[NOVEL] Putus-BAB 5

Penulis: Erwina

Alma - 5. Hal Kedua yang Dilakukan Setelah Putus

 

Hal kedua yang harus dilakukan setelah putus: Blokir semua media berkomunikasi dengan mantan. Oke, aku akan memblokir semuanya. Pertama, WhatsApp. Kedua, Line Messenger. Ketiga, nomor ponsel-walaupun agak percuma karena aku sudah hafal. Keempat, Instagram ... Eh, Instagram Faizal tidak ada?

Aku mengganti akun Instagram ke akunku yang lain. Akun siluman yang biasa kugunakan untuk komentar di unggahan komikus favoritku. Kulacak akun Faizal. Ternyata, tetap tidak ada. Belum puas, aku juga melihat daftar following-ku, siapa tahu Faizal mengganti nama. Namun, tetap tidak ada. Faizal deactivate akunnya? Sejak kapan?

Bukan Alma namanya kalau berhenti begitu saja. Aku mengambil laptop dan membuka mesin pencari. Kuketik nama lengkapnya di sana. Faizal Dirga. Tidak sampai sedetik, ratusan hasil pencarian muncul. Aku membaca semuanya sekilas. Tidak ada satu pun akun media sosialnya. Faizal menghapus semuanya?

Hasil pencarian rata-rata merujuk pada data-data milik pemerintah dan kampus. Ada beberapa berita soal ART-INT, perusahaan rintisan yang sedang diperjuangkannya. Aku membuka salah satunya.

***

ART-INT, Siap Ambil Bagian di Industri 4.0

banyakberita.com - 8 November 2018, 09:14 WIB

banyakberita.com - Berawal dari ruang kecil di sudut kampus, Aksa dan Denny menyusun mimpi membawa industri Indonesia ke perkembangan yang lebih pesat. Dari ruangan itulah, mereka mulai merencanakan konsep perusahaan penyedia jasa Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan. Dua tahun kemudian, mimpi mereka menjadi nyata. ART-INT menjadi salah satu perusahaan yang disuntik dana miliaran rupiah.

Aksa menuturkan, ada hal unik yang dimiliki ART-INT, "ART bisa berarti seni, bisa juga artificial, sedangkan INT artinya intelligence. Kami bukan hanya menyediakan jasa program yang sangat pintar. Kami juga menyediakan kemudahan dan keindahan."

Tidak heran, perusahaan yang baru dirintis itu sudah menarik perhatian investor. Denny berharap pemerintah juga dapat memberi dukungan penuh terhadap bisnis rintisan. "Kami dan teman-teman seperjuangan butuh banget suntikan dari pemerintah. Tolonglah, kami ini ingin memajukan industri Indonesia juga, bukan sekadar mencari keuntungan," tutur Denny saat diwawancara di acara Startup Pitching Day.

Selain Aksa dan Denny, salah satu tim IT ART-INT juga ikut mengisi presentasi. Faizal Dirga dinilai sebagai salah satu tulang punggung ART-INT. Dia adalah orang di balik program-program yang ditawarkan. Faizal menilai, industri Indonesia sudah siap menghadapi generasi Internet 4.0, meskipun masih banyak tantangan yang perlu dihadapi. Faizal mengaku sering kesulitan dalam melaksanakan tugasnya, tapi dia juga menganggap semua itu pembelajaran yang berharga. "Tim kami cuma sedikit, kalau sumber dayanya lebih banyak pasti lebih mudah." Sejauh ini, hanya sepuluh orang yang mengurus program kecerdasan buatan, termasuk Aksa dan Denny.

Dengan adanya perusahaan rintisan seperti ART-INT, masyarakat seharusnya lebih optimis dengan perkembangan industri dan ekonomi Indonesia. Sekarang, semua dapat dipermudahkah dengan teknologi berbasis Internet.

***

Artikel itu terbit satu tahun lalu, sebelum Kak Aksa dan Kak Denny tiba-tiba memundurkan diri. Aku merinding mengingat kejadian itu.

Hujan sedang deras-derasnya, Faizal dan aku terjebak di kantornya. Jalanan banjir dan kami lebih memilih menunggu surut ketimbang ambil jalan memutar. Lagi pula, Faizal juga masih sibuk dengan berbagai hal.

Kak Aksa dan Kak Denny terlihat serius. Mereka keluar ruangannya dan meminta seluruh tim berkumpul di ruang rapat. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan, yang jelas Faizal langsung membereskan barang dan menarik tanganku.

"Pulang," ajaknya dengan nada agak tinggi. Raut wajahnya seperti monster pemakan manusia dan aku tidak pernah melihatnya seperti itu.

Aku menurut saja karena tidak mau terkena masalah. Kami akhirnya menerobos hujan dan berputar-putar Kota Jakarta. Faizal tidak bicara. Aku tidak berani buka mulut. Ponselnya terus berdering.

Aku melirik layar ponselnya. "Kak Aksa tuh, nggak diangkat?"

Faizal menggeleng pelan.

Aku memalingkan wajah ke jendela, berharap jalanan yang padat dapat memberitahuku. Apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?

Setengah jam kemudian, Faizal mengangkat telepon yang masuk. Dia menyambungkannya lewat pengeras suara mobil.

"Faizal, gue dan Denny minta maaf banget. Tapi, kalau bukan lo, siapa lagi?" Suara Kak Aksa terdengar penuh sesal. Aku langsung melirik Faizal, meneliti air mukanya.

Faizal mendengus keras-keras. "Enak banget lo, Kak. Udah tahu kita lagi parah banget, kalian malah pergi terus seenaknya kasih tanggung jawab ke gue."

"Cuma lo-"

"Bacot!" Faizal menutup panggilan secara sepihak. Tangannya mengepal dan memukul-mukul kemudi.

Tanganku agak bergetar karena takut. Lalu, dengan keberanian yang tersisa, aku bertanya, "Kenapa, Iz?"

"Nggak apa-apa." Itu adalah kali pertama Faizal tidak membagi bebannya. Kali pertama Faizal berkata tidak apa-apa, meskipun sesuatu jelas sedang terjadi.

Mataku terbuka lebar. Sepertinya, perubahan Faizal yang tidak kusadari berawal dari kejadian itu. Layar laptopku mati dan aku bisa melihat bayangan wajahku.

Ya Tuhan, apa yang kulewatkan, sih?

Kepalaku tiba-tiba tidak bisa diajak bekerja sama. Aku sedang butuh inspirasi untuk membuat sampel gambar, tapi jariku malah sibuk mencari informasi tentang bisnis Faizal. Selama ini, aku memang tahu soal bisnisnya. Aku juga tahu semua itu membuat Faizal kesulitan. Namun, sekarang rasanya aku tidak tahu apa-apa.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Berita-berita yang ada di Internet hampir semua adalah berita lama. Situs resmi ART-INT tidak dapat memberikan informasi tambahan. Keberadaan Faizal tidak bisa dilacak.

Tanganku mengepal dan memukul tepian meja. "Ih!" jeritku.

Ini membuatku gemas. Masa aku harus menghubungi Faizal untuk bertanya? Baru juga kublokir beberapa menit lalu.

Nggak, nggak. Kalau aku menghubungi, dia akan terganggu. Semuanya sudah jelas, Faizal ingin fokus tanpa aku. Jadi, seharusnya aku juga bisa fokus tanpanya.

Kututup semua jendela mesin pencari, kucari musik yang paling semangat, dan mulai menggambar. Aku harus terus sibuk agar tidak tenggelam di laut bernama Kenangan Faizal.

***

Aku tiba-tiba terbangun dengan tangan memegang pen dan kepala bersandar ke tembok. Untuk sedetik, aku lupa sedang melakukan apa. Kemudian, kulihat layar laptop yang sudah mati. Ah, sampel! Sial, sepertinya aku ketiduran saat sedang mencoba mencari informasi.

Jam menunjukkan pukul setengah satu pagi. Aku mengelus perut yang agak keroncongan. Awalnya, aku sempat malas untuk ke dapur dan memilih merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Namun, keputusan itu tampak sangat salah. Bukannya tidur, aku malah makin kelaparan.

Dengan sangat terpaksa, aku membuka-buka kulkas. Aku mencari makanan yang bisa mengganjal perut. Saat sibuk memotong kue bolu yang entah sejak kapan ada di sana, Ibu membuka pintu kamarnya.

"Kamu nggak tidur?"

"Lapar, Bu," jawabku sembari memasukkan sisa bolu ke pendingin.

Ibu menarik kursi meja makan, lalu duduk di sana. Firasat buruk menghampiriku. Aduh, malas banget, deh. Aku cepat-cepat menuju kamar, tapi suara Ibu menghentikanku. "Sini, Ibu mau ngobrol," katanya pelan.

Aku meringis pelan. Ibu pasti ingin bicara tentang putusnya aku dan Faizal.

"Kenapa kamu sama Faiz?"

Ibu, seperti biasa, langsung tembak. Tidak pakai basa-basi, tidak pakai pembukaan, tidak pakai senyum-senyum prihatin.

Mataku memperhatikan bolu di atas piring, mencoba menghindari kontak mata. Siapa tahu aku harus berbohong sedikit.

"Putus, Al?"

Ah, sial. Sial. Sial. Aku mengangguk pelan.

"Kenapa?"

"Ya udah nggak cocok, Bu. Nggak jodoh aja," sahutku asal.

Ibu bergumam panjang. "Waktu itu Ibu sudah bilang, kan ...."

Oh, jangan, jangan, jangan, jangan ceramah.

"Pacaran lama-lama itu cuma membawa kerugian. Ibu dan Ayah minta untuk segera menikah, kamu yang nggak mau. Padahal, tahun kemarin kalian masih baik-baik aja." Ibu jelas terlihat kecewa.

Aku memalingkan wajah. "Tahun kemarin Faizal masih sibuk dengan bisnisnya, Bu. Alma juga belum punya pekerjaan tetap."

"Lalu, sekarang? Dia masih sibuk dengan bisnis dan kamu juga masih nggak bekerja tetap. Menikah itu membuka pintu rezeki."

Duh, Ibu kok malah menyudutkanku?

"Tapi kalau bukan jodoh, ya gimana. Udah jangan nangis-nangis lagi kayak kemarin. Malu," tegas Ibu.

"Iya, Bu," kataku pelan.

Aku paling malas berdebat dengan Ibu dan Ayah. Meskipun keluargaku termasuk modern, tidak serta-    merta membuat orang tuaku jadi pendengar yang baik. Mereka cenderung menghakimi ketimbang berusaha mengerti perasaanku. Biasanya, kalau mau curhat, aku lari ke Mami. Tapi setelah putus, apa aku masih bisa pinjam Mami untuk berbagi bebanku?

Ck, putus ternyata menyebalkan sekali, ya?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Putus-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya