[NOVEL] Pelangi di Malam Hari-BAB 3

Penulis: Cherin_che

Musim 2 ~ Ini Jalan Barunya

 

Malam dan gelap memang diciptakan untuk mengobati lelah dan luka yang tak mungkin bisa hilang dalam semalam.

***

Hari ini jadi langkah awal Tasya untuk bangkit dari segala rasa terkutuk yang membelenggu hatinya. Setelah bergulat dengan batinnya sendiri, ia memberanikan diri untuk kembali hidup dengan normal dan Tasya memutuskan untuk memulainya hari ini. Kedua orang tuanya langsung mendaftarkan Tasya ke salah satu sekolah yang dekat dengan rumah, mereka tak ingin melewatkan kesempatan sebagus ini. Sebagai trang Tua mereka pasti sangat mengkhawatirkan masa depan anaknya, mengkhawatirkan psikis anaknya yang tidak stabil, tapi mereka mampu percaya untuk terus mendukung Tasya dengan apa pun bentuk pilihan hidupnya.

Dengan rambut panjang sepundak yang dibiarkan terurai Tasya terus berdiri di depan kaca kamarnya, sudah lama rasanya tidak pakai seragam sekolah. Tasya tersenyum, ada harap harinya ini akan jadi lebih baik, atau setidaknya baik baik saja. Tasya keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga satu persatu, di anak tangga yang terakhir Tasya melihat sudah ada kedua orang tuanya menunggu dengan wajah yang tak terkira bahagianya.

"Mah, aku berangkat dulu ya." Tasya mencium tangan Mamahnya.

"Sarapan dulu, Sya," jawabnya, seraya mengelus kepala Tasya lembut.

"Nanti aja, Mah, di sekolah." Mamahnya menggangguk mengerti kemudian mengatarkan Tasya dan Ayahnya sampai ke gerbang.

Di dalam mobil Tasya hanya memperhatikan jalanan Kota Solo dan sesekali menjawab pertanyaan dari Sang Ayah. Kota ini masih terlalu asing buat Tasya, masih terlalu hambar untuk dijalani. Jarak yang ditempuh tak terlalu jauh, cukup 15 menit untuk sampai di sekolahnya.

Ketika matahari belum sepenuhnya muncul, Tasya sudah ada di sekolah barunya. Sekolah ini jauh terlihat sejuk dibanding sekolahnya dulu. Pohon-pohon dibiarkan subur membentang mengelilingi halaman ini, gedung yang berdiri pun hanya gedung sederhana, sesederhana rakyat Solo. Udara yang berhembus masih dingin bercampur hawa embun buat Tasya tak ingin melepas hoodie-nya.

Selang beberapa menit, ada rasa sedikit menyesal karena meninggalkan sarapan pagi ini. Perut Tasya sudah berbunyi minta untuk diisi. Ia langsung mendatangi kantin yang letaknya di samping sekolah. Tasya mendatangi salah satu penjual yang sudah membuka lapaknya sepagi ini.

"Bu, nasi gorengnya satu, ya." Ibu penjual itu langsung menyiapkan pesanan Tasya. Sambil menunggu, Tasya melihat-lihat lagi sekolah ini dari tempatnya berdiri. Kantinya cukup luas, ada puluhan sepasang meja dan bangku panjang tertata rapih di sini. Tak banyak siswa yang berlalu-lalang, mungkin karena masih pukul 06.10.

Selang beberapa menit ketika Tasya sedang asyik-asyiknya memandangi sebuah taman yang ada di samping kantin, ternyata nasi goreng pesanannya sudah siap.

"Berapa, Bu?" Tanya Tasya saat diberi sekotak nasi goreng dengan telur dan kerupuk.

"7 Ribu, Mba," jawab Ibu penjual. Tasya mengeluarkan selembar lima puluh ribuaan dari dalam sakunya.

"Waduh Mba, ibu belum ada kembaliannya kalau jam segini," seketika Tasya kebingungan bagaimana cara ia membayar sekotak nasi goreng ini. Hanya uang selembar itulah yang Tasya bawa, tak ada lagi.

"Bawa aja dulu uangnya Mba, nanti siangan ke sini lagi aja," kata ibu penjual nasi goreng yang ternyata baik hati.

"Enggak papa, Bu?"

"Iya, gak papa", jawab Penjual itu sekali lagi. Lagi pula ia tidak merasa dirugikan kalau Tasya tidak membayar sekotak nasi gorengnya, pasti akan ketutup oleh keuntungan lain, pikirnya.

"Nggak usah, Bu. Saya ada, kok," tiba-tiba seorang lelaki datang dari belakangnya, memberi sejumlah uang untuk membayar makanan yang dibeli Tasya. Tubuhnya tinggi seperti atlet-atlet bola basket, pundaknya yang gagah menggendong sebuah tas berwarna hitam, sama seperti warna rambutnya yang tersisir rapih.

"Wah, Bagas emang paling baik, deh," puji penjual nasi goreng, nada bicaranya terlihat sudah akrab. Tasya belum bisa melihat utuh wajah laki-laki yang ada disaampingnya. Dengan tatapan bingung, Tasya terus bertanya dalam hati. Siapa laki-laki ini? 

"Bantu temen, 'kan sudah jadi kewajiban, Bu," ucap laki-laki itu lalu menoleh ke arahnya, kemudian ia tersenyum pada Tasya. Hanya kali ini, dan hanya di Kota Solo ada yang mau membantu Tasya meskipun sama-sama tak mengenal. Tak seperti ketika ia ada di Jakarta.

Tasya membalasnya dengan senyuman kikuk sebagai tanda perkenalan dengan Bagas, teman barunya. Wajahnya dipahat Tuhan dengan sempurna, hidung yang mancung dan sebuah lesung pipi membuat lelaki ini agak rupawan. Bagas mengambil langkah untuk duduk di kursi kantin, menunggu Andri yang juga belum datang.

"Eh, tunggu!" Cegah Tasya pada langkah Bagas yang kian menjauh. Caranya berhasil, Bagas pun menoleh, dengan tatapan bertanya, kenapa?

"Nanti uang lo gue ganti, ya!"

"Santai aja," jawabnya tak khawatir uang sakunya akan lenyap kalau Tasya tak mengembalikanya.

"Nama lo siapa?" Tanya Tasya untuk memastikan kebenaran namanya. Bisa saja nama aslinya adalah Joko, tapi ingin terlihat keren maka dia mengganti nama panggilannya dengan nama Bagas. Tak ada yang tidak mungkin, kan?

"Lo nggak kenal gue?" Dia justru membalas pertanyaan Tasya dan pertanyaan, Tasya mengerutkan kening sedikit bingung, siapa sebenarnya laki-laki ini sampai-sampai Tasya harus mengenalnya. Tasya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Gue siswa baru di sini," jawab Tasya, laki-laki itu bergumam mengerti.

"Oh, pantes aja," kata Bagas. Ia mengulurkan tangannya pada Tasya.

"Gue Bagas, ketua OSIS di sini."

"Tasya," kemudian Tasya menyambut uluran tangan itu dengan baik.

"Kayaknya kita pernah ketemu sebelum ini..." kening Tasya mengerut, kapan?

"Ah? Lo salah orang kali." Selama di Solo Tasya tak pernah pergi kemana-mana, bagaimana laki laki ini bisa berkata kalau pernah bertemu sebelumnya?

"Sebentar, gue coba inget-inget lagi," katanya. Matanya mehmperhatikan Tasya dengan Seksama, mencari jawaban dan Ingatan tentang wajah manis di depanya ini.

"Lo yang beli bunga mawar juga, 'kan? Tempo ari , di toko bunga Jalan Mede."

***

Suara riuh di kelas MIPA 1 terdengar saat Tasya dan wali kelasnya masuk ke dalam kelas. Semua siswa di kelas ini langsung terpanah saat ada perempuan cantik, putih, dan semampai berhasil masuk ke dalam kelas andalan SMA Cakrawala. Jelas, yang ada di kelas ini hanya perempuan yang doyan membaca buku, dengan segala ambisinya untuk mencapai nilai terbaik dan mengalahkan satu sama lain.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Wah gile sih, ini mah kayak bidadari"!

"Anjir, ini Selena Gomez cantiknya aja lewat!"

"Bisa tenang sebentar, semuanya!" Bu Ratih angkat suara.

"Jadi hari ini kalian kedatangan teman baru, dia siswa pindahan dari Jakarta. Silakan perkenalkan diri kamu pada teman-temanmu. Yang lain tolong dengarkan!" Bu Ratih memberikan Tasya waktu untuk memperkenalkan dirinya secara singkat di depan kelas.

"Nama saya Tasya Almira. Saya pindahan dari Jakarta. Saya sekarang tinggal nggak jauh dari sekolah, di Perumahan Alaska, di Jalan Subroto," Tasya tersenyum untuk semua orang di dalam kelas, perkenalannya dengan wajah yang kaku dan tidak percaya diri. Ini untuk pertama kalinya lagi Tasya berinteraksi dengan orang banyak, pikirannya takut tapi hatinya selalu menenangkan.

"Saya harap kalian bisa berteman baik dengan Tasya, ya," kata bu Ratih sebagai penutup perkenalan ini.

"Kamu bisa duduk di sana," mata Tasya mengikuti arahan tangan bu Ratih.

"Dengan Daffa," lanjut Bu Ratih, Tasya melihat sosok laki-laki yang sedang menaruh kepalanya di atas meja. Seperti anak pemalas, batin Tasya.

"Kenapa saya nggak duduk di depannya saja, Bu?" Tanya Tasya saat melihat kursi di depan Daffa kosong, ini cara halus Tasya menolak duduk bersama laki-laki bernama Daffa itu.

"Oh, kursi itu......"

Klerk.

Pintu kelas terbuka.

"Maaf, Bu saya telat," kata perempuan berkuncir kuda dengan napas yang tidak beraturan karena lari setengah mati menuju kelas.

"Ya, silahkan masuk Nila." Izin Ibu Ratih.

Nila melangkah masuk ke dalam kelas, lalu duduk di kursi yang dimaksud Tasya tadi.

"Sudah ada yang duduk di sana," kata Bu Ratih yang sebenarnya Tasya sudah mengerti meski ia tak biacara lalgi.

Tasya mengangguk, terpaksa setuju untuk duduk bersama Daffa. Meja itu ada di paling belakang, Ketika Tasya sampai di mejanya Daffa sama sekali tidak mengangkat kepalanya.

"Pantes aja nggak ada teman sebangku, cuek banget." Ucap Tasya pelan, hampir tak ada suara.

Tasya duduk di kursinya, sesekali memperhatikan tampilan semrawut teman sebangkunya.

"Dari rambut, seragam, sepatu, jelas jauh berbeda dengan Bagas."

"Lho, kenapa gue malah keinget Si Bagas gini, sih?" Gerutunya dalam hati, lalu menepuk-nepuk kepalanya sendiri.

Tiba-tiba Daffa mengangkat kepalanya,berhasil menghapus rasa penasaran Tasya akan wajahnya. Bola mata Tasya membesar, ternyata tak seburuk yang ada di pikirannya, wajahnya terlihat bersih dibandingkan dengan teman-temannya di kelas ini.

Daffa melirik perempuan di sampingnya, dengan tatapan tak biasa.

"Keren juga lo, bisa masuk kelas ini." Kalimat pertama Daffa untuk Tasya.

"Lho, kenapa nggak bisa?" Tasya heran.

"Semua orang yang ada di kelas ini,  punya IQ di atas rata-rata." Jawabannya, terdengar sangat ketus untuk percakapan orang yang baru kenal.

"Ohh, jadi menurut lo, gue nggak layak ada di kelas ini?" Tasya menahan volume ucapannya agar sedikit lebih pelan.

"Gue kira, anak-anak yang berpenampilan kayak lo gini cuma bisa ngabisin duit orang tua doang," Ucapan Daffa benar-benar di luar dugaan Tasya. Ini pertama kalinya Daffa melihat siswa di sekolah ini berpenampilan seperti Tasya, rambutnya diberi pita, pipi dan bibirnya terlihat berwarna merah muda. Ingin sekolah untuk belajar atau bergaya? Pikirnya.

"Makanya jangan asal nilai orang, apalagi cuma dari penampilannya doang," kata Tasya lalu berhenti bicara, tidak ingin melanjutkan salam perkenalan ini.

"Lo lucu, ya" kata Daffa tiba-tiba. Tasya berfikir sejenak, Tasya rasa ini bukan sebuah pujian.

"Seharusnya gue yang ngomong kayak gitu. Lo pasti udah nge-judge gue yang aneh-aneh duluan, 'kan?" Lanjut Daffa.

"Skakmat lo, Tasya," kata Tasya dalam hati. "Gimana dia bisa tahu, sih?" Tasya mengasihani dirinya sendiri.

"Iya, 'kan?" Tanya Daffa. Tasya benar-benar merasa diintimidasi. Tasya tertuduk kaku. Sungguh bukan cerita perkenalan yang baik dengan teman sebangkunya.

Tiba-tiba ada beberapa orang masuk ke dalam kelasnya, berdiri berjejer di depan papan tulis. Bibir Tasya seketika membuat sebuah lengkungan manis ketika mengetahui ada Bagas di antara mereka yang masuk ke kelas, terlihat Bagas pun tersenyum ke arahnya.

"Gak usah ke-Ge-eR-an, dia bukan senyum ke lo," ucap Daffa. Tasya hanya berdecit kesal, dan tak memperdulikannya lagi.

"Gila, nih orang bisa baca pikiran, ya?"

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pelangi di Malam Hari-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya