[NOVEL] Match Made in Heaven - BAB 2

Penulis: Indah Hanaco

Julien melongo, takjub karena Valda bisa mengucapkan kalimatnya dengan mulus tanpa menderita kejang lidah. Sementara Prilly pun tampak sama kagetnya. Wajahnya memerah hingga nyaris menyerupai warna buah naga yang digunakan koki Meeting Point untuk salah satu produk mi organik mereka.

"Val, kamu nggak pernah keseleo gara-gara ngomong seenaknya kayak gitu?" komentar Julien. Merasa kesal pada Valda adalah kesia-siaan belaka. Perempuan itu tidak tertarik untuk menghormati pendapat Julien.

"Aku nggak ngomong seenaknya. Udah kepikiran lama untuk ngenalin kalian, tapi memang belum kesampaian aja. Trus tahu-tahu hari ini Prilly ngajak makan malam. Ya udah, sekalian ajalah diajak ke sini. Aku serius lho, mau jodohin kalian. Feeling-ku kalian bakalan jadi pasangan yang klop." Kedua tangannya terangkat, lalu dikibaskan di depan Julien dan Prilly. "Harusnya tadi aku videoin ekspresi kalian pas dengar omonganku. Lucu banget, tahu!"

Prilly merespons tenang, "Makasih karena udah mikirin masa depan percintaan kami. Itu pasti nyita waktu banget, kan?"

Sindiran itu dibalas Valda dengan tawa. "Aku kan teman yang baik, Ly. Aku udah kenal Julien sejak masih pakai Pampers. Udah tahu banget gimana dia. Yang pasti, aku nggak bakalan ngejodohin kamu sama cowok berengsek," ujarnya penuh percaya diri. Lalu, tatapan Valda dialihkan pada Julien. "Kalimat tadi berlaku juga buat kamu."

Julien menatap Prilly sembari mengedikkan bahu tanpa daya. "Kamu harus maklumin Valda, Ly. Mentang-mentang udah ngerasa klop lahir batin sama Abe, dia anggap semua yang masih single kudu dicariin pasangan juga."

Valda menjulurkan lidah ke arah Julien. Sementara Prilly tertawa kecil sembari menggumamkan persetujuan. Meladeni Valda yang sedang mabuk kepayang bukanlah hal yang cerdas. Untungnya, Prilly malah membahas tentang niatnya untuk merekomendasikan Meeting Point pada Soul Mate sebagai salah satu tempat kencan kliennya.

Julien belum pernah mengenal orang yang bekerja di sebuah biro jodoh. Karena itu, dia tekun mendengarkan saat Prilly membahas tahapan-tahapan yang harus dilalui kliennya. Namun, Julien merasa terganggu dengan acara kencan yang melibatkan banyak orang sekaligus untuk anggota kelas Reguler dan Medium.

"Setelah ketemu pasangan yang dianggap cocok, barulah aku nyusun acara kencan untuk klien. Khusus kelas Reguler yang kupegang, yang kencan sepuluh orang sekaligus, lima pria dan lima perempuan. Mereka akan dikasih waktu untuk saling saling kenal, ngobrol sekitar lima belas menit dengan tiap lawan jenisnya.

"Setelah itu, tiap klien bakalan milih orang yang disukainya. Klien yang memang saling naksir, akan lanjut dengan kencan kedua yang cuma ngelibatin pasangan yang bersangkutan. Tapi, kalau yang dipilih justru pengin bersama orang lain, nggak bisa lanjut. Biasanya mereka dicariin pasangan lain, ngulang lagi proses kencan ramai-ramai tadi."

"Semua peserta harus kencan barengan gitu?" tanya Julien.

"Untuk anggota kelas Reguler dan Medium, iya. Kelas Medium acara kencan pertama cuma melibatkan enam orang. Tapi kalau kelas Premium, langsung dibikinin acara spesial dengan kandidat yang dianggap paling cocok."

Julien sempat membayangkan dirinya sebagai klien Soul Mate dan sudah memilih salah satu peserta kencan untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Namun, orang yang dipilih malah lebih menyukai pria lain. Julien tak sanggup membayangkan perasaan malu yang pasti begitu mengerikan. Ditolak di depan umum.

"Seberapa besar keberhasilanmu sebagai makcomblang, Ly?" tanya Julien, ingin tahu.

"Hmmm, aku sih nggak pernah ngitung persentasenya secara khusus. Tapi nggak jelek-jelek amatlah. Mungkin karena semua disiapkan dengan matang. Dari awal klien mendaftar pun udah langsung dites sama tim psikolog. Kalau lulus, baru bisa jadi anggota Soul Mate. Mereka bebas milih mau gabung di kelas yang mana. Masing-masing ada plus dan minusnya."

"Pernah ada masalah karena salah satu klien ditolak sama pihak yang ditaksirnya?"

"Kalau aku sih, belum pernah ngalamin. Tapi temanku pernah."

Julien manggut-manggut. "Kalian ngikutin pelatihan khusus nggak, sih? Karena kan nggak gampang untuk nyariin pasangan untuk klien." Lelaki itu tersenyum ke arah Prilly. "Atau, harus lulusan psikologi?"

Prilly menggeleng. "Soal pendidikan, nggak harus dari psikologi. Aku malah lulusan kesejahteraan sosial. Awalnya aku pegang aplikasi online-nya Soul Mate. Terus, ditarik untuk nanganin klien. Nah, sebelum pindah bagian memang kudu ngikutin pelatihan dulu. Kami dikasih teori-teori dasar gimana menilai kecocokan dari klien. Tapi sebenarnya tetap ngandalin insting dan gimana menilai karakter orang, sih. Itu kan bisa diasah."

Mengobrol dengan Prilly ternyata lumayan mengasyikkan. Membuat Valda semakin percaya diri bahwa dia adalah makcomblang yang hebat. Julien sampai meringis melihat antusiasme temannya. Ini bukan kali pertama Valda berupaya menjadi pencari jodoh untuk Julien. Perempuan itu berusaha berperan sebagai pencari jodoh untuk Julien sejak dua tahun terakhir. Namun, tak ada satu pun hasil rekomendasi Valda yang menarik perhatiannya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Prilly? Mungkin sedikit pengecualian. Namun, bukan berarti perempuan itu sudah langsung menyita perhatian Julien. Tidak seperti itu, karena Julien bukan tipe orang yang mudah terpesona. Prilly adalah perempuan ramah yang bisa menjadi teman mengobrol yang cukup mengasyikkan. Apalagi ketika membahas tentang pekerjaannya. Mata bulat perempuan itu berbinar sepanjang membicarakan kliennya. Itu hal yang menarik.

Prilly dan Valda pamit pukul sembilan lewat. Julien pun harus bersiap untuk menutup restorannya yang hanya beroperasi hingga pukul sepuluh malam. Kecuali saat Jumat dan Sabtu, Meeting Point buka hingga tengah malam.

Hingga detik ini pun Julien masih sering memandangi seeantero restoran dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Tak pernah sekalipun dia berniat membuka usaha sendiri. Pekerjaan sebagai asisten manajer keuangan adalah bagian dari mimpi lamanya. Hingga dia mengalami kejatuhan menyakitkan. Dikombinasi dengan kunjungan ke restoran di China.

Ketika itu, Julien sedang merasa rentan dan sendirian. Lalu, menemukan restoran yang fokus ingin membuat pengunjungnya menemukan teman atau jodoh. Julien pun terkesan. Kembali ke Indonesia, pelan-pelan, pria itu menggali informasi tentang bisnis restoran. Hingga tercetus ide membuat Meeting Point, dengan makanan yang sehat tapi tetap enak.

Julien pun meninggalkan pekerjaannya yang sudah mapan di Jakarta, pindah ke Kanarivera, sebuah kota mandiri di timur laut Jakarta. Dahulu, Julien sempat terpikir untuk pindah ke Bali atau Lombok saja. Supaya benar-benar jauh dari tanah kelahirannya. Namun, ibunya tidak mengizinkan, beralasan semua saudara Julien menetap di wilayah Jabodetabek. Apalagi dia masih lajang. Alhasil, Kanarivera pun menjadi pilihan. Julien tidak mengira jika kota itu ternyata membuatnya betah.

Kanarivera dibangun di area sekitar 500 hektare, sebagian merupakan lahan reklamasi. Hampir empat puluh persen lahan kota diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau. Fasilitas publik tersedia lengkap di sini sehingga Julien merasa tidak keberatan meninggalkan Ibu Kota. Semakin jauh dari rumah justru lebih baik.

Pria itu tinggal tak jauh dari restorannya. Di sebuah perumahan bernama Gerha Kanal. Area permukiman itu mirip dengan Giethoorn di Belanda. Ada sungai kecil yang memisahkan rumah yang saling berhadapan, dengan banyak jembatan sebagai penghubung. Tidak ada perahu sebagai alat transportasi utama. Walau demikian, pihak perumahan menyediakan semacam gondola jika ingin berkeliling. Tidak ada rumah yang memiliki pagar. Cuma ada halaman sempit berumput dan menghadap ke arah jalan yang ditutupi paving block.

Gerha Kanal memiliki empat pintu gerbang. Di dekat tiap pintu masuk disediakan halaman parkir yang luas. Setiap penghuni wajib memarkir kendaraannya di situ. Perjalanan ke rumah masing-masing bisa dilanjutkan dengan mobil kecil bertenaga baterai yang sudah disiapkan. Penghuni perumahan cukup memarkir kendaraan tersebut di depan rumahnya. Nanti ada petugas yang mengambil mobil baterai tersebut.

Julien tiba di rumahnya pukul sebelas malam. Tadi dia sempat tertahan di restoran karena ibunya menelepon. Di mata sang ibu, Julien tidak pernah tumbuh menjadi lelaki dewasa. Dia selalu dipandang sebagai anak balita yang harus diurus dan diawasi. Dalam seminggu, ibunya bisa menelepon dua atau tiga kali.

Julien adalah bungsu dari empat bersaudara, satu perempuan dan tiga laki-laki. Mereka semua memiliki garis wajah yang mirip. Julien dan kakaknya Ernest, belum menikah. Namun, Ernest yang lebih sering berkampanye keliling dunia tentang lingkungan, tampaknya tidak terlalu dicemaskan oleh sang ibu.

Setelah ayahnya berpulang, Julien pernah mengajak ibunya tinggal bersama tapi ditolak. Sang ibu lebih suka bertahan di rumah keluarga mereka. Perempuan itu ditemani dua orang asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan keluarga Julien selama puluhan tahun.

Beberapa hari setelah kedatangannya bersama Prilly, Valda menyambangi Meeting Point lagi. Kali ini, dia menggandeng kekasihnya. Dahulu, ketika Abe baru mendekatinya, Valda membawa pria itu ke restoran dan memperkenalkan pada Julien. Abe sempat mengira jika Valda dan Julien berpacaran. Padahal, tujuan Valda untuk meminta Julien menilai Abe. Ketika mereka masih tinggal bertetangga, Valda juga melibatkan kedua kakak laki-laki Julien untuk masalah yang sama, Ernest dan Barra.

"Ju, di Gerha Kanal ada rumah yang dikontrakin, nggak? Kalau bisa sih, yang dekat rumahmu," ucap Valda, tiba-tiba. Kalimatnya mengejutkan Julien hingga lelaki itu mengernyit. Setahu Julien, Valda selama ini menyewa apartemen studio yang tak jauh kantornya.

"Ada sih, pas di seberang rumahku. Baru aja kosong sekitar dua minggu lalu. Tapi, aku nggak tahu udah ada yang minat atau belum." Julien merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponselnya. "Sebentar, aku telepon dulu ke orang yang ngurusin rumah itu."

Satu menit kemudian, Julien mendapat kepastian bahwa rumah yang dimaksud memang belum ada penyewanya. "Siapa yang butuh rumah? Kalian udah mau nikah, ya?"

Valda dan Abe saling pandang sebelum bertukar tawa. "Belumlah, masih lama kalau soal nikah. Bukan kami yang butuh rumah, tapi Prilly. Dia mau pindah dari rumah kakaknya."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Match Made in Heaven - BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya