[NOVEL] Tanda Baca: Bab 1

Penulis: Luluk Kamilia

Makan Malam

 

Sharena Fatma

 

Tanda baca.

Sebuah lambang dengan berbagai fungsi. Di mana aku harus meletakkan tanda baca setelah rumah tak lagi menjadi surga? Rumahku, resahku.

“Ren!” sergah Mami.

Ini makan malam paling menegangkan. Waktu semakin mepet. Kalau aku terus menunda, aku kerepotan. Huh, esok lusa! Aku bingung mencari kalimat tertepat agar mereka paham dan merestuiku. Mereka pasti marah apalagi baru dua hari yang lalu aku pulang.

“Rena!” sergah Mami untuk kedua kalinya.

Semua mata tertuju padaku, tetapi hanya dalam hitungan detik. Setelah itu, mereka kembali bercengkerama. Aku tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik Mami. Lincah dan energik. Wajah terlihat lebih mudah dari seusianya. Lipstik selalu terpoles sehingga terlihat segar. Namun, Mami selalu sinis saat Papi tersenyum mesra padanya.

Tuhan, kapan ini akan berakhir?

Sebuah tanya yang terlontar setiap mengingat kejadian kala itu. Semua terjadi begitu cepat. Satu hal yang paling aku sesali, yaitu kewarasan diri. Aku berniat untuk membangunkan Mami dan pamit untuk bertugas ke Toraja. Namun, kekecewaan yang kudapati.

“Sharena, diamlah!”

 Suara Mami terdengar lebih tegas. Aku mengangguk, mengikuti suara ketukan jemari di atas meja. Jari-jari ini menandakan kegelisahan karena waktu semakin mendesak.

Rumah dengan dua lantai terlihat luas. Langit-langit dihiasi lampu gantung. Tembok putih dan pilar besar menunjukkan kemewahan hakiki. Di sudut sana, ada sofa biru. Beberapa bantal diletakkan di sandaran. Papi menjadikannya tempat favorit saat lelah. Terkadang, Jasmine juga menjadikannya tempat melukis. Namun, aku belum pernah melihat Mami duduk manis sekadar menemani Papi ataupun Jasmine.

Segala lauk telah tersaji. Istri Kak Kyandra, Kak Nur, melangkah duduk. Jilbab kuning memancarkan aura penuh pesona. Aku suka. Entah dengan Mami. Apakah dia masih begitu membenci Kak Nur yang dianggap tak cocok untuk Kak Kyandra? Nyatanya, keluarga mereka adem ayem. Mereka memiliki dua anak. Bisnis Kak Kyandra pun meroket. Aku pikir, Kak Kyandra tepat memilih istri.

“Makan malam boleh sambil ngobrol, kan?” tanyaku sembari menegakkan kepala.

Mata tertuju padanya. Aku menarik garis bibir agar tatapan kami tidak terlalu dingin. Dia menunduk, memainkan jari-jari ajaibnya. Ya, aku mengatakan ajaib karena dia bisa menggambar apa pun. Bisa jadi, sekarang aku menjadi objek gambarnya. Jika tak percaya, lihatlah! Dia selalu membawa pensil dan buku gambar, lalu membukanya bila merasa suasana kurang mendukung. Pensil tergenggam. Jari meliuk. Dialah Jasmine.

Kehidupan berubah setelah Jasmine harus menelan kenyataan bahwa ibunya memilih pergi. Dia tidak banyak menuntut atas hak asuh Jasmine. Alasan Kak Nino menceraikannya pun dibenarkan. Bahkan, dia mengakui secara terang-terangan bahwa kerap membawa kekasihnya ke rumah ketika Kak Nino sedang ke luar kota. Mengapa aku merasa jijik pada kakakku sendiri? Aku rasa uang telah menjadikan istri sebagai tumbal. Dia sangat sibuk hingga rumah berperan sebagai tempat singgah sesaat.

“Boleh saja selama tidak merusak acara makan malam,” jawab Mami mencuci tangan, lalu duduk bersama kami.

Mami terlalu kuat untuk merasakan apa yang aku rasa. Mungkin kebersamaan kami selama sembilan bulan menumbuhkan kekuatan batin. Mami selalu tahu tentang perkara yang bersarang di benak.

Kini, meja makan dipenuhi berbagai lauk. Aroma nikmat menyusup. Mereka sedang berdoa, aku enggan. Aku lebih suka memperhatikan cara mereka berdoa. Dengan begitu, aku bisa tahu siapa saja yang menjadikan doa hanya sebagai formalitas.

Kudapati Kak Nur mengurungkan diri berdoa setelah melihatku memilih memainkan sendok dan garpu. Dia tampak ingin memastikan penglihatannya benar. Aku mengangkat bahu serta senyum menyepelekan. Kak Nur tersenyum tipis, lalu menunduk dan memulai doa.

Heran, apa resep sabar Kak Nur? Mami sering memojokkannya ketika sang buah hati sedang sakit. Mami menilai kerjanya sebagai Ibu tak becus. Masak pun tak seenak Mami. Padahal, saat aku mengicip masakannya—tetapi tak seorang pun tahu—aku menemukan ketenangan di dalam sebuah rumah. Keluarga, tawa, diskusi, saling mendukung, semua tersaji cukup dalam bentuk lauk sederhana. Kak Nur mampu mendeskripsikan rumah sebagai surga.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Mari kita makan,” ujar Papi.

Mereka mengambil nasi secara bergantian. Kak Nino terlihat jika tak sabaran. Dia menunggu giliran sembari mencomot sepotong daging. Aku menelan ludah karena cara dia makan sungguh menggugah gairah.

Bagaimana Jasmine? Dia terlihat malas dengan tujuan makan malam kali ini. Antusias tidak terpancar meski Kak Nur berusaha menjadi ibu untuk Jasmine. Kepala terus menggeleng, menolak berbagai lauk yang tersaji. Namun, Kak Nur tidak putus asa. Dia terus bertanya dan membujuk Jasmine hingga akhirnya sepotong ayam bumbu merah menjadi pilihan.

Jasmine putri tunggal Kak Nino. Sejak dua tahun lalu, Jasmine berevolusi menjadi pribadi murung. Waktu lebih banyak di kamar untuk menuangkan imajinasi liar dalam bentuk gambar. Warna-warna tergores sempurna. Namun, tidak seorang pun mampu memaknai. Mungkin, ini gambar kekecewaan Jasmine terhadap keputusan kedua orang tuanya. Mereka berpisah ketika Jasmine berusia 10 tahun. Alhasil, bibir harusnya bicara, ini malah terdiam. Tangan harusnya bekerja, ini malah lebih dominan bicara.

“Kamu nggak makan?” tanya Papi.

Mami terus memantau gerakku sembari menyodorkan piring kepada Papi. Sesekali, Mami membetulkan kacamata yang melorot. Ucapan terima kasih dari Papi, ia abaikan.

“Boleh nggak, aku ngomong sesuatu?”

Semua masih bersikap normal. Mereka menyantap menu makan malam dengan lahap. Tiada seorang pun memandangku, mengkhawatirkanku, ataupun mencemaskan profesiku. Mereka makan seolah aku akan menyampaikan perihal asmara.

“Makanlah dulu!” pinta Mami. Kali ini, Mami berbicara tanpa memandangku.

Mami seperti menemukan firasat buruk. Ketus sekali ucapnya. Singkat, tetapi cukup mengunci ketakutan dalam benak. Baiklah. Aku ikuti alur Mami. Aku akan berbicara setelah makan malam usai. Setidaknya, aku punya waktu untuk mengoreksi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan.

“Segeralah, makan!”

Lagi-lagi, Mami menyuarakan imperatif. Apa Papi dan yang lain tidak curiga dengan gerak-gerikku? Mereka masih enak makan. Padahal, kalau diizinkan, aku memilih untuk tidak makan. Tubuhku sulit menelan meski semua lauk cukup menggiurkan.

Kacau. Kalau aku menunda, alamat insomnia. Aku akan bergadang sementara besok harus menyiapkan segala perlengkapan. Namun, apa pun yang terjadi, pilihanku tetap berangkat. Hanya saja, aku merasa kurang bila masih tersendat restu orang tua. Kerja pasti tak nyaman, langkah pasti tak jelas, dan pikiran pasti terpecah.

“Kamu mau bicara apa?” tanya Papi.

Akankah ada laki-laki seperti Papi? Perhatian dan tulus. Kalian juga bisa mendengar. Meski Mami melarangku membicarakan sesuatu, Papi justru ingin mendengar pintaku. Berkali-kali tangannya meminta Mami tenang dan melanjutkan makan.

“Kalian bisa tetap menikmati makan malam ini. Percayalah!” seruku mengurungkan diri mengambil nasi.

“Tolong, untuk kali ini, hentikan minta yang aneh-aneh!” sahut Mami, belum berkenan memandangku.

Mami sadis. Bila melirik, dia mengingatkanku pada dosen penguji. Bulatan mata berubah menjadi terkaman. Bibir nude perlahan menghitam. Ah, ngeri! Saat itu aku merasa sedang masuk ke sarang macan.

Kaki bergetar. Piringku masih kosong. Dada Mami mengembang setelah meyakini kecurigaannya. Aku membalas dengan senyum gamang, tetapi ia memalingkan muka. Kalian tahu, apa yang dilakukan oleh batinku? Dia mengumpat segala serapah menyatukan sisa kesal yang belum seutuhnya bersih. Apakah aku berdosa? Tolong mengertilah Tuhan. keadaan ini bagai di ujung tanduk. Aku serbasalah. Aku dokter. Hidupku di alam. Hidupku diperuntukkan pada alam. Jadi?

Ah, aku benci kondisi ini! Harusnya, aku mencatat kalimat itu dan membacanya dengan penuh penghayatan. Hitung-hitung latihan ritual adat pernikahan. Bukan begitu? Ih, apaan sih!

“Maaf sebelumnya. Aku ucapkan terima kasih atas support kalian hingga aku sukses seperti sekarang. Aku mohon izin dan restu kalian, terutama Mami dan Papi. Lusa, aku berangkat ke Wisma Atlet untuk menjadi relawan penanganan Covid-19.”

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Tanda Baca: Bab 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya