[NOVEL] Wife Wannabe: Bab 4 

Penulis: Ririn Ayu

White Lies

 

Gie masih terdiam menatap layar ponselnya. Rasa rindu kini menusuk dada, mencabik hingga rasanya dia ingin mati saat ini. Bukan deras hujan yang mengguyur tubuhnya ala film atau sinetron. Bukan pula perlakuan kasar Nila. Sekasar apa pun gadis itu, dia tetap Nila. Satu-satunya gadis dalam hidupnya yang belum bisa disebut sebagai gadisnya sejak sekian lama. Tidak ada yang lain. Hanya saja, hatinya menangis sekarang.

Gie menatap potret gadis itu. Tersenyum ceria di dalam layar mungil itu. Keceriaan yang terenggut oleh sebuah kata perjuangan dan sebuah kata lain bernama komitmen. Bukan sebuah kata baru, namun menghadirkan arti baru yang tidak pernah terpikirkan selama ini. Kata-kata itu hanya sekian banyak kata yang menyusun kalimat. Memiliki arti yang kian berat saat kata itu mewakili kehidupan dan masa depan. Lalu, sebuah pemaksaan.

Senyuman tipis terbentuk di wajahnya. Nila akan marah kalau dibilang memaksa. Bibir tipisnya terpoles lipstick tipis akan bergerak. “Pemaksaan? Kau salah persepsi, itu namanya perjuangan.”

Ya, gadis itu pasti akan mengatakan hal itu. Membuat suatu kalimat baru yang benar-benar terasa seperti kalimat yang tidak pernah beredar di bumi. Dia punya talenta ajaib semacam itu. Entah dia makhluk jelmaan dari dimensi mana.

“Melamun terus, kesurupan kau nanti.”

Gie tersentak, mengucek mata lalu menunduk. Tangannya masih memegang ponsel. Layarnya tidak menyala sejak tadi. Setelah itu, dia mengarahkan matanya pada sahabatnya yang kini sibuk meremas remote televisi.

“Menurutmu gimana?” Gie beringsut memutar tubuhnya.

“Apanya?”

“Komitmen.”

“Nila lagi.” Danu mengalihkan matanya dari layar televisi lalu menatap Gie yang kini mengangguk. “Tidak adakah makhluk lain di dunia ini!?”

“Yeee! Aku serius!” Gie menegaskan.

“Aku gelap soal komitmen, Gi. Kalau bisa aku memilih untuk kumpul kebo, sayang itu zina.”

Gie mendengus lalu meraih buku novel yang tergeletak di ranjang. Memakainya untuk memukul belakang kepala Danu dengan sepenuh hati. Danu memelotot, akan tetapi Gie langsung mendesis. Sahabatnya ini sama saja dengan dirinya, miskin solusi.

“Aku ini pria jujur, komitmen itu menyusahkan. Kenapa wanita selalu ingin komitmen, komitmen, dan komitmen?! Tidak ada kata lain apa?” Danu mengusap kepalanya yang baru saja terhantam buku. “Kissing misalnya, kan itu lebih asyik.”

“Memangnya ada yang bisa kau cium selain bibir tembok?” Gie mengangkat ujung bibirnya.

“Sembarangan!”

“Itu masalahku dan Nila—”

“Komitmen lagi?”

“Ya,” sahut Gie pendek.

“Terkadang aku berharap wanita akan bilang padaku, Dan, pacari aku, peluk aku, sentuh tubuhku, aku akan melahirkan anakmu, kamu gak perlu tanggung jawab. Sayang yang muncul selalu kalimat kapan kau nikahi aku. Itu sebabnya aku mengalami sejenis fobia pada jenis kaum hawa tertentu gara-gara permintaan mereka soal perkara nikah-menikah ini.” Danu menatap langit-langit, matanya menerawang.

“Maumu!”

“Ya, itu mauku, Dude. Kadang fakta memang setajam silet.”

“Silet? Tsktsktsk. Aku curiga kau suka menyaksikan acara gosip.” Gie kembali membuka kunci ponselnya lalu menatap lagi layar kosong itu.

“Aku hanya prihatin.”

“Soal?” Gie masih menunduk menatap layar. “Jangan bilang kamu prihatin pada acara gosip?”

“Bukan.” Danu mendesah pelan sepertinya penuh penghayatan hingga membuat Gie mendengus. “Aku prihatin pada angka perceraian yang semakin tinggi di kalangan para selebritas yang sering disebut pesohor negeri ini.” Danu kini menampilkan mimik memelas.

“Peduli kok sama artis! Itu sama sekali enggak ada hubungannya sama hidup kita.”

“Bukan begitu. Melihat angka perceraian yang meninggi itu aku heran, kenapa wanita masih juga berkomitmen untuk menikah, itu hubungannya.”

“Itu juga pertanyaanku sejak tadi.” Gie menghela napas kasar. “Menurutmu aku harus bagaimana? Ini serius.”

Gie mengalihkan matanya dari layar ponsel. Menatap wajah kotak sahabatnya yang kini tengah menekuni layar datar televisi.

“Komitmen, huh?” katanya dengan nada malas.

“Ya.”

“Ini soal kau mau atau tidak dan tetap bertahan meski banyak hal buruk menanti di depanmu.”

“Oke, lalu?”

Danu menyandarkan tubuhnya di tembok. Matanya kali ini menatap layar televisi yang tengah menampilkan acara pencarian bakat yang penuh derai air mata.

“Komitmen itu seperti keinginan kuat untuk melakukan sesuatu tanpa goyah. Andaikan saja kau ingin makan rujak dengan lima puluh dua cabai sekaligus nanti sore. Tapi, sekarang kamu tiba-tiba diare sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan menunda makan rujak.”

“Itu artinya kau masih kurang komitmen, Gie!”

“Ini beda. Diare itu kondisi darurat. Bagaimana kalau habis makan rujak, aku sakit lambung, terjangkit tifus, ususku terburai?” Nada suara Gie semakin dramatis.

“Kasusnya sama saja. Rujak tidak akan membuat ususmu terburai, kecuali kau tertabrak truk material setelah membeli rujak, bisalah kau beri judul rujak maut.”

“Dan. Aku serius.”

“Kau pikir sejak tadi aku ngelawak. Aku berpikir keras ini, meski dengan kondisi otak cacat setelah terkena benturan beberapa menit lalu.” Danu tampak tak terima dan mengelus bagian belakang kepalanya.

“Baiklah. Lanjutkan!” Gie menarik napas, memilih mengalah. Danu akan melayangkan protes dalam waktu lama kalau dibantah.

“Itulah komitmen, Gie. Kamu tahu ada kalau mungkin diare yang kau derita akan bertambah parah, atau mungkin kau kena sakit lambung dan tifus. Saat kau berkomitmen maka kau akan tetap memakannya, entah kau sadar atau tidak dengan risiko yang akan kau tanggung di kemudian hari.”

“Nila menginginkan itu?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ya. Sebuah kepastian. Mungkin karena wanita itu berhati lembut, mereka selalu mengharapkan ketegasan dari kaum kita. Berharap kita berinisiatif lebih, mengerti lebih dulu, berjuang lebih banyak.”

“Kau benar. Nila juga bilang begitu.”

“Nila ingin kau berjuang untuknya, apa pun risikonya. Komitmen itu pasti berisiko, itu kataku.” Danu meraih botol air mineral di nakas dan meneguknya.

“Maksudmu?”

“Komitmen itu selalu bergandengan dengan tanggung jawab. Saat kau berkomitmen dengan Nila maka secara otomatis kau bertanggung jawab untuknya. Menanggung biaya hidupnya, anak-anak kalian, membimbingnya sebagai suami yang baik, menyediakan ladang amal yang akan dipanen Nila untuk bekalnya di akhirat, kelak.”

“Aku tahu itu.” Gie menyahut pelan, membenarkan dalam hati semua kata-kata Danu.

“Apa kau sanggup?”

Gie menelan ludah. Itulah tanggung jawab yang selama menghantuinya. Dia belum siap. Entah kenapa semua terlihat gelap dan abu-abu.

“Pasti belum, kan?” lanjut Danu tanpa menunggu jawaban Gie.

Gie mengangguk, kali ini dia membuka salah satu program berkirim pesan di ponselnya. Membuka profil Nila yang masih tersenyum bersama teman-temannya. Dia ingin senyuman itu ada di sana. Melihat raut wajahnya tadi membuat hatinya benar-benar sakit.

“Wanita itu perlu kepastian meski hati mereka kadang tak pasti. Bicarakan baik-baik dengan Nila!” Danu menepuk punggung Gie sebelum meraih remote dan memindah saluran televisi sebelum mungkin mereka terendam banjir akibat air mata berlebih para peserta.

“Menurutmu begitu?” tanya Gie ragu.

“Kalau aku sih, aku akan menyisir wanita cantik yang bisa kupacari tanpa mantra komitmen.”

“Itu kau! Bukan aku.”

“Kalau begitu lamar dia dan nikahi itukan yang dia minta. Apa susahnya?”

“Aku hanya enggak bisa.”

“Haaaa?”

“Lalu apa maumu?”

“Entahlah. Ada banyak hal yang kuinginkan, akan tetapi semua itu tidak sejalan dengan segala hal yang terjadi.”

“Buat kejadian itu seperti yang kau inginkan kalau begitu!”

“Itu mustahil.”

Danu kali ini benar-benar duduk dan menatap Gie. “Aku baca di salah satu artikel, Stephen Hawking diramalkan hanya akan memiliki waktu hidup dua tahun setelah terkena ALS, akan tetapi beliau bisa hidup sampai usia 76 tahun.”

“Dan!” Gie memotong cepat-cepat. “Kenapa harus Hawking sih? Ini kan soal aku dan Nila.”

“Kau bisa menyebutnya contoh atau analogi.”

“Oke. Aku hanya belum paham.”

“Kau tahu Ibu Thomas Alva Edison menerima catatan dari gurunya tapi mengatakan kalau Edison sangat genius hingga tidak perlu sekolah lagi. Edison kecil belajar semuanya dari ibunya. Setelah ibunya meninggal ternyata bukan tulisan soal dia genius yang ada di kertas dari sekolah, tapi tulisan itu menyebutkan kalau  dia  dikeluarkan dari sekolah karena dianggap cacat mental. Ibunya berhasil membuat Edison yang cacat mental berubah menjadi salah satu ilmuwan paling berpengaruh hingga saat ini—”

“Enggak usah sok intelek! Jelaskan saja maksudmu!” Gie memotong sebelum Danu kembali melanjutkan ceramahnya.

“Gini Gie, si makhluk kurang komitmen dan kurang intelek—”

“Mau kupukul lagi biar otak belakangnya pindah ke depan?” Gie memelotot dan bersiap dengan ancamannya. Akan tetapi, Danu malah terbahak.

“Ketawa lagi!”

“Mau tahu solusinya tidak?”

Gie mengangguk ragu, pikirannya sekarang benar-benar campur aduk. Banyak hal yang tidak bisa jelaskan sekarang.

“Menurutku bukan hanya Edison yang mengubah dunia, akan tetapi ibunya juga. Pertama, coba kalau Ibu jujur terus memarahi putranya saat itu maka mungkin Edison akan takut dan tidak mau belajar. Kedua, ketelatenan Sang Ibu mengajari semua hal, itu juga. Ibu itu mengubah dunia dengan kebohongan terbesarnya, artinya dia membentuk peristiwa menjadi yang dia inginkan, membentuk Edison menjadi seperti yang dia mau.”

“Bisa saja kan Ibu itu sakit hati anaknya disebut cacat mental makanya dia melakukan segala hal untuk membuktikan bahwa vonis soal anaknya itu salah.”

“Bisa juga. Tapi, kalau itu disebut balas dendam maka itu pembalasan paling epic sepanjang sejarah.”

“Benar juga. Lalu Hawking, apa hubungan antara Hawking dan Edison?”

“Dua-duanya manusia yang hidupnya diestimasi oleh penilaian orang lain, akan tetapi baik Edison maupun Hawking bisa melampau perkiraan orang terhadap mereka. Mereka membentuk hal seperti yang dia inginkan meskipun banyak orang merendahkan. Nah, kau bisa menerapkannya juga, Gi. Membentuk suatu kejadian sesuai dengan apa yang kau inginkan.”

“Maksudmu?”

“Ah, kamu bego. Kamu membuatku lelah.”

Gie benar-benar menimpuk kepala Danu dengan buku sekarang. Danu hanya mengaduh sambil menggerutu pelan. Pemuda itu menarik napas lalu menghelanya lagi. Benarkah sebuah peristiwa bisa dibentuk? Sebuah kejadian bisa dikonsep layaknya posting-an di media sosial? Diam-diam, kata-kata Danu yang superpanjang bertele-tele itu mulai membayang di benaknya.

“Tapi, aku mendoakan yang terbaik untukmu, Gi. Meski aku yakin itu sulit.” Danu tersenyum kali ini, benar-benar tulus.

Gie hanya tersenyum tipis. Ludah besar-besar meluncur turun di tenggorokan. Jemarinya mulai mengetik pesan. Mengajak Nila berbaikan, tentu saja. Dia memencet tombol dan mengirimnya. Dengan sabar menunggu centang abu-abu itu berubah menjadi biru. Dia menarik napas pelan.  Menatap kolom last seen di bagian atas. Tidak ada last seen terlihat. Sedetik kemudian Nila tampak online, namun centang abu-abu tidak kunjung menjadi biru. Nila tidak mengacuhkannya.

Napasnya berubah sesak kala sebuah pesan masuk. Bukan dari Nila, akan tetapi dari orang lain. Orang lain yang menghalangi komitmennya selama ini. Orang lain yang tidak bisa dia sebutkan sebagai alasan atau Nila akan mengutuknya.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Wife Wannabe: Bab 5 

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya