[NOVEL] Tanda Baca: Bab 2

Penulis: Luluk Kamilia

Perdebatan

 

“Maaf sebelumnya. Aku ucapkan terima kasih atas support kalian hingga aku sukses seperti saat ini. Aku mohon izin dan restu kalian, terutama Mami dan Papi. Lusa, aku berangkat ke Wisma Atlet untuk menjadi relawan penanganan Covid-19.”

“Sharena, tolong jangan bercanda!”

Kak Kyandra bersuara. Dia lebih bijak dibanding Kak Nino yang dua tahun lebih tua darinya. Aku harap, dia bisa menolongku.

“Apa yang kamu cari?” sahut Nino terdengar lebih murka. “Sadar nggak, apa risiko dari keputusan gilamu ini?”

“Ini nggak gila, Kak. Panggilan hati memintaku untuk turut andil memerangi Covid-19.”

“Nggak. Kali ini, Mami nggak setuju. Kamu pergi ke Pulau Kei, Mami udah nggak bisa tidur, nggak bisa makan. Eh ini, kamu mau sok-sokan jadi relawan.”

“Mi, dengerin Sharena!”

“Sekali nggak, ya nggak!”

“Mi, kali ini masalahnya beda. Sharena harus berangkat.”

“Kamu selalu bilang begitu. Kali ini, kali ini. Ke Palu pun, kamu juga bilang kali ini.”

Suasana mulai mencekam. Perdebatan membuat anak-anak terusik. Kak Nur cekatan. Dia pamit untuk mengajak anak-anak makan di taman belakang. Dia pun tak lupa mengajak Jasmine yang memandangku getir.

“Kamu gila, Shar!” Nino kembali bersuara.

“Sudah-sudah,” sela Papi. “Jadi relawan itu riskan, Shar. Pasien di Kei lebih bersahabat dibandingkan pasien-pasien di Wisma Atlet. Pun beda dengan penanganan bencana yang terlihat batas akhirnya. Nah, ini. Kita nggak pernah tahu sampai kapan.”

“Benar, Pi. Aku paham risiko semua ini. Bahkan, kematian menjadi risiko terbesar.”

“Nah, itu paham.” Mami menyambut ucapku dengan napas terengah.

“Aku tetap akan pergi, Mi.”

“Heran. Semua orang sedang menghindari zona merah. Eh, kamu malah menyerahkan diri. Kamu pikir, kita nggak resah?” tanya Kak Nino.

“Ini risiko pekerjaanku sebagai dokter. Kalau Kak Nino sebagai pengusaha, risiko terbesar gulung tikar. Kak Kyandra juga sama.”

“Terus, kamu mau gulung nyawa?” ucap Nino selalu sarkasme.

Jadi penasaran, bagaimana dia menghadapi klien? Pantas saja, Jasmine menjadi misterius. Mungkin dia malas berdebat dengan ayahnya yang keras.

“Iya, sekalian nyawa lo, biar nggak serakah.”

“Tolong jangan berdebat. Ini masalah serius, Nin.” Kak Kyandra kembali bersuara dengan nada turut meninggi. Dia memandangku.

“Kamu nggak lihat, dia sangat kurang ajar. Dia pikir jadi relawan penanganan Covid-19 itu hebat. Bisa dikenal. Jadi pahlawan. Tolonglah, Shar. Kamu bisa kerja lebih layak dari sekadar jadi relawan.”

“Ini panggilan hati, Kak. Aku nggak pernah berharap dapat apa-apa. Jadi tolong, hentikan pemikiran serakahmu!”

“Serakah gimana?”

“Ya serakah. Kamu selalu memandang pekerjaan dari duit yang akan kamu terima. Apa itu kalau bukan serakah namanya?”

Untuk kalian yang belum paham, cinta itu selalu menentang akhir. Cinta itu selalu memberontak jika ada dua arus berbeda. Ibarat tanda baca, cinta tidak perlu tanda titik untuk mengakhiri kalimat sebab dia tahu cinta adalah lambang tak hingga. Sekarang, aku bingung harus mengungkap cinta dengan cara apa?

“Diam semuanya!” Mami terlihat emosi. “Keributan kalian tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi semakin memperumit keadaan.”

Satu keinginan, dibalas seribu penolakan. Lama-lama, aku terbiasa dengan kondisi perizinan orang tua yang beralur ribet. Selalu seperti ini. Adu mulut, saling memojokkan, dan selalu merasa benar.

“Bisa nggak sih, Ren, kamu kerja normal? Kayak dokter pada umumnya. Punya tempat praktik. Jam kerja jelas. Keluarga tenang.”

“Untuk sekarang nggak ada keluarga dokter bisa benar-benar tenang, Mi. Itu sama saja melanggar sumpah.”

“Ya setelah ini, setelah semuanya mereda,” balas mami sangat cekatan.

Aku mengatur amarah. Hati sensitif bila dianggap melakukan tindakan salah. Pekerjaanku dokter dan aku senang menemui pasien di medan rumit sekalipun.

“Semua dokter sedang berjuang, Mi.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mami berdiri. Kegeraman terlihat jelas ingin menerkam wajahku. Beruntung Papi melerai. Alamat, restuku akan digantung.

“Tahulah, Mami pusing urusin kamu. Jadi dokter, tetapi tempat kerjamu selalu berisiko.”

Mami berlalu meninggalkan kami sembari memegang kening. Papi mencegahku yang hendak mengejar Mami. Aku menjadi serbasalah. Jujur, aku merasa sedang berdiri di persimpangan sulit. Di sisi lain, kesuksesanku berawal dari keringat dan kasih sayang mereka. Di sisi lain, ada banyak nyawa yang harus aku perjuangkan. Keduanya penting meski sangat mustahil bisa menyejajarkan keduanya. Tuhan, aku cinta keduanya.

“Coba pikirkan kembali. Cukup Kei membuat kami mengkhawatirkanmu.”

“Aku tetap akan berangkat, Pi.”

“Harus ya, Shar?” tutur Kyandra dengan tenang.

“Iya, Kak. Ini misi kemanusiaan. Aku terlahir sebagai dokter. Tuhan telah mengajariku, cara mencintai dan mengasihi. Kini saatnya, aku berterima kasih pada-Nya. Yakinlah, aku akan baik-baik saja.”

“Papi Mami menguliahkanmu agar kamu punya masa depan,” ujar Nino memancing keributan.

“Menjadi relawan juga memiliki masa depan, Kak.” Suaraku meninggi, mata elang siap menerkam. “Jangan ukur keberhasilan dari materi!”

“Hidup butuh uang, Shar. Jangan sok idealis menolak uang sebagai segalanya. Kamu butuh uang selama kamu memiliki napas.”

 “Cukup. Apa pun alasan kalian, aku akan berangkat. Untuk Kak Nino, aku cuma bisa pesan, untuk tidak serakah itu susah. Belajarlah! Keserakahanmu tidak bisa menghalangi impianku.”

“Kamu nggak kasihan sama Mami Papi?”

“Itu yang seharusnya aku tanyakan padamu. Sikap egoismu tidak hanya melukai Mami dan Papi, tetapi juga Jasmine.”

Aku berdiri, berusaha kuat sebelum buliran air mata tumpah.

***

Bersitegang menjadi drama saat hendak bertugas. Aku dituntut kreatif mengolah kalimat. Jujur, lebih sulit memberikan penjelasan kepada orang tua daripada pasien. Mereka menjadi pribadi sensitif. Salah menggunakan sebuah diksi hanya akan memperkeruh keadaan. Hmm, aku pun terkadang ingin menyerah. Sebab berdebat dengan orang tua seperti belajar durhaka. Aku tidak mau itu.

Akhirnya, aku selalu menjadi pihak yang kalah. Kamar pun menjadi tempat terakhir menumpahkan segala rasa tanpa sebuah solusi. Ingin aku empas barang-barang. Setidaknya, itu cukup untuk menyembuhkan kecewa. Dengan begitu, mereka tahu, aku butuh dukungan.

“Terserah. Mami capek urus Sharena. Dia suka menantang maut.”

Samar-samar suara Mami terdengar. Aku berbaring di kamar, mengamati langit-langit bercahaya remang. Sebuah bantal dalam pelukan sedang meredakan degupan yang kacau. Bodoh amat, apa pun yang terjadi di luar sana bukan urusanku. Saat ini, aku hanya butuh istirahat. Perkara restu biar esok yang menjawab. Masih ada beberapa jam untuk mengubah pikiran Mami dan Papi. Aku yakin, mereka sedang berdiskusi. Mami dengan hati penuh resah. Sebaliknya, Papi dengan pikiran penuh logika.

“Shar, tolong bukakan pintu!” pinta Kak Kyandra, mengetuk pintu kamar. Suaranya masih tenang.

Beban bantal kutambah di atas kepala. Mata terpejam. Otak berkelana.

“Banyak orang bilang, Sharena Fatma bukan sembarang dokter. Dia—seorang dokter yang ramah—idola banyak pasien, terutama anak kecil. Tapi ... Kakak sangsi karena sekarang dokter Sharena mengabaikanku. Itu artinya, dia dokter apatis.”

Kak Kyandra pandai merayu. Siapa yang tega membiarkan laki-laki sabar berdiri di ambang pintu? Dia peduli padaku dan rela menjadi tempat pelampiasan Mami. Tubuh gagahnya bagai malaikat. Jiwa pelindung terasah sejak kami sekolah. Ia kerap mengalah dan melindungiku dari murid-murid super jail.

“Ayo dong, Shar. Buka pintunya!”

Aku bersungut-sungut. Bantal kusingkirkan.

“Sharena mau istirahat, Kak,” teriakku, berharap Kak Kyandra mengerti.

“Sebentar saja. Lima belas menit cukup. Tapi bergantung kamu juga sih,” katanya meyakinkanku.

Mata memelotot, mencurigai ucapan Kak Kyandra. Yakin hanya hanya butuh lima menit? Seorang bocah pun perlu banyak waktu agar keinginannya terpenuhi. Nyatanya, orang tua mereka menyetujui sekaligus mengelabui. Siapa yang berdusta? Siapa pula yang berkhianat? Tolonglah, jangan jadikan janji sebagai pemanis dialog. Aku capek, muak, dan malas.

Satu lagi, tolong kenali setiap profesi dari berbagai sudut pandang, terlepas kamu suka atau tidak. Caranya, kamu cukup menyingkap putih dan pelajari. Selanjutnya, singkap hitam dan kamu cukup tahu tanpa melibatkan hati. Mudah, bukan?

Lantas, apa yang harus kuperbuat ketika hitam menjadi daya tarik keluargaku? Mereka belum mengerti sepenuhnya tentang profesiku. Ingat, aku bukan dokter yang bertugas di klinik atau rumah sakit. Jadi, hentikan perdebatan ini! Malu. Apalagi, Indonesia sedang berduka. Seluruh negeri juga berduka. Pantas bila aku hanya berdiam diri, menutup telinga seolah sikap tersebut mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik? Aku sendiri sebenarnya muak. Mengapa administrasi restu di rumah ini begitu alot? Birokrasi panjang selalu berujung pergolakan batin.

“Kenapa sih kamu mau jadi relawan?” Kak Kyandra masih bersikukuh bertanya perihal alasan dari sebuah keputusan besar yang akan mengubah segalanya.

Baiklah. Aku jelaskan bila itu yang kalian inginkan.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Tanda Baca: Bab 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya