[NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 5

Penulis: Ari Keling

Sepanjang perjalanan Rafli benar-benar kesulitan terlelap dengan nyenyak seperti teman-temannya. Dia berkali-kali terbangun dari tidurnya. Sampai akhirnya dia mendengar azan subuh berkumandang. "Pak Margo, mampir ke musala atau masjid dulu ya. Udah subuh, nih," mintanya.

"Iya, Mas. Seingat saya di depan sana ada musala di sisi jalan ini," sahut Pak Margo menjelaskan tanpa menoleh ke belakang.

Beberapa saat kemudian Pak Margo menghentikan mobil ke sisi kiri jalan. "Itu musalanya, Mas," katanya kemudian sambil menunjuk ke arah kiri.

"Iya, Pak," sahut Rafli. Dia menepuk dengkul Jaya. "Jay, Jaya, bangun, Jay. Subuh dulu, yuk."

"Hmm ...," gumam Jaya masih enggan membuka mata.

"Bad, bangun. Subuhan dulu, yuk," ajaknya pada Badri.

"Apaan?" tanya Badri sambil membuka matanya perlahan.

"Udah subuh," jawab Rafli.

"Lu duluan aja, deh," kata Badri yang kembali memejamkan matanya. "Gue masih ngantuk, Raf," sambungnya menjelaskan seraya menyandarkan kepalanya ke jendela kanan mobil.

Rafli kembali menoleh ke kiri. "Jay, ayo," katanya lagi sambil menepuk dengkul kanan Jaya.

Jaya mengembuskan napas dengan malas. Dia membuka mata sembari menggaruk tengkuknya. Dibukanya pintu seraya ke luar dari mobil.

Rafli ikut ke luar. "Ayo," ajaknya lagi.

"Gue nitip doa aja, Raf. Badan gue masih capek, nih." Jaya kembali masuk ke mobil. Ditutupnya pintu mobil itu dan melanjutkan tidurnya.

Rafli tak lagi berusaha mengajak kedua temannya untuk beribadah. Dia sempat melihat Pak Margo yang ke luar dari mobil, tapi tidak mengikutinya ke musala. Sopir itu bersandar pada bodi mobil untuk beristirahat sambil merokok.

Setelah berwudu, Rafli langsung masuk ke musala. Karena salat subuh berjamaah sudah selesai, akhirnya dia sembayang sendirian. Saat pertengahan rakaat pertama, seseorang menyentuh pundak kanannya. Dia lantas paham ada seseorang yang memintanya menjadi imam, sementara orang itu menjadi makmumnya.

Sesudah melaksanakan salat, Rafli bersalaman dengan seorang bapak yang tadi menjadi makmum. Lalu dia berdoa seperti biasa. Ketika hendak beranjak dari duduknya, Rafli disapa bapak itu.

"Mas, sampean bukan orang sini, ya?"

"Iya, Pak," jawab Rafi yang membenarkan posisi duduknya lagi agar lebih nyaman. "Kenapa, Pak?" tanyanya, lalu tersenyum.

"Oh ndak apa-apa." Bapak itu membalas senyum Rafli.

"Saya mau ke Gunung Arjuno, Pak," jelas Rafli.

"Mendaki ke Arjuno?" tanya pria berkulit sawo matang dan berkumis itu untuk memastikan.

"Iya, Pak." Rafli mengangguk.

"Sendirian?" Bapak itu memperbaiki letak peci putihnya.

"Berempat, Pak," jawab Rafli dengan cepat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Saya kira sampean mau mendaki sendirian."

Rafli spontan bertanya, "Memangnya kenapa, Pak, kalau mendaki sendiri?"

"Jangan mendaki sendirian, Mas," tandas Bapak itu. "Saya dulu juga suka mendaki gunung, Mas. Kalau ke Arjuno sudah beberapa kali. Ke gunung mana pun, saya ndak mau mendaki sendirian. Kalau sendirian itu bahaya. Kalau kita sakit, ndak ada orang yang tahu dan bisa menolong kita. Ndak ada yang menjamin orang yang sudah sering mendaki gunung bisa lancar dalam suatu pendakian, Mas. Selalu ada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Bisa saja sakit atau terjadi kecelakaan. Kalau kita mendaki bersama teman, paling ndak ada yang menolong kita, dan ada yang mencari pertolongan. Jadi lebih aman," lanjutnya menjelaskan, lalu tersenyum ramah.

"Saya kira gak boleh mendaki sendirian karena mitos, Pak."

"Saya ndak terlalu percaya sama mitos seperti itu, Mas. Saya lebih percaya dari sisi keamanan saja. Tapi ... toh kita harus menghormati mitos atau kepercayaan warga setempat, Mas. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Bapak itu tersenyum.

Kalimat terakhir bapak itu persis seperti ucapan perempuan paruh baya di kereta. Rafli masih ingat perkataan itu. "Iya ... ya, Pak," sahutnya kemudian. Dia merasa nyaman bercakap-cakap dengan bapak itu.

"Nanti lebih hati-hati ya, Mas. Belakangan ini cuaca sering hujan. Kemungkinan di atas sana juga sering hujan. Perbekalan yang cukup," pesan bapak itu.

"Iya, Pak. Makasih udah mengingatkan."

"Sampean lewat Jalur Cangar apa sudah tahu jalurnya seperti apa? Pendaki jarang lewat jalur sini, loh. Kemungkinan di jalur ini sepi pendaki, Mas."

"Kami ada teman dari Surabaya yang udah pernah mendaki lewat Jalur Cangar, Pak. Insya Allah dia tahu jalurnya."

"Ohh ... ya bagus itu." Bapak itu mengangguk-angguk pelan. "Berarti sudah dipersiapakan dengan matang pendakiannya."

"Iya, Pak. Alhamdulillah."

"Yo wis, saya mau ke pasar dulu. Hati-hati di jalan yo." Bapak itu mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut oleh Rafli. Kemudian dia berlalu dari tempat itu.

Rafli juga berdiri dan lantas melangkah ke luar musala. Dia menghampiri teman-temannya yang sudah bangun dan sedang berada di sebuah warung nasi yang tak jauh dari musala. Di sana teman-temannya sedang sarapan dan minum kopi.

"Sarapan dulu, Mas Rafli," kata Arul sambil menepuk dudukan bangku kayu.

"Iya, Mas." Rafli duduk di sebelah Arul. Dia melihat Badri dan Jaya sedang makan. Sementara Pak Margo menikmati kopi hitam dan rokok keretek.

"Kita santai di sini dulu saja. Sudah gak jauh, kok. Kita nunggu sampai matahari terbit, lalu menuju pos pendaftaran," terang Arul setelah mengembuskan asap tembakau.

"Atur aja, Mas Arul," sahut Jaya.

"Sip, Bro." Badri mengacungkan jempol tangan kanannya.

Rafli kemudian memesan makanan dan teh manis hangat. Dia harus mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian. Saat menunggu pesanannya disiapkan, tiba-tiba dia mendengar ada seorang perempuan yang menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jawa. Dia tidak mengerti arti lagu itu. Nyanyian tersebut berasal dari seberang jalan. Sumber suara itu seperti dari dalam hutan atau mungkin perkebunan. Dia tidak bisa memastikan karena di seberang itu ditumbuhi pepohonan lebat. Dia sungguh tak paham apa arti nyanyian berbahasa Jawa itu, tapi samar-samar dia mendengar dua kata yang membuat bulu kuduknya meremang. Dalam nyanyian itu, si perempuan menyebut ... sugeng rawuh.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pasar Setan Gunung Arjuno - BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya