[NOVEL] Putus-BAB 3

Penulis: Erwina

Alma - 3. Jangan Pacaran Lama-Lama

 

Kalau setiap orang yang bertanya soal nikah memberiku uang seratus ribu, mungkin sekarang aku sudah bisa bayar uang muka rumah. Percayalah, aku tidak sedang hiperbola. Saking banyaknya orang yang bertanya atau menceramahiku tentang menikah, sampai-sampai aku dan Faizal sudah muak. Bahkan, salah satu teman kampusku pernah berujar, "Jangan pacaran lama-lama. Kalau ujungnya jagain jodoh orang gimana?"

Makanya, jangan doakan yang jelek-jelek, dong. Kejadian, nih.

Bang Andri termasuk salah satu orang hobi menggodaku soal pernikahan. Bahasanya macam-macam, mulai dari sok bertanya soal kabar Faizal, sampai memanas-manasi dengan berkata Faizal mungkin sedang asyik selingkuh. Entah kenapa, dia gigih sekali untuk mendapat informasi baru tentang hubunganku.

 

Alma [23.00]

Ngepoin IG gue, ya?

 

Bang Andri [23.03]

Yap. Gue lagi screenshot bbrp gambar lo.

 

Aneh sekali. Aku punya akun Instagram khusus portofolioku, kenapa dia pakai buka-buka akun pribadi segala? Jadi ketahuan kalau aku sudah menjomlo.

Tidak masalah sebenarnya, asal jangan ditanya-tanya.

 

Alma [23.05]

Akun porto gue ada kali.

 

Bang Andri [23.05]

Ada satu gambar di akun pribadi lo yang oke punya.

Gue cari di akun porto ga ada.

Eh, btw, putus?

 

Kubalikkan ponsel hingga layarnya menyentuh meja. Dugaanku, jika kujawab, Bang Andri akan mulai mengorek-ngorek. Kapan putus? Kenapa bisa putus? Masa gara-gara itu putus? Dan pertanyaan sejenis lainnya. Selain itu, Bang Andri mungkin akan mulai menguliahiku. Malas sekali.

Satu tarikan napas panjang kuambil, berharap bisa menenangkan pikiranku yang kacau. Besok pekerjaanku harus selesai. Mewarnai puluhan panel dalam satu malam bukan hal yang mudah. Jadi, tidak perlu ditambah suasana hati yang berantakan.

Ponselku terus bergetar. Untungnya, aku tahu itu bukan Faizal, jadi tidak perlu buru-buru mengecek. Aku perlu berkonsentrasi dengan gambar monster aneh dan palet warna yang diberikan komikusnya. Aduh, mataku sakit melihat yang seperti ini tiap minggu.

Sejujurnya, aku hampir mundur dari pekerjaan ini sejak komiknya masuk episode 4. Alasannya sederhana, style gambarnya aneh dan jalan ceritanya punya twist bodoh di mana-mana. Aku heran, kenapa cerita seperti ini bisa diterima? Kurasa, karyaku agak lebih baik.

Aku menggigit bibir, menahan tangis.

Lima tahun lalu, Faizal memaksaku untuk memilih jurusan kuliah yang sesuai dengan passion. Orang tua ingin aku masuk ke jurusan yang lebih bonafide. Mereka pikir, desain dan seni bukan jurusan yang 'menghasilkan'. Kalau bukan karena Faizal, aku pasti sudah terjebak di drama salah jurusan.

"Gimana lagi, Ibu maunya aku ambil keguruan. Lebih menjamin katanya."

Faizal menyodorkan daftar universitas negeri yang punya jurusan desain. "Coba kamu lihat-lihat dulu, deh."

Aku mendorong kertas itu. "Nggak perlu, Iz. Sakit lihatnya. Orang tua aku nggak kasih."

"Aku bantu."

Kukira, Faizal cuma membual. Ternyata, dia betulan datang ke rumah. Dia bicara kepada Ibu dan Ayah bahwa aku sangat ingin jadi komikus. Dia memaparkan prospek pekerjaan di masa depan. Dia juga mengingatkan soal prestasiku di bidang gambar.

Aku hanya bisa duduk, sesekali mengangguk jika ditanya. Di akhir diskusi kami, aku menangis tersedu-sedu. "Alma bukan Kak Aldo, bukan Kak Alya. Alma selama ini belajar akademik karena terpaksa ... karena kakak-kakak pintar semua. Alma capek, Bu, Yah ... Alma pengin kuliah di tempat yang Alma suka ...."

Faizal dan aku menunggu jawaban, tapi Ibu dan Ayah tetap diam.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Seminggu kemudian, Kak Aldo yang sudah bekerja di Kalimantan, mengirimiku Wacom edisi terbaru. Ayah membelikan laptop baru. Ibu mengajakku bicara empat mata.

Aku dan Ibu saling berhadapan di kamarku. Ibu duduk di ranjang, sedangkan aku di kursi belajar. Mata Ibu menatap milikku lama, kemudian Ibu membuka pembicaraan. "Alma sudah ada rencana mau kuliah di mana?"

Dengan cepat, kucari daftar universitas yang pernah diberikan oleh Faizal. Kertas itu sudah lusuh, tapi tulisannya masih terbaca. Aku menandai tiga universitas dengan highlighter warna kuning.

Ibu tersenyum tipis. "Kalau mau masuk desain ada tes gambarnya, kan? Belajar yang rajin, ya. Biar tembus."

Ah, tanpa diminta pun aku sudah belajar sampai titik darah penghabisan.

Aku merasa sudah melakukan banyak hal. Kuliah dengan serius, ikut seminar, sampai mengambil paket berbagai kelas daring. Lantas, kenapa aku masih belum bisa menggapai cita-citaku? Kenapa aku berakhir sebagai colorist lepas?

Tanganku mulai bergetar. Kucengkeram pen dengan keras. Aku sudah mengusahakan segala cara, tapi kenapa aku tetap berakhir menjadi sesuatu yang tidak kumau? Kenapa aku hanya bisa menjadi tukang warna? Di mana lagi letak kesalahan komikku?

Lalu, aku ingat apa yang sering Faizal katakan jika aku mulai mengeluh soal pekerjaan. "Karya kamu bukan nggak bagus, kamu cuma belum ketemu wadah yang pas. Al, usaha kamu selama ini nggak sia-sia, kok."

Dasar Faizal. Padahal, dia saja tidak pernah membaca komikku. Meski demikian, aku tetap merasa lega, lebih rileks, dan bisa kembali berpikir jernih setelah mendengarkan perkataannya.

"Alma, ayo kita berhasil sama-sama." Suara Faizal menggema di kepalaku.

"Ayo," desisku pada layar.

***

Pekerjaanku selesai saat matahari hampir terbit. Aku mengaduh berkali-kali sambil mendengar tulang-tulangku protes. Pinggang sampai leher rasanya kaku luar biasa. Kantuk yang kutendang dengan kopi akhirnya datang menarik kelopak mata.

"Ah!" seruku begitu merebahkan diri di atas tempat tidur. Sambil bersiap istirahat, aku mengecek ponsel.

Ternyata ada puluhan pesan masuk. Beberapa masalah pekerjaan dan satu dari Bang Andri.

 

Bang Andri [23.12]

Ketemuan yuk. Mau nawarin kerjaan ni.

 

Alma [06.34]

Sori. Gue butuhnya tidur.

 

Mataku superberat, otakku agak hang, dan sel-sel tubuh memberi titah untuk tidur. Namun, ponselku kembali bergetar. Tanganku seakan-akan bergerak sendiri, mengambil ponsel, kemudian membuka pesan.

 

Bang Andri [06.37]

Buset. Pasti baru kejar2an dedlen.

Ga baik Al.

Malem ini di Puri mau ga?

Gue punya proyek bikin komik based on film.

Sutradaranya suka sama style lo.

Pasti mau dong?

 

Mataku tiba-tiba cerah lagi. Pegal yang sejak tadi menyiksa hilang begitu saja. Aku duduk, kemudian membalas pesan itu.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Putus-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya