[NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 2

Penulis: Ari Keling

Seminggu sebelum perjalanan dimulai.

"Woi ... mahasiswa!" teriak Jaya memanggil Rafli yang sedang mengendarai motor melewati bengkel milik Badri.

Rafli menoleh ke arah bengkel dan langsung menuju ke tempat itu. Dia memarkirkan motor matiknya di depan bengkel tersebut.

"Sini ngopi, Bro," kata Badri dengan mulut mengepulkan asap rokok.

"Muka lu kusut amat." Jaya terkekeh sambil melihat Rafli yang mendekat.

Rafli duduk di bangku plastik di sebelah Jaya seraya menyahut, "Gue baru aja putus sama si Sindi."

"Dia mutusin lu?"

"Gue yang mutusin dia," kata Rafli menjawab pertanyaan Badri. "Lagian gak sabaran banget. Nyinggung-nyinggung mulu kuliah gue. Katanya gue lama wisuda, lah. Bla ... bla .. bla ... gitulah pokoknya," keluh Rafli.

"Dia minta dilamar, tuh." Jaya terkekeh lagi setelah mengembuskan asap rokok.

"Udah gue jelasin, abis wisuda gue lamar. Tapi dia kayak gak mau ngerti. Gue jadi kesel. Ya udahlah daripada sering bikin gue jengkel, mending putus aja dah," tutur Rafli, lalu meraih cangkir kopi di atas meja kayu di depannya. Diseruputnya minuman itu perlahan, lalu menaruh kembali cangkir tersebut ke tempat semula.

"Kebetulan dah. Daripada lu bete, mending lu ikut gue aja ke Arjuno-Welirang," ajak Badri dengan wajah ceria. "Jaya udah mau, tinggal lu gimana? Ikut, ya?"

"Bukannya lu baru aja dari Prau? Emang lu gak capek?" Rafli balik bertanya.

"Justru itu. Di sana gue gak nikmatin pendakian, Raf. Soalnya terlalu rame. Udah kayak pasar gitulah," ungkap Badri.

"Lu juga, sih, yang salah. Udah tahu Gunung Prau udah kayak gunung wisata, eh lu nanjak pas libur akhir pekan, ya udah makin rame dah tuh," tandas Jaya setelah menyeruput kopi. Lantas dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.

"Jadi pas di Prau kemarin tuh gue kenalan sama pendaki dari Surabaya. Namanya Arul. Baik banget tuh orang. Dia nawarin gue makanan, minuman, sampe ngasih gue gelang rotan nih." Badri mengangkat tangan kanannya. Diperlihatkannya sebuah gelang rotan berwarna cokelat muda di pergelangan tangannya itu pada Jaya dan Rafli. "Karena dia nawarin kopi, terus gue kelepasan ngeluh soal Prau yang terlalu rame gitu. Lalu dia tanya gue udah pernah naek ke Arjuno atau belom, ya gue jawab belom. Terus dia ceritain tentang Jalur Cangar atau Jalur Batu."

"Jalur Cangar ...? Gue baru denger, tuh," kata Jaya sambil memperbaiki posisi topinya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana panjangnya. Dia mulai membuka Google untuk mencari tahu lebih tentang Gunung Arjuno-Welirang.

"Iya, setahu gue Arjuno-Welirang tuh jalurnya Tretes, Lawang, sama Purwosari," ucap Rafli menambahkan.

"Jadi, Jalur Cangar itu emang jarang dipake sama pendaki, Raf," timpal Badri. "Jadi kita akan ngerasa benar-benar mendaki gunung masuk ke hutan yang sepi. Apalagi nanti kita sampai di Lembah Lengkean, di situ semacam perempatan yang mengarah ke Puncak Arjuno, Welirang, Gunung Kembar Satu, dan Gunung Kembar Dua. Gimana? Asyik 'kan sekali pendakian kita bisa berdiri di empat puncak gunung, dan cuma butuh waktu tiga hari dua malam." Badri tersenyum semringah.

"Wah ... baru tahu gue ada gunung kembar gitu."

"Serius, Raf. Gue juga baru tahu. Si Arul udah pernah ke semua puncaknya. Dan emang beneran ada. Gue lihat foto-foto si Arul di sana," kata Badri lagi yang begitu antusias.

"Iya, benaran ada Gunung Kembar itu, Raf," kata Jaya dengan pandangan tertuju pada layar ponselnya.

"Tapi setahu gue di Arjuno gak boleh naek tiga orang atau ganjil, nanti ada setan yang genapin."

Badri mengembuskan asap rokok. Dibuangnya puntung rokoknya itu yang kemudian dia injak sampai baranya mati. "Jangan khawatir, Raf. Nanti Arul yang bakal nemenin kita ke sana. Jadi kita nanjak empat orang." Dia terkekeh.

"Serem juga mitos-mitosnya," kata Jaya yang masih fokus pada layar ponselnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Gak usah takut. Namanya juga gunung, pasti ada tempat-tempat yang serem, Jay. Lagian niat kita 'kan cuma naek gunung. Gak ada niat buruk apa-apa." Badri kembali menyulut sebatang rokok.

"Di Arjuno ada pasar setannya." Jaya mengisap rokoknya.

Badri terkekeh lagi. "Menurut gue, di semua gunung pasti ada pasar setannya. Bedanya cuma terkenal atau kagak. Kebetulan aja di Arjuno tuh pasar setan masuk jadi salah satu mitos," katanya kemudian.

"Iya, sih, namanya juga di gunung, ya pasti ada tempat-tempat yang serem." Jaya membuang puntung rokoknya setelah menyetujui ucapan Badri. "Di blog ini dijelasin juga soal gak boleh mendaki ganjil, entar ada setan yang genapin. Sebenarnya bisa juga naek ganjil, tapi salah satu pendaki harus ada yang bawa tongkat buat genapin. Terus gak boleh pake pakaian warna merah. Gak dijelasin, sih, alasannya kenapa. Ada juga yang namanya Alas Lali Jiwo. Jadi, kalo kita lagi di alas itu bisa lupa diri atau lupa jiwa gitulah, sampai-sampai bikin kita tersesat. Ada lagi nih. Kalo kita lagi jalan denger suara gamelan, harus berhenti dulu sampai suara itu hilang. Jangan tergoda buat nyamperin sumber suara gamelan itu."

"Ahh ... mitos kayak gitu, mah, di gunung-gunung laen juga ada. Iya, 'kan? Pokoknya kita cuma niat naek gunung. Beres deh," ujar Badri.

"Oke dah. Gue ikut. Gue butuh liburan setelah kerjaan gue abis kontrak." Jaya terkekeh. "Lu gimana, Raf?" tanyanya kemudian.

Entah bagaimana kali ini Rafli agak ragu. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi dia tidak tahu itu apa.

"Udahlah gue paham, Raf. Elu 'kan masih kuliah. Pokoknya lu bawa uang seadanya aja. Nanti gue yang nambahin buat biaya beli tiket kereta dan transportasi di sana deh. Gue baru aja dapat rezeki lebih, nih," kata Badri sambil menepuk pelan pundak Rafli. "Lupain dulu semua urusan di kota. Kita senang-senang di gunung. Mana tahu hati lu yang luka bisa jadi sembuh."

"Iya, Raf. Kali aja lu di sana malah ketemu cewek yang lebih aduhai daripada si Sindi." Jaya tertawa kecil.

"Bener tuh kata si Jaya."

"Emang kapan rencana jalannya?" tanya Rafli.

"Minggu depan deh. Tujuh hari lagi."

"Waduh. Mepet banget. Kereta Gaya Baru Malam Selatan tiketnya pasti udah abis."

"Tenang, Raf. Nanti kita naek kereta Jayabaya. Kita nikmati perjalanan dengan kereta yang lebih nyaman. Hahaha."

"Oke deh."

***

Rafli tidak tahu bagaimana bisa kedua kakinya terus bergerak maju. Dia menyusuri jalan setapak yang membelah hutan. Anehnya lagi, dia tidak mendengar suara apa pun. Segalanya hening meski dahan dan ranting pohon sesekali bergoyang karena diterpa embusan angin dingin. Dia hanya pasrah menuruti langkah kakinya yang entah membawanya ke mana.

Sialnya, Rafli mulai kelelahan dan tak bisa juga menghentikan kedua kakinya untuk beristirahat barang sejenak. Sampai beberapa saat kemudian jalan setapak itu berujung pada tanah datar, di mana terhampar rerumputan hijau yang menguning kering. Dia tiba-tiba berhenti. Didapatinya beberapa meter di depannya sebuah makam yang terbuat dari bebatuan, sementara ada nisan putih yang sayangnya tak bisa dia baca siapa nama di nisan tersebut.

Rafli mendadak tak enak hati. Ketakutan menguasainya. Ingin rasanya dia memeriksa makan itu, tapi kedua kakinya tak mampu digerakkan. Sampai kemudian makam itu meledak. Barulah Rafli bisa mendengar kerasnya ledakan itu, sehingga sangat mengagetkannya.

Ternyata Rafli bermimpi. Dia membuka matanya dan tak tahu mimpi itu pertanda apa. Dia meminum air putih untuk menenangkan diri, berdoa, lalu berusaha kembali terlelap.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya