[NOVEL] Painting Flowers-BAB 3

Penulis : Nureesh Vhalega

Pertandingan Basket

 

"Laisa!"

Seruan itu membuat yang dipanggil berhenti membereskan meja. Jana, sahabat Laisa, berjalan mendekat. Mereka berkenalan di hari wawancara untuk masuk kantor ini. Tak disangka, dari banyak kandidat, hanya mereka yang terpilih dari angkatan itu. Awalnya mereka kerap makan siang bersama, yang akhirnya menghadirkan pertemuan-pertemuan lain di luar kantor dan jadilah mereka berteman dekat hingga sekarang.

Meski harus diakui, Jana memiliki andil lebih besar dalam hubungan pertemanan mereka. Laisa menarik diri dari banyak lingkaran pertemanan sejak perubahan besar dalam hidupnya, hanya Jana yang tidak lelah memaksa Laisa untuk lebih sering keluar dan bersenang-senang. Mengingatkan Laisa bahwa hidup bukan hanya sekadar mencari uang.

"Gila, sudah beres-beres aja lo," kata Jana begitu berhenti di depan meja Laisa. "Mau ke mana, sih? Harusnya lo traktir gue hari ini. Selamat ya, akhirnya dipromosikan, Jeng Laisa!"

Laisa tertawa. "Cepat amat gosip beredar di sini. Siapa sih Lambe Turah-nya, Jeng Jana?"

Mendengus, Jana menjawab, "Nggak perlu Lambe Turah. Semua anak yang kerja di sini punya mata, La. Mereka lihat lo dipanggil Pak Toby, terus dengan peningkatan revenue ya cuma ada satu kemungkinan. Lagian lo yang ngelolosin proyek kerja sama bareng hotel Arawiguna, yang bahkan selama bertahun-tahun nggak pernah lolos pas diurus jajaran chief. Gila sih. Lo itu benar manusia atau bukan?"

"Ah, lebay aja lo. Anyway, traktirnya besok ya. Gue ada janji sama Rama."

Jana menaikkan kedua alisnya. "Hmm, susah deh bujuknya kalau saingan gue Rama," sahut Jana. "Eh, jangan lupa. Omongin soal rencana membangun masa depan."

Lagi, Laisa tertawa. "Omongan lo ala sales asuransi ya, Jan."

Sahabatnya itu berdecak, lalu berkacak pinggang. "Lo sama Rama itu pacaran belasan tahun! Dari SMA gitu. Gila, kalau ibarat nyicil rumah, sudah lunas harusnya. Kalian juga sudah mapan. Mau nunggu apa lagi? Lo jangan terlalu ngejar karier, La. Kalau Rama disamber cewek gatel, bisa puyeng lo nanti."

Gelak Laisa kembali terurai udara, membuat Jana semakin gusar. Sesungguhnya bukan cuma Jana yang berkata demikian, Laisa bahkan sudah nyaris frustrasi karena hampir setiap orang yang mengenalnya selalu bertanya kapan dia menikah. Entah mengapa, fakta bahwa Laisa dan Rama sudah menjalin hubungan selama bertahun-tahun membuat orang-orang merasa berhak untuk mendikte kapan mereka harus menikah.

"Oke, nanti gue coba bring up soal ini," kata Laisa akhirnya. "Padahal kita baik-baik aja kok. Masih happy dengan keadaan sekarang."

Jana kembali berceramah tentang risiko pacaran jangka panjang. Laisa hanya mendengarkan sambil lalu. Sebab Laisa dan Rama sungguh baik-baik saja. Hubungan mereka jauh dari masalah. Yah, sesekali memang berdebat, tapi setelah lebih dari satu dekade bersama, mereka sudah sangat mengenal satu sama lain. Sekalipun bertengkar, tidak akan berlangsung lama.

"La! Dengar gue nggak, sih?" tegur Jana gemas.

Untungnya ponsel Laisa bergetar saat itu juga. Sebuah pesan dari Rama tampil di layar, memberitahu bahwa pria itu sudah sampai.

"Sorry, Sis, gue harus jalan sekarang. Acara makan-makannya besok ya!" Laisa meraih tas dan berjalan menuju lift, meninggalkan sahabatnya yang menghela napas di belakang.

Sambil menunggu lift membawanya menuju lobi, Laisa membiarkan benaknya berlari pada masa lalu. Tepatnya pada jam pelajaran olahraga yang mempertemukannya dengan Rama, di masa putih abu-abu....

***

"Masih ada sisa waktu 30 menit," ucap Pak Syarif dengan lantang dari pinggir lapangan. "Silakan lanjutkan permainan bebas atau kembali ke kelas."

Kor penuh semangat menyambut ucapan guru olahraga berkepala plontos itu. Hampir seluruh teman sekelas Laisa ikut angkat kaki karena setelah ini akan ada ulangan harian untuk mata pelajaran matematika.

"La, nggak balik ke kelas?" tanya Tio, teman akrabnya sejak MOS-Masa Orientasi Siswa. "Memang lo sudah belajar?"

"Pertanyaan retoris," jawab Laisa enteng. "Lo kan tahu gue sama matematika tuh nggak bisa cocok. Nggak peduli berapa ratus jam gue paksa otak gue buat belajar."

Tio tertawa, lalu men-dribel bola basket di tangannya. "Ikut main aja deh sama gue. Tuh, anak-anak kelas sebelah juga masih ada di lapangan. Daripada bengong di kelas dengerin orang komat-kamit rumus, kan?"

Laisa melayangkan pandangan ke seberang lapangan, tempat siswa kelas X-3 melaksanakan jam olahraga, dan melihat ada empat orang tersisa. Meski sudah dua bulan lebih berbagi jam pelajaran yang sama di lapangan ini, gadis itu masih tidak mengenal seluruh siswa dari kelas sebelah.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Eh, Yo, itu cowok semua," kata Laisa ragu. "Lo nggak salah ngajak gue gabung? Lagian gue kan ikutnya ekskul cheers, bukan basket."

"Lo kan lumayan mainnya," sahut Tio tenang. "Lo masih lebih becus soal dribel daripada cewek-cewek lain. Lagian yang satu di ujung itu cewek juga, tampilannya aja kayak cowok. Ayo, kita samperin aja dulu."

Sebelum mereka sempat beranjak, dua orang siswa dari seberang lapangan menghampiri lebih dulu. Disusul seorang gadis berambut pendek yang sebelumnya dikira laki-laki oleh Laisa. Mereka langsung sibuk membagi tim, sementara Laisa masih berdiri bingung.

"La!" seru Tio. "Jangan bengong. Lo masuk tim Rama sana."

Gadis itu mengikuti arah tunjuk Tio, mengerutkan kening ketika melihat dua orang pemuda yang menunggu di bawah ring sebelah kanan.

"Lho, gue nggak sama lo?" balas Laisa.

"Hasil koinnya nggak memihak kita bersama, Beb," jawab Tio dengan satu kedipan mata.

Gadis berambut cepak di sisi Laisa langsung mengeluarkan suara tersedak. "Banci sumur! Gombal aja mulut lo. Buruan ke lapangan!"

Laisa tertawa melihat Tio diomeli seperti itu, sebab selama ini dia selalu lolos dari protes atau ocehan dalam bentuk apa pun ketika berurusan dengan kaum perempuan. Teman semeja Laisa itu memang ada bakat menjadi buaya darat. Tio sendiri bingung, mengapa Laisa tahan meski berhadapan dengan pesonanya? Setiap kali ditanya begitu, Laisa pasti menjawab dengan satu pukulan untuk kepala Tio.

Permainan basket three on three itu dimulai tanpa wasit. Memang hanya pertandingan biasa, tapi Laisa tidak menyangka semua anggota dari tim lawan akan menyerang dengan ganas. Terlebih gadis berambut cepak itu, gerakannya benar-benar gesit. Dia berhasil mencuri tiga angka dari tim Laisa, bahkan sebelum genap dua menit permainan dimulai.

"Gila, si Agnes mainnya nggak tanggung-tanggung!"

Gerutuan itu datang dari pemuda bertubuh kurus di tim Laisa, sementara pemuda lain yang jauh lebih tinggi hanya tertawa pelan. Laisa benar-benar tidak tahu nama mereka, tapi tahu pemuda tinggi itu salah satu anggota tim basket. Tubuhnya yang menjulang bisa dikenali di mana pun.

"Oi! Kalau kalian nggak serius mending balik ke kelas!" seru Agnes.

Lagi, pemuda tinggi di tim Laisa hanya tertawa. Dia membawa bola dengan cepat hingga berhenti di luar lingkaran-batas untuk tembakan three point-dan menembak tanpa keraguan. Bola masuk begitu saja, membuat Laisa ternganga.

"Bukan lo doang yang bisa nembak tiga angka," katanya pada Agnes.

Dia ber-high five dengan pemuda kurus di tim Laisa, lalu kembali melanjutkan permainan. Laisa berusaha sebisa mungkin menghindar dari jalan mereka, tidak ingin merusak alur permainan, tapi pada satu titik si pemuda jangkung mengoper bola padanya. Mengikuti insting, Laisa pun berlari dengan tangan men-dribel bola menuju daerah lawan. Begitu berada di bawah ring, gadis itu melempar bola dan ... masuk!

Sorakan penuh kegembiraan menyambut ketika Laisa kembali ke ring sebelah kanan. Si pemuda kurus mengajak tos dan tanpa sadar gadis itu tersenyum.

"Siapa nama lo?"

Pertanyaan dari pemuda yang lebih jangkung membuat Laisa mengerjap. Pemuda itu tidak mengajak Laisa tos, justru menatapnya lurus tanpa jeda. Laisa berdiri bodoh di tengah lapangan karena tatapan pemuda itu, sementara tim Tio sudah mulai men-dribel bola.

"Laisa," jawab Laisa akhirnya.

"Gue Rama," balasnya. Senyum lebar tersungging di wajah pemuda itu dan selama sesaat Laisa kehilangan pegangan. Jantungnya berdebar cepat. "Nice shoot."

Laisa tersenyum mendengar pujian Rama sebelum memusatkan perhatian kembali pada permainan. Kejar-kejaran angka pun tak terelakkan. Meski seluruh anggota dalam tim Laisa bermain dengan serius, Laisa tetap merasa senang dan tidak ingin permainan berakhir. Yang kemudian baru disadari oleh Laisa bahwa semua itu tidak berhubungan dengan pertandingan basket, melainkan Rama.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Painting Flowers-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya