[NOVEL] Tanda Baca: Bab 4

Penulis: Luluk Kamilia 

Mami Memanggil

 

Sammy, wajahnya terlihat kesal.

Kejujuranku memancing keributan. Pasar merupakan tempat tradisional paling jarang atau tidak pernah didatangi oleh para turis, kecuali pasar yang unik atau bersejarah. Nah, Pasar Langgur sama sekali tidak pernah terdengar di media nasional. Intinya, Pasar Langgur sama dengan pasar-pasar pada umumnya.

“Pernah ke Pasar Langgur?” tanya Pak Hasan merasa tersanjung. Jangan bilang, akulah satu-satunya pendatang yang antusias untuk mengunjungi pasar tradisional.

“Belum pernah. Karena itu, besok pagi, saya ingin ke pasar sebelum berangkat ke Pulau Kei Besar.”

Pak Hasan mengangguk setuju meski sorot matanya terlihat bingung. Dia merasa aneh. Tangan mengusap dahi yang basah akibat permintaan konyolku. Sesekali, Pak Hasan melihat Sammy yang sengaja membuang muka karena malu mendengar pintaku. Menurut kalian, apa yang salah? Wajarkan bila aku ingin pergi ke pasar di tempat yang baru aku kunjungi?

***

Waktu telah berganti.

Di mana saja kaki berdiri, Indonesia selalu sama. Cita rasa dalam pesona seperti cerita alam pada dunia. Langgur juga berkata, “Selamat datang Sharena Fatma.”

Setiap kali aku melangkah di tempat baru, aku perlu penyesuaian. Mata selalu norak bukan karena bangunan-bangunan bertingkat, melainkan aku tertarik membaca setiap tulisan sepanjang jalan. Kami berangkat, dibonceng dua anak buah Pak Hasan. Pesona timur terkesan sangat berbeda. Kendaraan lalu lalang dan mereka bilang ini terlalu ramai. Apakah aku yang terlalu asyik dibonceng sehingga tidak merasakan macet?

Angin berdesir sejuk. Kini, aku bisa berjalan-jalan di kota tanpa merasa bising. Suara klakson nyaris tak terdengar sebab di sini tak ada pengejar waktu. Mereka disiplin sehingga jarak tempuh bisa dilalui dengan aman, tenang, serta lancar.

Jalan menanjak dan berkelok. Aku sangat menikmati dan belum merasakan pentalan akibat jalan berlubang. Semua terlihat rata.

“Masih jauh?” tanyaku menembus desir angin. Aku sedikit berteriak.

“Sebentar lagi, setelah kita melewati jembatan, Dok.”

Jembatan? Aku membetulkan posisi duduk. Aku yakin, inilah jembatan yang pernah aku tonton di Youtube. Maklum, aku adalah generasi Dora yang selalu ingin tahu. Kalau tidak salah, jembatan itu menghubungkan daratan di antara sungai besar. Hamparan biru menyegarkan, menambah semangat baru. Aku yakin, aku hanya butuh waktu kurang dari sebulan untuk merasa menjadi bagian dari Pulau Kei.

Beberapa transportasi umum melintas. Hanya ada beberapa penumpang. Mereka lebih banyak menggunakan sepeda motor. Di depanku saja, ada lima motor. Salah satu di antara mereka pasti hendak ke pasar. Tas anyaman berwarna hijau sedang di tenteng, tertiup angin. Aku geli, mengkhawatirkan tangan si Ibu lengah lalu tas terbang tertiup angin. Namun, nyatanya tas aman hingga kami belok di sebuah tempat paling padat pengunjung, yakni Pasar Langgur.

“Kenapa kita ke pasar, Shar?”

“Sam, sejak awal aku sudah katakan. Kalau hanya ingin bertanya dan terus nyerocos seperti mulut ABG yang kehabisan kuota, mending kamu diam dan nggak usah ikut.”

“Maksudku, kenapa kamu suka pasar, Shar?”

Perdebatan pertama di tanah Kei Kecil. Aku juga tidak paham, mengapa kerap setim dengannya. Apakah usia kami yang tidak terlalu berjarak dianggap akan memudahkan komunikasi? Nyatanya, jalan kami sering berlawanan. Pinta kami sering bertentangan. Lalu, apa dasar menilai kami tim yang kompak?

Semoga ini perjalanan sementara yang harus kami lalui bersama di Pulau Kei. Aku tidak bisa membayangkan harus bertahan dengan laki-laki yang membenci bau amis dan terik. Tubuh kekar dengan lengan berotot seolah hanya sebagai pembuktian gender. Selebihnya, menurutku, Sammy laki-laki lembek.

“Shar, amis banget.”

“Kamu pikir kita sedang di mal. Ini Pasar, Sam. Tolong mengertilah!”

Sammy menahan mual. Sebelum ada anjuran menggunakan masker saat keluar rumah, dia pun telah menerapkannya. Sayangnya, bau amis terlalu kuat hingga menembus ke sela-sela serat kain.

“Balik yuk, Shar!” pintanya saat aku sangat antusias memfoto dan berbincang-bincang dengan pedagang. Tanganku gatal untuk mengukur panjang ikan. Empat kilan, ukuran yang langka aku temukan di pasar biasa, di Jakarta.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Laki-laki harus tangguh!”

Aku kembali menyusuri pasar. Kagum semakin merajalela saat aku menemukan jenis ikan yang belum pernah aku temui sebelumnya. Ini pasar, tetapi sangat membuatku terlihat norak. Apakah memang seperti ini standar norak anak kota?

“Gimana kalau kita cari sayur-mayur saja? Lebih bersih dan enggak becek.”

Decakku terdengar lantang. Kesalahan besar jika pergi ke pasar bersama Sammy. Dia lebih cerewet daripada para pembeli. Pusing mendengarnya.

Kami pun memutuskan berbalik arah. Aku tidak ingin memalukan diri sendiri setelah mendapati seorang dokter laki-laki muntah hanya karena bau amis. Sammy mengangguk senang, aku mengabaikan. Dia benar-benar lemah. Bahkan saat berusaha keluar dari pasar, Sammy tak henti menggandoli ranselku. Beban yang bertambah membuat tubuhku tertarik hingga mulutku lancar mengucap serapah.

“Bebanmu terlalu berat, Sam,” seruku menarik diri.

Sebuah wilayah belum terjamah bila tak menapakkan jejak di pasar, tempat tradisional bernilai sejarah tinggi. Aku akan mencari hal-hal yang unik sebab aku ingin jejakku bernilai sejarah, bentuk penghargaan pada sebuah destinasi.

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju lapak para pedagang. Kali ini, Sammy benar. Aroma pasar lebih segar. Tanah kering dan sirkulasi udara yang cukup, sangat menyejukkan. Kami berjalan beriringan, menepis perselisihan.

Tomat-tomat terpajang di bale-bale menjadi pemikat walaupun tidak ada keinginan untuk membelinya. Cukup kamera menyimpannya menjadi salah satu foto kenangan di Pasar Langgur. Namun, di lubuk hati terdalam, tomat itu mengingatkanku pada Mami. Dia suka menggerogoti tomat layaknya menyantap apel.

“Aku nggak salah lihat, kan?”

“Menurutmu? Hanya Langgur yang bisa mengobati rindumu tanpa harus menyelam.”

Mataku berbinar. Segera aku membopong buah berukuran raksasa. Kalau di Jawa, pasti akan menjadi foto di kover majalah Trubus. Bengkuang raksasa berbentuk bebek sedang di lelang dengan harga mulai sepuluh juta. Sammy sigap, segera mengabadikan rindu. Gigi rapiku mengintip keluar bersama pelototan takjub.

Terima kasih, Sam. Aku membenci tubuh lembekmu. Namun, bolehkah aku mengenal hatimu yang selalu paham mengajakku pulang setelah kausuntikkan bius rindu?

Tidur kurang berkualitas. Samar-samar, dialog di Pulai Kei meredah. Mereka datang setelah semalam terjadi drama antara aku dan Kak Kyandra. Pagi ini pun, ombak seakan-akan siap membasahi kakiku.

Kenangan ditanggalkan sejenak. Restu lebih penting daripada sekadar mengingat kemelut batin yang belum menemukan pangkal. Ingat, sampai detik ini, aku belum mengantongi restu. Padahal, esok pagi, aku akan berangkat. Sebuah koper dan ransel telah siap kuajak berkelana untuk kesekian kalinya. Berapa kali ya? Ah, tahu begitu, aku akan membuat stiker lalu menempelnya di koper agar aku mudah mengingat perjalanan karierku sebagai dokter.

Berbicara mengenai restu, aku memiliki rencana. Seandainya hingga besok aku belum mendapatan restu itu, aku akan mati-matian menego Sang Maha Segalanya dengan doa-doa kebaikan. Tujuanku sederhana, aku gunakan hasil nego itu sebagai benteng dari doa-doa Mami untukku. Ya, aku takut lidah Mami terkilir lalu terucap kalimat buruk.

Ujung selimut tersingkap. Tubuh gerah meninggalkan bau kecut di baju. Orang bilang itu pertanda bahwa tidur terlalu nyenyak. Maaf, kali ini aku akan menentang sebab bajuku kecut bukan karena tidur pulas, melainkan lelah memutar otak.

Tangan meraba keberadaan ponsel di balik tubuh. Aku yakin ponsel sedang tertindih.

“Ren, bangunlah! Sarapan sudah siap. Mami pergi dulu,” ujar Mami dari balik pintu.

Kaki kanan menjuntai ke bawah, sedangkan kaki kiri terbebat selimut hingga terjatuh. Pantat terhantam keras. Bukannya sakit, tetapi aku malu meski tak seorang pun melihat. Rasanya ingin kucaci diriku sendiri. Aku terlalu gembira setelah mendengar suara Mami seolah tidak ada perdebatan antara kami.

 

Cinta itu sederhana dengan sifat mahaluas. Cinta bukan ilmu hitung, tetapi cinta ilmu abstrak. Kamu bebas memberi dan melukis cinta tanpa harus mengakhirinya. Dengan cinta kamu bisa berdialog dalam diam. Namun, dengan cinta pula kamu bisa terluka jika menyandingkannya dalam hitungan berbatas. Maka, umbar saja cintamu dan gunakan tanda titik hanya untuk menunjukkan kualitas bukan lagi kuantitas.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Tanda Baca: Prolog

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya