[NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 2

Penulis: Eve Shi

Pedang, Api, dan Roh tanpa Raga (2)

 

Lamunan Pingyan buyar ketika Wei mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya. Sambil berjongkok dan memangku pedang, ia membuka bungkusan yang berisi dua butir batu serta mangkuk kecil tertutup. Sementara itu, deru angin surut dan suasana sekitar hening.

Wei membuka tutup mangkuk dan saling menggosokkan kedua batu dengan keras. Dari percikan lelatu yang timbul, tahulah Pingyan itu batu api. Lelatu meletik ke dalam mangkuk yang kontan menyemburkan api kecil. Rupanya isi mangkuk itu bubuk mesiu, bahan yang acap kali dimanfaatkan dalam perang.

"Hei, Tuan," kata Pingyan. "Aku minta Tuan hati-hati, jangan sampai rumput di tempat ini terbakar."

Prajurit muda di sebelah Pingyan tercengang. Karena menyadari ia baru saja bersikap lancang kepada seorang petinggi, Pingyan menahan napas, menunggu Wei memakinya sebagai anak tak tahu adat. Akan tetapi, Wei bahkan tidak meliriknya.

"Gadis kecil, aku sudah mengerjakan ini sebelum kau lahir. Mundur."

Wei menjauh dari pohon dedalu. Ia mengangkat mangkuk yang menyala dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menggenggam pedang. Dari jarak sedekat ini, Pingyan mengenali bilah pedang sebagai kayu dedalu juga.

Wei menggumamkan beberapa rapalan beruntun-runtun. Sesekali, ia menggoyangkan mangkuk hingga cahaya api menari-nari. Meski belum pernah menyaksikan langsung kegiatan semacam ini, Pingyan bisa menduga apa yang sedang dikerjakan Wei.

Upacara mengusir hantu. Jangan-jangan hantu ini kenalan Ibu, sampai dicari kemari? Nanti, Pingyan akan bertanya kepada Ibu.

Lalu, selama dua detik, jantung Pingyan serasa tak berdetak.

Di belakang Wei, di tempat yang tadinya kosong belaka, berdiri pria ketiga. Wajahnya tak tersorot cahaya api. Namun, bukan wajahnya yang merenggut perhatian Pingyan. Sepasang kaki pria itu mengambang dan lenyap sebelum mencapai tanah, hal yang mustahil dapat dilakukan manusia hidup. Tanpa sempat dicegah, Pingyan berteriak kaget.

Si prajurit terbelalak memandangnya. "Apa? Ada apa...?"

"Kena kau!" seru Wei, meningkahi suara si prajurit. Ia memutar badan ke arah sosok itu, yang serta-merta mundur dari pancaran cahaya api. Tangan Wei kian gencar mengayunkan pedang. "Jiwa yang tercecer, kembalilah ke ragamu!"

"Ketemu hantunya?" tanya si prajurit sambil memicingkan mata. "Nona, kau lihat dia? Bagaimana wujudnya?"

Sejenak lidah Pingyan kelu. Ini berbeda dengan hanya duduk dan menikmati kisah orang tentang perjumpaan dengan makhluk gaib. Ini lebih menyeramkan dan bulu-bulu halus di lengan Pingyan meremang.

"Wujudnya... seperti manusia biasa," ia menggumam.

Si prajurit kelihatan agak kecewa, barangkali karena berharap hantu itu berkulit hijau dan berambut merah. Ia mengalihkan perhatian kembali pada sepak terjang Wei.

"Nona! Nona, kau bisa mendengarku?"

Pingyan menoleh pada si prajurit, tetapi prajurit itu sedang asyik menonton Wei. Suara itu pun asing bagi Pingyan. Kemudian sekujur tubuhnya kaku.

Hantu itu yang bicara. Hantu itu mengajak ia bicara.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pandangan Pingyan terpaku pada sosok yang susah payah menghindari serangan mantra dan cahaya api dari Wei. Setiap kali cahaya hampir menyapu wajahnya, ia menghindar. Apa sosok itu memang punya wajah, atau jangan-jangan.... Pikiran ini membuat Pingyan ingin langsung kabur.

"Nona, tunggu!"

Mau tak mau Pingyan menengok. Si hantu masih berlari ke sana kemari, mengelak dari Wei sekaligus berusaha menghampiri Pingyan. Dalam situasi lain, tindakannya itu pasti tampak kocak.

"Namaku Huangli. Ibumu, Jenderal Chang Nalian, dulu pernah jadi guruku. Demi beliau, kumohon kau sudi menolongku!"

Betulkah hantu ini mendiang murid atau bawahan Ibu? Masalahnya, hantu sama bahayanya dengan perampok. Konon mereka licin dan banyak akal, lebih-lebih jika terpojok. Tapi....

"Beliau punya jurus ciptaan sendiri, Menangkap Harimau Di Arus Jeram. Cuma sedikit orang yang pernah diajari jurus itu, aku salah satunya. Sungguh, aku tidak bohong! Kau boleh tanya Jenderal Chang nanti!"

Terpaksa Pingyan mengurungkan niatnya mengambil langkah seribu. Memang benar ucapan si hantu tentang jurus ciptaan Ibu, yang sepengetahuan Pingyan tidak diajarkan pada sembarang orang. Andai hantu ini ternyata kenalan Ibu, Pingyan sebagai anak angkat Ibu wajib membantunya, tetapi bagaimana?

"Tolong alihkan perhatian Wei sebentar supaya aku bisa lari. Aku janji, aku bukan makhluk jahat. Jika kau bersedia membantuku, akan selalu kuingat budi baikmu."

Kapan-kapan saja, Pingyan memutuskan, ia merenungkan apa gunanya menanam budi pada hantu. Sekarang, demi Ibu, Pingyan akan coba memenuhi permintaan si hantu. Ia berseru, "Tuan Wei! Tuan, tahan dulu!"

Wei tidak menghiraukan panggilan itu, maka Pingyan nekat maju dan menyentakkan lengan bajunya. Sentakan itu begitu keras sampai Wei hampir menjatuhkan mangkuk. "Mau apa kau?"

Suara dan air mukanya sekadar gusar, bukan marah. Namun, tengkuk Pingyan terasa dingin. Menurut nalurinya, Wei orang yang terbiasa dituruti. Anak desa yang berani-berani merecoki kegiatannya dapat dengan mudah dipenjara, bahkan dipancung.

Ia berusaha mengukuhkan tekad. "Tuan, maaf mengganggu. Kurasa Tuan salah sasaran. Yang Tuan serang dari tadi bukan roh yang Tuan cari."

Wei memegang mangkuk di depan dada hingga cahaya api membias di wajahnya. Datarnya ekspresi Wei, entah mengapa, lebih mengkhawatirkan daripada jika ia mulai menyumpah serapah. Si prajurit berdiri di sebelah Wei, siap membelanya.

"Apa maksudmu?" tanya Wei. "Jelas-jelas itu sasaranku. Kau bilang aku keliru?"

Dengan cepat Pingyan memutar otak. "Begini, Tuan. Di dusun ini dulu ada penjual sayur yang meninggal karena sakit. Kata ayah-ibunya, sebelum meninggal, anak mereka menyesal karena gagal berbakti kepada orang tua. Kadang ia bergentayangan di daerah ini. Barusan roh penjual sayur itulah yang kulihat, makanya aku kaget dan berteriak. Pasti kebetulan saja ia mirip roh yang Tuan cari."

Rupanya Pingyan memang tidak berbakat mengarang cerita, sebab Wei mengangkat alis. "Gadis kecil, entah apa alasanmu berbohong. Aku sama sekali tidak salah sasaran. Sekarang minggir, sebelum kesabaranku habis."

Dari sebelah kanan Pingyan, suara tak dikenal itu menimpali, "Maaf, Nona, tapi aku harus tetap di sini. Urusanku dengan Jenderal Chang sangat mendesak."

Wei mengerutkan kening kepada Pingyan. Anehnya, ia sepertinya tidak mendengar suara si hantu, sama seperti si prajurit. "Gadis kecil, kau masih belum pergi?"

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya