[NOVEL] The Benefits of Heartbreak - BAB 4

Penulis: Arini Putri

When She Met Him

 

Naydelin tahu dirinya cukup populer di Indonesia. Jumlah view, comment dan subscriber di videonya selalu dipenuhi orang Indonesia yang memujinya habis-habisan walaupun tak jarang juga Naydelin menemukan komentar buruk dan sinis di sana. Di New York, beberapa kali dia tanpa sengaja bertemu dengan orang Indonesia yang menyapanya dengan penuh semangat dan meminta berfoto bersama. Naydelin tahu dia populer, tetapi dia tak menyangka dia akan diperlakukan seperti selebriti di sini.

Para panitia acara segera menyambutnya begitu Naydelin keluar dari mobil, berbaris untuk bersalaman dengannya. Mereka meminta Naydelin berfoto dan juga menandatangani poster besar. Untung saja, hari ini Naydelin sudah memastikan dia tampil dengan sempurna. Naydelin mengenakan dress tartan merah marun selutut yang dirancangnya sendiri dan memadukannya dengan sepatu boot pendek warna hitam. Rambut cokelat panjangnya dikepang ke samping, membingkai wajah putihnya yang tirus. Jika saja Naydelin tak bergerak, mungkin orang-orang akan mengira dia boneka Barbie seukuran manusia. Sangat cantik.

 Setelah berbagai sesi penyambutan, salah satu panitia berniat mengantarnya ke ruang tunggu. Namun, Naydelin memilih berkeliling ke sekitar area acara-menanti gilirannya tampil di panggung sekaligus mengumpulkan bahan untuk vlognya. Acara launching produk ini ternyata jauh lebih besar dari yang dia kira, bahkan bisa dibilang lebih mirip festival. Acara ini mengambil tempat seluruh stadion, memenuhinya dengan berbagai booth dan dekorasi berwarna pink terang.

Naydelin menyusuri tempat itu seorang diri, bersama kamera di tangannya. Dia merekam setiap sudut booth yang menurutnya menarik, juga para pengunjung yang kebanyakan datang beramai-ramai atau berpasangan. Tiba-tiba saja Naydelin merasa sedikit kesepian. Bukan karena dia tak terbiasa sendiri. Di New York, Naydelin hampir selalu menghabiskan waktu sendirian. Namun karena mengingat penolakan Adrian waktu Naydelin meminta ditemani ke sini.

Dia tahu Adrian pasti sibuk di rumah sakit. Namun, mengingat mereka sudah bertahun-tahun tak bertemu, rasanya aneh karena Adrian belum juga menyempatkan waktu untuk menemuinya lagi sejak hari itu-sejak dia menjemput Naydelin di bandara. Sesibuk-sibuknya seorang dokter, apa Adrian sama sekali tak merindukannya? Bahkan semalam apa pun Adrian datang, gadis itu tak akan keberatan menemuinya. Naydelin sangat merindukan Adrian dan ingin bercerita banyak dengannya seperti saat mereka masih di New York dulu. Namun, entah mengapa, sepertinya hanya Naydelin yang merasakan hal itu sendirian.

Suara petikan gitar menuntun langkahnya menuju panggung utama. Perlahan, sebuah suara ikut terdengar, menyanyikan lirik dengan bahasa yang tak Naydelin tahu. Entah itu bahasa Mandarin atau Korea, Naydelin sulit membedakannya. Namun, ada sesuatu di suara itu yang menariknya terus melangkah mendekat. Dia mengangkat kamera tinggi-tinggi, melihat sekeliling lewat monitor kameranya. Hingga sosok bergitar muncul di sana, membuatnya menurunkan kamera untuk melihat secara langsung.

"Honjaseo neol gidaril ttaemyeon, na honja dareun haengseonge inneun deut hae. Yeogiseo nega itneun geotkkaji, eolmana orae geolliji? Nan gunggeumhae sangsangi andwae[1]."

Lelaki itu berdiri di tengah panggung, berada sedikit lebih depan dibanding dua temannya. Dia mengenakan kemeja flanel hijau yang terlihat amat tak cocok dengan dekorasi panggung yang serba-pink. Tak ada yang istimewa dari penampilan lelaki itu, tetapi suaranya yang mengalun cukup membuat Naydelin termenung sejenak. Lelaki itu bernyanyi sepenuh hati, seakan membiarkan musik mengelilingi tubuhnya dan mengurungnya dalam ruangan kecil tak kasat mata. Angin di panggung sesekali mengibarkan poni di dahinya-yang sebenarnya tak terlalu panjang-membuatnya sesekali menyipitkan mata. Namun, dia terus asyik bernyanyi sambil memetik gitarnya, seakan tak ada angin atau badai sekalipun yang bisa menganggunya sekarang.

Tanpa sadar, Naydelin tersenyum tipis dan kembali mengangkat kameranya, merekam penampilan lelaki itu. Panggung itu sebenarnya begitu luas dan lelaki itu tak sendirian di sana, tetapi Naydelin sengaja memfokuskan lensa kameranya pada lelaki bergitar itu. Dan seakan bergerak sendiri, kaki Naydelin mulai mengentak pelan sesuai tempo lagu yang dinyanyikannya. Naydelin jarang bisa menikmati lagu yang masih asing di telinganya. Namun kali ini, dia bahkan sudah berniat mendengarkannya lagi sesampai di rumah nanti. Suara unik lelaki itu membuatnya ingin terus mendengarkannya. Lagi dan lagi.

"Neowa na saiui ujureul geonneo naegero, would you like to come over to me? Neowa na saiui ujureul geonneo, naegero nara wajwo. Deo isang gidarige hajima[2]."

 ***

"Kalau masih mau ikut ujian, ke ruangan saya sekarang."

Dipta baru saja sampai di belakang panggung sambil menenteng gitar, saat dia membaca pesan dari Pak Harun di ponselnya. Rasa panik langsung menyerangnya. Dia memeriksa jam di ponsel, lalu mengetik balasan dengan terburu-buru.

"Fan! Ram! Aku mesti pergi sekarang. Penting!" serunya sambil berlari terburu-buru untuk meraih tas dan barang-barangnya yang lain.

Fandi yang baru saja duduk mengerutkan dahinya saat melihat Dipta panik sendirian. "Kenapa, sih?" tanyanya bingung. "Yakin balik sekarang? Kata panitianya kita dapat makan siang, lho."

"Makan aja jatahku," jawab Dipta, tak acuh. Dia memastikan gitarnya telah tersimpan aman dalam tas sebelum berlari ke pintu keluar. "Masalah Pak Harun, nih. Masalah hidup dan mati!" serunya sekali lagi sebelum benar-benar berlari keluar, tanpa menunggu tanggapan dari Fandi atau pun Rama.

Dipta terus berlari sambil berbelok ke kanan dan kiri dengan gesit untuk menghindari orang-orang. Tangannya menggenggam erat tas gitar warna kuning di pundaknya. Dalam hati dia berdoa agar Pak Harun tak mengubah pikirannya ketika dia sampai di sana. Di kampusnya, Pak Harun terkenal mirip roller coaster. Mood-nya bisa berubah dalam hitungan menit. Karena itu Dipta tak boleh membiarkan dosennya itu menunggu terlalu lama. Bisa-bisa pikirannya berubah lagi dan dia harus-

"Brak!"

Tubuh Dipta nyaris terjerembap setelah dia menabrak seseorang. Dipta menyeimbangkan tubuhnya dan mengangkat wajahnya, menatap gadis berkepang yang baru saja ditabraknya. Gadis itu berdiri diam, kepalanya menunduk ke tanah. Dipta mendesah lega karena sepertinya gadis itu baik-baik saja, sama sekali tak terluka. "Aduh. Maaf, Mbak. Saya enggak sengaja. Saya lagi buru-buru. Mbak, enggak kenapa-waduh!"

Kalimat maaf di kepalanya buyar seketika saat Dipta menunduk dan melihat kamera yang tergeletak di tanah. Gadis itu sedikit membungkuk dan meraih kameranya. Kedua mata Dipta membulat sempurna saat melihat kamera itu telah terpisah menjadi dua bagian. Gadis itu memekik tertahan sambil membolak-balik kameranya, seakan masih tak percaya kameranya baru saja hancur.

Dipta baru akan membuka mulutnya yang terasa kaku, ketika gadis itu mendelik-menatapnya dengan amat galak hingga Dipta menurunkan tatapannya dengan takut. Dipta berani bersumpah, itu tatapan paling mengerikan yang dilihatnya selama-kira-kira-setahun terakhir ini. Mungkin satu-satunya yang lebih seram hanyalah tatapan ibunya yang marah saat tahu jumlah SKS yang Dipta ambil belum cukup untuk mengambil skripsi. Tatapan gadis itu mampu membuat lidah dan kerongkongan Dipta terasa kering mendadak.

"See? You broke it!" ujar gadis itu dengan aksen Amerika yang sempurna. Perpaduan aksen asing dan tatapan galaknya membuat gadis itu terlihat semakin seram bagi Dipta. Tiba-tiba saja Dipta merasa seperti berada di negeri asing dan tak bisa meminta pertolongan kepada siapa pun. Keringat dingin mengalir di dahinya saat gadis itu mengacungkan kameranya yang terbelah dua.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Namun, tentu saja bukan Dipta namanya kalau dia tak mampu memperlihatkan wajah tenangnya, sepanik apa pun hatinya sekarang. Dipta menarik napas, kemudian menjawab sekalem mungkin. "Iya, Mbak. Saya minta maaf. Saya tadi buru-buru lari, terus Mbak tiba-tiba di depan sa..."

"Jadi kamu malah nyalahin saya?" potong gadis itu tiba-tiba.

Mata Dipta membulat terkejut. Ternyata gadis ini lebih menakutkan dari yang dia kira. "E-eh, bukan gitu maksudnya, Mbak. Saya yang salah, kok. Saya pasti tanggung jawab, kok." Dipta meringis sambil menambahkan pelan, "Tapi enggak sekarang."

"Kalau enggak sekarang, lalu kapan?" tanya gadis itu dengan nada sinis. "Kamu lihat sendiri kondisi kamera saya, kan? Kalau kayak gini, hari ini saya kerja pakai apa?"

Dipta memijat lehernya yang tegang. Kakinya sejak tadi tak berhenti bergerak, antara cemas, merasa bersalah, dan juga terburu-buru. "Gini, Mbak. Saya sekarang enggak bawa uang buat ganti rugi. Dan kebetulan saya juga buru-buru harus pergi karena ada urusan penting," ujar Dipta, berusaha menjelaskan dengan hati-hati. Gadis itu masih menatapnya dengan tajam, terlihat sama sekali tak percaya dengan ucapannya. "Saya pasti ganti, Mbak. Saya pasti ganti kameranya. Tapi saya butuh waktu. Mbak bisa ninggalin nomor ke saya. Nanti saya bakal hubungin lagi untuk ganti rugi."

"Tahu dari mana saya kalau setelah itu kamu enggak akan kabur?"

"Enggak akan, Mbak," jawab Dipta yang mulai ikut gemas sendiri. Memang mukanya terlihat semencurigakan itu? "Teman-teman saya ada di backstage. Kami barusan ngisi acara di sini. Mbak bisa tanya ke mereka tentang saya kalau Mbak enggak percaya sa..."

Belum selesai Dipta berbicara, gadis galak itu sudah merebut ponsel yang sejak tadi diacungkan Dipta. Dengan cepat dia mengetikkan nomornya di sana sambil berbisik, "Don't call me like that. It sounds weird."

 Dipta mendekatkan telinganya, berusaha mendengar lebih jelas. "Ya, Mbak?"

"Jangan panggil saya 'Mbak'!" Gadis itu berseru keras di telinga Dipta, membuat Dipta mengerjap kaget. Telinganya bahkan terasa sedikit berdengung.

"Oh, ya, maaf." Dipta berpikir sesaat, kemudian melanjutkan dengan ragu. "Kalau gitu, uhmm... Ibu?"

"Kamu mau cari masalah sama saya?"

"O-oh, ya." Dipta kembali berpikir dengan panik. Dia tak tahu mengapa semakin lama bersama gadis itu membuat ketenangannya memudar. "Terus saya mesti manggil apa, dong?" tanya Dipta, pasrah dan menyerah.

Gadis itu menatapnya tajam, kemudian menyodorkan ponsel Dipta kembali. Terlihat nama baru di daftar kontaknya. "Naydelin." Dipta membaca nama itu, kemudian kembali menatap gadis itu, yang kini sedang mengerutkan kening. "Nama Mbak-eh, maksud saya... nama kamu Naydelin? Wow, namanya bagus."

"Seingat saya kamu tadi bilang buru-buru," ujar gadis bernama Naydelin itu dengan nada dinginnya. "Jadi kamu masih punya waktu buat ngomentarin nama saya?"

Dipta mengerjap sadar. Dia terlalu larut dalam masalahnya dengan Naydelin ini sampai lupa tujuannya berlari buru-buru tadi. "Eh, iya! Maaf, Mbak! Saya pergi dulu! Saya pasti tanggung jawab, Mbak! Tenang aja!" seru Dipta sebelum melesat pergi.

Naydelin berbalik sejenak, melihat lelaki perusak kameranya tadi melewati kerumunan manusia dengan gesit seperti belut. Tas gitar kuning yang tersampir di bahunya terlihat menonjol dari kejauhan. Naydelin tahu seharusnya dia masih marah, seharusnya dia masih menatap lelaki itu dengan kesal. Namun, entah mengapa, tawa kecil justru lolos dari bibirnya.

Sepertinya sudah sangat lama dia tak melihat wajah sepolos lelaki itu.

***

[1] When I wait for you alone, it's like I'm on another planet. From here to where you are, how long it will take? I wonder, but can't imagine. (Terjemahan dari lirik lagu "Across the Universe" - Baek Yerin)

[2] Come across the universe between you and I, would you like to come over to me? Come across the universe between you and I, fly over to me. Don't keep me waiting any longer. (Terjemahan dari lirik lagu "Across the Universe" - Baek Yerin)

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] The Benefits of Heartbreak - PROLOG

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya