[NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 4

Penulis: Eve Shi

Berangkat Ke Ibu Kota (2)

 

Menolak permintaan tolong seseorang bukan kebiasaan Pingyan. Namun, situasi ini terlalu istimewa. Tinggal di rumah dan jadi bulan-bulanan tentara atau ikut dengan hantu yang mengaku Putra Mahkota? Kira-kira pilihan mana yang lebih masuk akal?

"Nona, aku janji tak akan mencelakaimu, tetapi kita harus cepat."

Harus cepat, tak boleh termangu lama-lama, harus mendahului pasukan tentara yang akan datang menyerbu. Jangan-jangan sebenarnya Pingyan tertidur tanpa ia sadari dan ia sedang terjerat mimpi yang ganjil saat ini. Ia mencubit pipi, dan mengedip-ngedip oleh rasa sakitnya. Situasi ini, sialnya, sangat nyata.

"Baiklah. Aku beres-beres dulu. Kau keluar dan tunggu aku di halaman."

Tak ada jawaban, yang bagi Pingyan berarti setuju.

Kurang dari setengah jam kemudian, ia sudah berdiri di depan rumah. Tak ada tanda-tanda pasukan tentara, dan suasana sunyi senyap. Denyut jantung Pingyan saling berpacu dan perasaannya tak keruan. Belum-belum tas yang ia sandang di bahu terasa menusuk daging dan pedang yang diselempangkan di punggung menekan tulang.

Tidak beres, pikir Pingyan, sungguh ini kelakuan yang tidak beres. Kalau ternyata ia disesatkan hantu jahat, kesialannya akan berlipat dua. Pertama, mati sebagai arwah tanpa kubur. Kedua, ia menyusahkan Ibu yang telah membesarkannya. Namun, membiarkan tentara menangkapnya padahal Pingyan bisa menolong orang lain, justru lebih bodoh lagi.

"Hei, Yang Mulia Pangeran, ayo berangkat. Awas jika kau bukan orang yang patut ditolong, tapi hantu iseng penipu anak gadis. Akan kukutuk semua moyang, orang tua, saudara, dan keturunan keluargamu." Suara Pingyan mantap, bahkan agak pedas, dan ia senang mendengarnya.

Sahutan atas ancaman itu datang dari samping rumah. "Terima kasih kau mau percaya kepadaku."

Sambil menahan gugup, Pingyan membalikkan badan dan memandang sosok yang menghampirinya.

Dari cerita orang, Pingyan mengira putra-putra kaisar sedikit lebih muda dari Wei Guyao. Roh yang tegak di hadapannya, lengkap dengan kaki yang tidak menjejak tanah, adalah seorang pemuda berusia sekitar 17 tahun. Perawakannya tegap dan wajahnya bersih, dengan rahang persegi berikut hidung yang agak terlalu panjang. Bajunya hijau muda polos tanpa hiasan, terbuat dari bahan halus mengilap. Siapa pun hantu ini, jelas ia dari keluarga berada, mungkin juga terkemuka. Boleh jadi ia bahkan benar Pangeran Kedua.

Sepintas Pingyan dicekam perasaan rendah diri. Kira-kira bagaimana penampilannya di mata pemuda berbaju bagus ini? Anak desa berumur enam belas tahun yang jangkung, berbahu lebar, dengan postur yang agak terlalu kukuh bagi anak perempuan?

Untuk menghalau perasaan itu, ia menukas, "Kau bilang namamu Huangli?"

Pemuda itu mengetukkan buku jari dengan ringan ke dada. "Aku Huangli, sejak lahir tak pernah ganti nama," sahutnya bersungguh-sungguh.

"Kau tahu namaku?"

"Belum. Sudilah Nona memberi tahu nama Nona."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Dipanggil hantu dan roh dengan nama kita sendiri adalah pertanda buruk. Walau begitu, Pingyan hampir yakin Huangli bukan roh jahat. Kagok pula rasanya jika ia terus-terusan dipanggil Nona.

"Namaku Chang Pingyan, bukan Nona. Ayo lekas, sebelum tentara datang."

Tanpa menyahut, Huangli menjajari langkahnya. Pingyan setengah berlari, enggan membuang waktu biarpun cuma sedetik. Boleh jadi Wei dan pasukan dari kota Ding sudah dekat.

Huangli bertanya, "Siapa yang dikunjungi Jenderal Chang di ibu kota?"

"Teman lama. Ibu tidak sebut namanya. Aku ingin ikut, tetapi disuruh jaga rumah."

Selagi ia berbicara, kegalauan menyesak di hati Pingyan. Ibu menitipkan rumah kepadanya, tetapi ia malah melalaikan pesan Ibu. Belum lagi jika tentara nanti betul-betul datang lalu mengobrak-abrik seisi rumah, kalau bukan seisi dusun.

Jadi, mengapa ia pergi juga? Sebegitu yakinkah ia Ibu akan memahami tindakannya? Atau ia hanya mencari-cari pembenaran?

"Di ibu kota nanti kita cari ibuku terlebih dahulu," kata Pingyan setengah memerintah.

"Begitu kondisiku pulih, akan kuantar kau mencari Jenderal Chang. Bersamaku yang sudah jadi manusia lagi, kau lebih mudah mencari beliau," kata Huangli.

Terpaksa Pingyan mengakui itu benar, walau ia mengkal sebab pencarian atas Ibu tertunda.

"Jenderal Chang orang pertama yang mengajariku ilmu pedang," ujar Huangli. "Umurku tujuh tahun waktu beliau meninggalkan istana. Aku ingat Ayahanda Kaisar pernah bilang, Jenderal Chang dan Panglima Liu adalah dua orang yang kesetiaannya kepada Ayahanda paling tidak diragukan."

"Baik, baik. Di dekat sini ada lumbung kosong. Jaraknya, kalau diukur dengan waktu nyala sebatang hio, kira-kira sama dengan sepersepuluh batang. Kita menginap di sana malam ini kalau tidak ada tikus."

"Sekali lagi, terima kasih kau mau percaya kepadaku. Aku janji mencarikan cara tercepat untuk menuntaskan masalahku agar kau bisa segera pulang."

Kini, Pingyan sudah tak lagi merasa sedang dihanyut mimpi. Namun, keheranannya akan tindakannya sendiri belum pudar. "Supaya lebih cepat lagi, kita pikirkan cara itu sama-sama."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Pingyan dan Pangeran Bayangan-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya