[NOVEL] Putus-BAB 4

Penulis: Erwina

Alma - 4. Jangan Bicara Soal Putus

 

"Kayak mayat hidup lo," komentar Bang Andri begitu melihatku. Mungkin gara-gara aku pakai kaus putih panjang yang menutup seluruh tanganku. "Rambut lo kenapa?" Bang Andri menunjuk rambut sebahuku.

"Langsung ke bisnisnya aja bisa?" tanyaku sambil menyimpan tas di kursi kosong.

Bukannya menjawab, Bang Andri malah mengangsurkan menu di restoran ramen ini. "Pilih-pilih, gue traktir."

Aku menunjuk Tori Kara dan ocha dingin. "Jadi gi-"

"Sejak kapan potong rambut?"

Keningku berkerut, berusaha mengingat kapan aku memotong rambut. Tiga bulan lalu? Dua bulan? Sepertinya tiga karena sekarang rambutku sudah bisa diikat. Saat pertama dipangkas, pegawai salon yang bertugas mengeksekusi rambutku sedang tidak fokus. Aku hanya minta untuk merapikan bagian bawah yang sudah bercabang, malah dihabiskan hingga sisa setelinga. Gila, kan?

Orang pertama yang tahu insiden itu adalah Faizal. Begitu keluar salon, aku misuh-misuh di telepon. "Pendek banget ini kayak polisi," keluhku.

Di ujung sana, Faizal terkejut. "Coba foto."

"Ogah! Pokoknya aku nggak mau ketemu sampai panjang lagi!" Ya, bagaimana bisa aku bertemu pacar dengan penampilan seperti ini? Rambutku biasanya menyentuh siku. Sekarang, habis semua.

"Lah? Terus gimana ini charger kamu ketinggalan di rumahku. Nggak usah kuantar?"

"Terus aku nge-charge gimana?"

"Beli baru aja," usulnya.

"Ngaco! Anter ke rumah, nanti aku pakai kerudung."

Malamnya, Faizal mengantar pengisi daya laptop ke rumahku. Aku keluar mengenakan mukena lalu menyuruhnya segera pergi. Tiba-tiba, Ibu datang di saat tidak tepat. Faizal diajak masuk kembali dan makan malam. "Al, kok nggak diajak makan sekalian? Kamu juga ngapain pakai mukena gitu ke luar rumah?"

Senyum kemenangan terbit di wajah Faizal begitu aku membuka mukena. Aku sudah siap ditertawakan, diledek, dan diberi panggilan baru. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. "Eh? Cantik kok. Nggak fail itu. Kelihatan lebih fresh malah."

Tunggu ....

Bang Andri sudah memangku dagu dengan tangan. Matanya seakan-akan sedang mengikatku. "Ditanya perkara rambut aja jawabnya lama."

Oh Tuhan, kenapa urusan rambut saja membuatku flashback? Apakah semua orang putus mengalami ini?

"Al, cerita dong! Udah lama banget nggak cerita ke gue. Kapan putus?"

Bibirku maju beberapa senti. Akhirnya, sampai juga ke pertanyaan yang ingin kuhindari. Mau tidak mau, cerita nelangsa akhir hubunganku dengan Faizal kubagi ke Bang Andri. Tentu dengan singkat, padat, dan sejelas mungkin. Meski demikian, wajah Bang Andri tidak menunjukkan tanda-tanda mengerti.

"Gitu aja ceritanya? Nggak ada adegan siram air ke muka Faizal?" tanya Bang Andri sok serius.

"Lo yang gue siram, nih," balasku sambil mengangkat gelas ocha.

Bang Andri geleng-geleng. "Capek-capek pacaran sepuluh tahun selesainya nggak jelas gitu."

Padahal, aku sudah menceritakannya dengan singkat, padat, dan jelas. Sejelas-jelasnya. Masih saja tidak jelas.

"Makanya, Al, udah gue bilang dari dulu, hubungan anak SMP kayak kalian mana bisa berhasil. Terbukti, kan?"

Minta ditampar tampaknya.

"Dengerin gue yang lebih tua ini," lanjut Bang Andri.

Aku berusaha untuk tidak mendengus. Gayanya seperti orang benar, padahal cuma tiga tahun lebih tua dariku.

"Makan dulu. Makan yang banyak biar badan lo agak berisi sedikit. Kasihan banget gue lihat lo. Setelah itu, baru bahas proyek." Dia menyeruput kuah ramennya lalu menatapku lagi. "Udah berapa lama nggak ketemu, ya? Setengah tahun ada? Sedih gue, Al. Ketemu-ketemu lo kayak gini keadaannya ...."

Aku pura-pura mengaduk ramen sambil menelan ludah. Apa aku benar-benar sekacau itu? Rasanya, aku sudah menyembunyikan dengan baik.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ramen gratisan yang seharusnya lebih enak dari ramen yang bayar sendiri, terasa hambar dan menyebalkan sekarang.

Sesuai janji, setelah makan, Bang Andri mulai membicarakan pekerjaan. Dia mengeluarkan laptop dan menunjukkan sinopsis kepadaku.

Ceritanya tentang dua anak SMA yang sedang jatuh cinta. Tipikal cerita klise milik Dilan dan Milea. Aku memutar laptop setelah selesai membaca. "Klise banget."

"Ya, orang Indonesia sukanya yang begitu. Bisa bikin sampelnya dulu nggak? Gambar cewek sama cowok. Dulu gue pernah lihat di IG lo, tapi udah hilang." Bang Andri sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.

Kuambil ponsel dan mencari gambar yang dimaksud.

"Ini." Aku dan Bang Andri bicara bersamaan. Bang Andri menunjukkan mood board di laptopnya, sementara aku menunjukkan lukisan cat air dua remaja SMA yang bertatapan. Gambar yang sudah kuhapus dari Instagram. Pasangan itu adalah aku dan Faizal.

Bang Andri mengangkat sebelah alisnya. "Iya, itu .... Lo sama mantan lo, ya? Itu aslinya?"

Aku mengangguk. Gambar yang ada di ponselku adalah hadiah ulang tahun Faizal yang keenam belas. Unggahan di Instagram sudah kusunting sana-sini hingga hasilnya mirip gambar digital.

"Eh, nggak usah ngikut itu juga nggak apa-apa. Ini mood board yang udah gue susun, ada yang kurang nggak?"

Aku menggeleng.

"Gue kirim ke e-mail lo. Yuk, pulang, gue anter." Bang Andri buru-buru beranjak. Dia ke kasir, kemudian merangkulku pelan.

Pasti Bang Andri masih ingin membicarakan banyak hal soal pekerjaan. Namun, ada yang menggenang di mataku. Sejak tadi, aku menahan kedip agar genangan itu tidak jatuh. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana bisa aku menjabat tangan Faizal waktu itu? Bagaimana mungkin aku tidak meraung? Ya ampun, ternyata rasanya lebih sakit dari yang kuduga.

Untung Bang Andri mengendarai motor. Sepanjang jalan, aku bisa berpuas diri mengeluarkan air mata. Kukuras sekalian agar tidak perlu menangis lagi di kemudian hari. Konyol sekali rasanya. Sebelum putus, aku jarang mengingat Faizal. Setelah putus, perkara lukisan lama saja bisa membuatku menangis. Aku benci jadi perempuan rapuh.

Perjalanan dari Lippo Mall Puri sampai rumahku terasa begitu cepat. Saat motor masuk ke daerah Kebon Jeruk, aku segera membersihkan ingus dan air mata.

"Terusin aja nggak apa-apa. Mau nangis di bahu gue juga boleh," kata Bang Andri.

"Najis," sahutku ketus.

"Eh, beneran."

Bang Andri sepertinya kebanyakan berurusan dengan film romansa remaja yang manisnya bikin diabetes. Sudah hampir tiga tahun dia bekerja di salah satu rumah produksi di bagian Art Concept. Awal bekerja, Bang Andri sering mengeluh soal proyek-proyek yang ditanganinya, tapi lama-lama dia sudah bisa menikmati. Buktinya, dia bisa mengeluarkan kalimat cringe.

Motor berhenti di depan rumahku. Saat turun, Bang Andri merentangkan tangan ke belakang, seolah-olah aku bisa jatuh kapan pun. Tanganku dengan cepat menepisnya. Benar dugaanku, dia kebanyakan makan film anak remaja.

"Duh, galak amat, Bu."

"Lo jadi aneh banget, deh. Nggak usah sok manis. Nggak pantas sama badan." Aku memperhatikan Bang Andri dari atas ke bawah. Kalau dilihat dengan saksama, motor bebeknya terlihat kasihan sekali. Pasti motornya keberatan. Tubuh Bang Andri tinggi besar, sih. "Lihat, motor lo udah memelas gitu. Motor yang biasanya ke mana?"

"Rusak gara-gara banjir. Makanya jangan sibuk pacaran mulu. Kali-kali update keadaan gue," jawab Bang Andri.

"Sori, Bang," ucapku pelan. Aku tidak sadar, hubungan kami memang sempat terputus sejak aku dapat banyak proyek kerja lepas dan Bang Andri naik jabatan. Pertemuan terakhir kami adalah enam bulan lalu. Itu juga gara-gara aku diundang ke premier film yang digarap Bang Andri. Setelah itu, kami tidak pernah bertemu. Bahkan, tidak pernah saling bertanya kabar.

Bang Andri menunjuk pintu rumahku. "Masuk sana."

"Thank you, Bang. Gue bikin sampelnya dulu."

Dua ibu jari Bang Andri teracung kemudian dia pamit.

Sebelum masuk, aku sempat mematung di depan rumah. Biasanya Ibu akan keluar lalu menyapa Faizal. Lalu, dia akan ....

Eh, cukup! Otakku ini tidak tahu situasi kondisi, Baru saja selesai masa sudah mau mewek lagi.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Putus-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya