[NOVEL] The Benefits of Heartbreak - BAB 3

Penulis: Arini Putri

Naydelin and His Broken Promise

 

Pesawat dari New York-yang sempat transit di Tokyo-mendarat hampir satu jam lalu. Naydelin duduk manis di salah satu kafe—di dalam arrival gate—karena dia yakin di luar sangat panas. Lagi pula, seseorang yang berjanji akan menjemputnya belum juga menunjukkan tanda-tanda telah sampai.

Naydelin melihat ponselnya lagi. Masih tak ada apa-apa di sana. Tiba-tiba saja Naydelin menjadi cemas. Orang itu... tidak lupa menjemputnya, kan? Dia sudah berjanji kemarin, saat berbicara dengan Naydelin lewat telepon. Mama juga sudah memastikan dia mau menjemput Naydelin di bandara. Jadi tidak mungkin dia lupa, kan? Naydelin kemudian mengingat jalanan Jakarta yang selalu macet, menyimpulkan sendiri, mungkin itu alasan dia terlambat. Namun bisikan jahat di telinganya kembali berkata, kalau memang tahu akan macet, kenapa tidak berangkat lebih awal? Apa dia tidak ingin cepat-cepat bertemu Naydelin? Padahal Naydelin sudah tidak sabar ingin melihatnya.

Naydelin mendesah, kemudian mengeluarkan kamera dari tas selempangnya. Vloggers lain pasti sekarang sudah sibuk merekam tiap sudut bandara atau berbicara sendiri di depan lensa kamera. Naydelin biasanya juga begitu, tapi hari ini dia tidak bisa. Perutnya sejak tadi terasa berputar dan pikirannya terus tertuju pada seseorang. Naydelin tahu persis, dia benar-benar merindukannya. Berbicara lewat telepon atau melihat wajahnya lewat video call rasanya tetap tak sama dengan bertemu langsung, kan? Dan sudah hampir dua tahun lamanya Naydelin tak bertemu dengannya. Jarak New York dan Jakarta memang terlalu jauh.

Setelah menghabiskan minumannya, Naydelin memilih berdiri dan menarik kopernya ke luar. Dia mengarahkan kameranya ke berbagai sudut, berusaha merekam seadanya. Naydelin melewati pintu kaca otomatis, segera disapa oleh hawa Jakarta yang hangat. Kameranya menangkap deretan mobil yang berbaris rapat di sepanjang jalan dan langit Jakarta yang telah menggelap. Kemudian Naydelin bergerak, mengarahkan kameranya ke samping. Sosok tinggi yang tersenyum tipis muncul di layar kameranya, membuat tubuh Naydelin membeku. Sosok yang dinantikannya akhirnya muncul.

Kak Adrian. Naydelin ingin memanggilnya begitu, sayangnya lidahnya begitu kaku sekarang. Apalagi saat ini sosok itu mendekat dan tersenyum semakin lebar hingga lesung pipitnya terlihat. Semua rasa kesalnya karena menunggu satu jam luruh begitu saja di depannya.

"Having fun?" tanya Adrian, melirik kamera di tangan Naydelin.

Naydelin menurunkan tangannya dan mengerucutkan bibirnya. "I'm not. This is my work," jawab Naydelin, paling kesal jika vlognya dianggap main-main.

Adrian diam sejenak, memperhatikan Naydelin tanpa berkata apa-apa. Hingga detik berikutnya, Adrian sudah melepas jaket hitamnya, lalu mengikatkannya ke pinggang Naydelin. Aroma pinus segera tercium saat tubuh Adrian begitu dekat, membuat pipi Naydelin memanas.

"Ini Jakarta, bukan New York. Harusnya kamu enggak pakai rok pendek. Semua laki-laki dari tadi ngelihatin kamu," omel Adrian dengan suara rendahnya.

"Bukan karena aku cantik?" tanya Naydelin, setengah bercanda, setengah serius.

Adrian menarik tubuhnya menjauh dan tersenyum sambil menatap wajah Naydelin yang sudah merona. "Ya, itu juga," ujarnya singkat sambil tertawa kecil.

Naydelin terdiam sejenak, berusaha mencerna segalanya. Orang yang dirindukannya sekarang telah berada di hadapannya. Jaketnya bahkan telah terikat di pinggangnya. Tetapi lelaki itu hanya berdiri sambil tersenyum-tidak memeluknya, tidak mengusap kepalanya. Naydelin jadi semakin tak mengerti.

"Is this how you said sorry... for being late?"

Dan lagi-lagi, Adrian tertawa kecil. "Sorry," ucapnya. Lalu, Adrian mengulurkan tangannya dan mengacak rambut panjang Naydelin. "And welcome back home."

 ***

And welcome back home, begitu kata Adrian tadi. Naydelin tersenyum lebar saat mendengarnya tadi, walaupun sebenarnya dia tak tahu apa tempat ini bisa dia sebut rumah.

Naydelin tinggal di Jakarta hanya sampai SD kelas 4. Setelah orangtuanya bercerai, Naydelin dibawa Papa ke Boston. Mereka berdua tinggal di sana sampai Naydelin berusia 13 tahun. Mereka pindah ke Chicago setelah Papa mendapat pekerjaan di sana. Naydelin melanjutkan pendidikannya di New York, Fashion Institute of Technology, jurusan Fashion Design. Ketika Naydelin menginjak usia 19 tahun, Papa meninggal dunia. Naydelin menolak kembali ke Jakarta bersama Mama dan memilih tinggal sendiri di New York. Hingga pendiriannya itu runtuh saat Adrian diminta ayahnya bekerja di rumah sakit milik keluarganya. Di Jakarta.

Jadi jika diminta menjelaskan arti rumah, Naydelin juga tak tahu. Yang Naydelin tahu, saat ini dia memutuskan kembali ke sini. Ke kota kelahirannya. Tinggal kembali bersama Mama. Dan berada di dekat Adrian.

"So, you're here for good?" tanya Adrian yang masih sibuk dengan kemudinya.

Naydelin menggeleng pelan. "I don't know," jawabnya dengan ragu. "Aku ke sini untuk ngerjain proyek bareng CLOU. Tahu, kan? Fashion brand itu?"

Adrian mengangguk.

"Aku tertarik banget ambil proyek ini, buat buktiin kemampuanku. Aku capek dianggap remeh. Dibilang cuma vlogger modal tampang," ujar Naydelin, berusaha menyembunyikan kekesalannya, tapi tak berhasil. "Mungkin proyek ini butuh waktu, uhm... sekitar tiga bulan. Tapi aku juga mungkin harus stay lebih lama untuk promosi dan sebagainya, sih."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Adrian kembali mengangguk-angguk. Jarinya mengetuk kemudi dengan tempo tetap. "Emangnya kamu enggak kangen Jakarta apa?"

Naydelin mengernyit, tak tahu apa yang harus dia rindukan dari Jakarta. Tahun-tahun yang dihabiskannya di Jakarta bukan sesuatu yang indah. Bukan sesuatu yang ingin dia kenang. Mungkin, kecuali satu hal.

"Aku mungkin bakal mempertimbangkan tinggal di sini. If someone wants me to stay," ujar Naydelin sambil menatap Adrian, penuh harap.

Sayangnya, Adrian sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan. Entah karena terlalu hati-hati, atau karena tak siap dengan pernyataan Naydelin.

"Mama kamu pasti pengin kamu di sini, Nay," ujarnya.

Naydelin menyipitkan mata, berusaha membaca pikiran Adrian. Namun dia tak pernah bisa. Naydelin mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela, mencoba berpikir apa yang sebenarnya salah dengan mereka. Entah sudah berapa lama Adrian berada di sampingnya. Entah sudah berapa lama Naydelin menjaga hatinya, bersiap jika suatu saat Adrian mengetuk masuk. Namun, lelaki itu tak berbuat apa-apa. Sampai sekarang. Membiarkan hubungan mereka berdua terus seperti ini. Terus berada dalam tahap yang tak tahu bisa disebut apa.

Dan setiap hari berlalu, Naydelin semakin meragukan segalanya.

 ***

"Langsung balik? Kak Adrian enggak ikut makan malam?"

Mata Naydelin membulat dengan histeris saat Adrian langsung berpamitan begitu sampai di rumahnya. Dia kira malam ini akan dihabiskan dengan makan dan mengobrol sampai malam dengan Adrian. Bukankah mereka sudah terlalu lama tak bertemu? Bukankah ada begitu banyak cerita yang harus mereka bagi? Naydelin sudah begitu siap membagi ceritanya, tetapi sepertinya hal itu tak begitu penting bagi Adrian.

"Aku harus balik ke rumah sakit, Nay. Maaf banget, tapi ada pasien yang butuh pengawasanku," ujar Adrian sambil mengenakan jaket hitamnya kembali.

"Kalau Adrian memang sibuk, enggak apa-apa, kok, balik sekarang," sahut Mama yang baru muncul dari dapur, membawa senampan sayur dan lauk. Naydelin mengerling ke arah Mama dengan kesal, tetapi Mama tetap terlihat tenang sambil menata makan di meja. Ada tiga piring yang sudah disiapkan di sana. Naydelin segera tahu, Mama juga berharap Adrian makan bersama mereka malam ini.

Naydelin kembali menatap Adrian penuh harap. Dulu, biasanya cara ini berhasil. "Apa enggak bisa sebentar aja? Cuma makan sebentar aja sama aku."

"Enggak bisa, Nay. Aku harus pergi sekarang," ujar Adrian sambil menepuk puncak kepala Naydelin.

Naydelin menatap mata Adrian lekat-lekat, berusaha mencari sesuatu di sana. Ada yang berbeda. Naydelin tak tahu apa. Namun sorot matanya sedikit berbeda dengan Adrian yang dulu. Entah karena usianya memang sudah bertambah atau karena kelelahan terlalu banyak lembur di rumah sakit. Naydelin hanya merasa Adrian berbeda.

"Saya pergi dulu, Tante. Saya bakal mampir lagi besok," ujar Adrian kepada Mama. Tersenyum sesopan mungkin.

Mama juga tersenyum, tetapi entah mengapa ada hawa dingin di nada suaranya. "Kalau kamu sibuk, jangan dipaksakan. Naydelin pasti bisa mengerti."

Naydelin mendelik kesal, tak paham mengapa Mama berkata seperti itu. Jelas-jelas Naydelin tak bisa mengerti. Naydelin tak mengerti mengapa begitu sulit bagi Adrian untuk menghabiskan waktu sejenak bersamanya. Demi Tuhan, Naydelin sudah mengurangi begitu banyak jarak di antara mereka. Apa salah jika dia berharap bertemu lebih sering dengan Adrian?

"Jangan menempel Adrian terus," ujar Mama setelah Adrian benar-benar pergi. Mama duduk di kursi, menatap Naydelin yang masih berdiri dengan kecewa di ambang pintu. "Kalian sudah dewasa sekarang. Sudah punya urusan masing-masing. Kamu enggak bisa membebani Adrian dengan urusan kamu."

"But he promised ...." Naydelin berbisik pelan, tetapi tak sanggup menyelesaikannya. Ada yang sakit di kerongkongannya, rasanya seperti tercekat. Naydelin menarik napas dalam-dalam sebelum kembali menoleh kesal ke arah Mama di meja makan. "You won't understand," desis Naydelin sambil melangkah naik ke lantai dua, ke kamarnya. Meninggalkan meja penuh hidangan di depan Mama.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] The Benefits of Heartbreak - BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya