar, memperlihatkan behel marun yang kontras dengan gigi mutiaranya. “Aku doakan, semoga kasus warisan itu segera beres dan kamu mendapatkan semua yang jadi hakmu. Selama proses yang pasti lamaaaaaaa, kamu boleh pilih, ngontrak di tempat lain yang jelas boros, atau tetap tinggal di tempatku, free.” Tak lupa dengan tepukan lembut di kepalaku.

Aku menggeram. Sebal dengan fakta yang ditusukkannya tepat ke jantung. Tapi lebih jengkel lagi dengan gaya sok tuanya. Kuambil helm dan kunci motornya dengan kasar. Bukan itu saja. Kusorongkan tas tangan dan tote bag-ku ke dada Sanka. Motor besarnya kubajak. Bersyukur, hari ini aku memakai setelan praktis ala surveyor lapangan. “Aku yang bawa! Duduk manis di belakang, jaga jarak!”

“Nis!”

Aku memelotot. “Atau aku naik angkot?”

Sanka mengangkat tangan, membiarkanku mengemudikan big bike kebanggaannya. Mudah sekali untuk kembali ke gaya dan kebiasaan lama. Separuh umur, aku hidup bersama tiga anak cowok Bude Rasmi. Mendapatkan warisan pakaian mereka. Beraktivitas seperti mereka tanpa dihambat tubuh feminin dan rambut panjang.

Andai Pakde Jenar tidak mulai menjodoh-jodohkan aku dengan putra sulungnya, mungkin selamanya aku bakal jadi anak “cowok” keempat di keluarga. Mas Satria, lima tahun lebih tua dariku, menentang keras ide ayahnya. Ia sudah punya cewek, aku adalah adiknya. Titik.

Usiaku 16 tahun waktu itu. Untuk kali pertama, aku menjadi sumber pertengkaran keluarga. Pakde dan Bude berkeras menjadikan aku bagian dari mereka secara resmi. Mas Satria dengan entengnya melimpahkan “tanggung jawab” itu kepada adiknya, Gyan. Gyan sebaya denganku dan aku menganggapnya sebagai sahabat terbaikku. Sialnya, ia menerima “tugas” dengan senang hati. Tidak ada yang menanyakan bagaimana pendapat dan perasaanku. Belakangan, aku sadar, urusan perjodohan itu nyaris tidak ada kaitannya dengan cinta. Pamrih dan perhitungan bisnis di atas segalanya. Begitu saja, satu-satunya dunia yang kukenal runtuh. Aku memilih pergi, mencari aman.

Dan aku memilih Bandung. Naif! Kurang jauh, kurang lama. Hanya dalam lima tahun, masalah keluarga berhasil mengejarku. Kali ini, si bungsu Sanka melibatkan diri. Namun, aku yang pegang kendali sekarang.

Kuarahkan sepeda motor kembali memasuki kompleks Darmawangsa. Sanka ribut bertanya. Kuabaikan. Setelah memarkir kendaraan, aku berjalan menuju gedung SMA. Tampak masih ramai. Bagus.

Sanka menyusul, merentangkan tangan di depanku. Tote bag dan tas tanganku bergantungan di lengannya. “Setop! Mau apa ke sini? Enggak percaya kelas 12 sudah bubar? Tanya saja anak-anak itu!”

“Ya, itu yang mau kulakukan.” Aku mendekati sekelompok cowok seumuran Sanka di taman. Satu di antaranya bertampang bule. Mereka berenam sedang berebut majalah yang sudah kucel dan robek-robek.

“Nis! Kamu bikin aku takut. Ada apa, sih?” Sanka mencegahku.

Aku menepiskan tangannya. Kulepaskan helm di depan cowok-cowok itu. Sungguh, aku tidak berniat membuat adegan dramatis yang membuat mereka terdiam dan tercengang. Aku hanya lupa melepaskannya di parkiran. “Sanka! Pegangin dulu!” Kutukar helm dengan tasku. Masih ada sebatang cokelat di dalamnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Adik-adik ….” Aku menyapa mereka, “cokelat ini buat kalian yang bisa menebak umurku.”

“Nis! Kamu gila!” Sanka menarik tanganku lagi. Lalu berkata kepada teman-temannya. “Guys, abaikan dia! Kumat karena belum makan siang kayaknya.”

Aku menyeringai. Melambaikan cokelat di depan para cowok yang sekarang mulai heboh saling tunjuk, saling dorong. Dalam survei yang pernah kulakukan, aku sering mendapati, lelaki biasanya kesulitan menebak usia lawan jenis. Apalagi cowok remaja yang biasanya tak acuh dengan sekeliling. Perempuan lebih jeli dengan usia sesamanya.

Namun, aku yakin juga, bukan cokelat yang membuat anak-anak ini mau mengikuti permainanku. Rasa ingin tahu yang sama, yang membuat mereka berebut majalah wanita itu.

Sanka mengusap muka, frustrasi. Hendak berbalik pergi. Oh tidak! Ia harus mendengar tebakan teman-temannya. Kupegangi ransel di punggungnya dengan satu tangan yang masih bebas.

“Ayo, jangan sungkan! Kalian tebaklah.”

Cowok terdekat mencondongkan tubuh ke arahku, mengendus udara. Bergumam pelan, yang terdengar seperti, “Parfum wanita dewasa.”

Aku memandangnya heran. Ia tidak buta, tapi seakan mengandalkan penciuman untuk mengira-ngira. Mungkin bercanda. “Ya, berapa usiaku?”

“Sebaya mamiku, mungkin 42?” jawabnya sopan, malu-malu.

 “Rayn!” temannya memprotes. Cowok bernama Rayn itu ditariknya mundur. “Maaf, Rayn suka ngawur kalau gugup. Maksudnya 24. Sebaya maminya waktu masih gadis.”

Aku tergelak. Anak-anak yang lucu. Tebakannya justru memicu keberanian yang lain. Angka-angka pun disebutkan. Tidak ada yang di bawah 20. Tidak ada yang tepat 21. Kisaran 25 terbanyak. Sudah cukup menamparkan fakta ke muka Sanka. Aku menghentikan mereka. Menyerahkan cokelat kepada Rayn dan mengucapkan terima kasih.

“Jadi berapa usia Kakak?” Cowok-cowok lainnya ribut.

Aku cuma tersenyum. Mulai menarik Sanka mundur.

 “Apa kubilang, umur cewek itu sakral. Enggak boleh dibicarakan. Lebih mudah menebak umur anak-anak Hazel!” Salah satunya berkomentar.

“Kucing belekan! Jelas mudah karena kamu bidannya, Rai!” kata si bule tergelak.

Canda mereka tidak kumengerti. Aku mengangkat tangan, pamitan, dan bergegas pergi. Sanka mengikutiku dengan cemberut. Di parkiran, ia menyerahkan barang-barangku, meminta kunci motornya. Aku mengalah. Duduk di boncengan, kupegangi jaketnya di bagian pinggang. Erat-erat, karena ia pasti melaju kencang untuk menunjukkan tantrum, walau selama ini masih dalam batas kecepatan terkendali.

Sebelum merapatkan kaca helm, sebelum menyalakan mesin, ia berkata, “Aku sakit hati. Aku mengerti alasan kamu menolak Mas Satria dan Mas Gyan. Cinta enggak boleh dijadikan alat untuk melestarikan harta keluarga. Tapi alasanmu buatku sungguh kekanakan! Perbedaan usia?” Sanka mendecak. “Kamu punya waktu sampai aku lulus SMA. Siapkan saja alasan yang lebih mature kalau masih menolakku!”

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Kelana, Lelaki Seribu Cerita - BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya