[NOVEL] Rumah untuk Cinta-BAB 3

Penulis: Riawani Elyta

Masih Pantaskah Penyesalan?

 

Tik-tuk. Tik-tuk. Jam di dinding, dengan seekor burung yang keluar masuk, mematuk-matuk dua belas kali. Sementara, lalu lalang kendaraan di luar sana, mulai menyurut. Malam telah berangsur larut.

Namun, di dalam kamarnya yang luas, Okta masih terjaga, dengan sepasang mata yang tetap solid. Telah terbiasa oleh ritme yang mengharuskan otaknya selalu bekerja, membuat saat istirahat malam pun, ekspresinya tetap terlihat tengah berpikir keras.

Namun malam ini, ia sedang tidak memikirkan materi kuliah yang akan ia berikan besok, ataupun bahan riset yang masih harus ia penuhi dalam menyusun buku pertamanya tentang 'Wajah Perpolitikan Indonesia di era Reformasi'. Melainkan pikirannya tengah disibukkan oleh kabar-kabar yang berhembus dari para koleganya, lebih tepatnya, para kolega jadoelnya, mulai dari jaman SD, SMP, SMU, hingga kuliah, yang rata-rata masih saling aktif berkomunikasi lewat berbagai jejaring sosial. Kabar yang membuat hari-harinya terasa cukup menggerahkan belakangan ini. Kabar yang sebenarnya rada menggelikan: bahwa sepenggal kisah masa lalunya, telah diangkat dalam sebuah novel best seller.

Pada awalnya, tentu saja ia tidak menganggap itu penting. Novel baginya tak lebih sebuah kisah imajinatif belaka, dengan otokrasi penuh berada di tangan sang penulis untuk menuangkan kisah itu sesuai kenyataan, ataupun semata rekaan dan khayalan, ataupun kolaborasi keduanya, yang ujung-ujungnya, adalah untuk menopang kesejahteraan hidup sang penulis itu sendiri. Lantas, bukan hal yang aneh, bukan? Kalau ternyata sebuah novel memiliki alur cerita yang mirip dengan apa yang pernah ia alami?

Okta menggeleng gemas. Ia memang belum membaca novel itu. Untuk apa juga?

Tetapi, masalahnya.... dari apa yang dia dengar, novel itu memang berkisah tentangnya. Dan kisah asmaranya--satu-satunya kisah asmara yang pernah ia miliki--mendominasi lebih separuh isi novel itu. Kisah yang lumayan drama, tetapi nyata adanya. Tentang sepasang anak manusia yang awalnya selalu bertengkar, lalu bermetamorfosis menjadi cinta yang bersemi, hingga akhirnya berikrar untuk melanjutkan kisah cinta itu dalam ikatan resmi.

Namun, rangkaian kisah manis itu terputus, saat Okta mengalami kecelakaan jalan tol dan mengalami amnesia. Beberapa dokter yang menangani, bahkan memvonis kalau dia tak akan pernah pulih sempurna.

Sampai kemudian, Okta ditangani Dokter Irfan, dokter bedah saraf terkemuka yang juga pemilik beberapa yayasan. Siapa mengira, Tuhan memperkenankan kesembuhannya melalui dokter Irfan dan memberinya kesempatan kedua. Okta sembuh dari amnesia! Sungguh, seumur hidup pun beribadah, Okta yakin tidak akan pernah bisa membalas kemurahan dan rahmat Tuhan atas dirinya.

Namun, kesembuhan itu ternyata harus ia tebus dengan balas budi. Okta tak sanggup menolak ketika dokter Irfan menjodohkannya dengan putri bungsunya.

"Belum tidur, honey?" Seraut wajah cantik menyembul dari balik selimut. Wajah dengan garis Timur Tengah milik Nabila. Wanita yang telah mendampingi hidupnya sejak lima tahun lalu. Okta menggeleng.

"Makanya stop mikir kerjaan di atas jam sembilan! Banyak pikiran bikin sel-sel saraf jadi tegang. Susah tidur."

Okta mengedikkan bahu. Menerima pendapat Nabila sambil lalu.

"Mau kubuatkan susu hangat? Biar cepat ngantuk?" tawar Nabila.

"Tidak...tidak usah. Tolong ambilkan CTM aja. Kalau nggak ada, Antimo juga boleh."

Jawaban itu spontan membuat Nabila menyingkap selimutnya. "Jangan-biasakan-pake-obat-obatan-hanya-untuk-mancing-ngantuk." Nabila bicara satu-satu, seraya mengacung-acungkan telunjuknya, persis guru TK yang tengah memarahi muridnya yang ketahuan pipis sembarangan.

"So?" Okta merespons malas.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Sooo...." Nabila memonyongkan bibirnya dengan raut gemas. "No better choice than a glass of hot milk."

"Oke.." Okta menjawab pasrah. "Asalkan kamu yang bikinin."

"Surely honey. Satu teko pun rela kubikinin asalkan kamu berhenti mondar mandir! Capek tahu ngeliatnya, kaya... setrikaan!"

Baru selangkah keluar kamar, Nabila telah kembali menyembulkan wajahnya di balik pintu. "Mau pake coklat atau yang plain, hon?"

"Yang plain aja. Plus serbuk jahe dikit, telur ayam kampung, kemarin masih ......."

"Astaga, hon." Nabila urung meninggalkan kamar. "Kamu pikir gue depot jamu? Emang gue nggak ngerti apa, kalau campurannya yang begituan bukannya bikin ngantuk tapi buat begadang! Buat melek sampe pagi! Ya udah yang plain aja! Nggak campur laen-laen!"

Okta menarik napas panjang. Lima tahun hidup seatap dan seranjang, berbagi suka dan duka, tawa ceria dan pahit getir, kebersamaan mereka lebih didominasi oleh Nabila. Over protective, over confidence, dan puluhan tabiat overdosis lainnya yang kian lama kian menenggelamkan eksistensi Okta, bak lempeng permukaan bumi yang tenggelam oleh naiknya permukaan air.

Nabila lebih cocok menggantikan fungsi ibu ketimbang istri, lebih cocok menjadi dosen dengan Okta sebagai mahasiswanya ketimbang kenyataannya, Okta-lah yang sesungguhnya seorang dosen. Namun profesi itu, seiring sikap wibawa dan smart yang selalu ia tampilkan di hadapan para mahasiswanya, langsung luntur begitu memasuki pintu rumah dan berhadapan dengan Nabila.

"Hot milk is coming!" Suara ceria Nabila seraya membawa segelas susu vanilla itu hanya disambut Okta malas-malasan. "Taruh aja di situ."

Dengan gontai, Okta menyeret kakinya ke kamar mandi. Sesungguhnya ia tak punya hajat apa pun di kamar mandi. Tetapi, demikianlah adanya. Rutinitas yang berulang hampir setiap malamnya. Dia lebih suka mencari ekstra kegiatan seraya mengulur waktu sampai Nabila terlelap. Lalu ia pun merebahkan diri di sisi Nabila setelah memastikan bahwa permaisurinya itu telah pulas.

Klik ! Okta mengunci pintu kamar mandi. Lalu berdiri didepan cermin, sejenak mengamati bayangannya yang memantul di sana. Bayangan yang tampak jauh lebih tua dari usia yang bulan depan akan menggapai angka tiga puluh. Ada bayangan hitam di bawah matanya yang kecil dan tajam. Juga bulu-bulu halus yang mulai menghiasi dagunya.

Seketika, ingatannya kembali melayang pada novel itu. Novel yang ia sendiri belum tertarik untuk sekadar mencari tahu apa judulnya. Bukan. Bukan kisah novel itu yang saat ini tengah menggelisahkannya, melainkan seseorang yang juga pastinya memiliki kapasitas 'peran' yang sama dengan dirinya di dalamnya. Seseorang yang barangkali saja, saat ini sama gelisahnya dengan dirinya, atau justru sebaliknya, justru tak ambil pusing dengan gosip yang semestinya mengusik integritasnya itu. 

Okta menyibak rambut lurusnya dengan gemas. Berkali-kali. Berusaha mengenyahkan kenangan akan wajah berpipi tirus itu yang tiba-tiba saja menjelma kembali. Perlahan muncul dan mengambang di permukaan hati, menerobos ceruk memori, dan kini seolah-olah Okta tengah melihat sesosok bayangan itu menemaninya bercermin.

Hah! What's going on with his mind? Okta menggeleng-geleng. Setelah waktu berlalu jauh dan berkarat oleh atmosfer keangkuhan, tercemari partikel-partikel udara yang menodai ketulusan hati, masihkah layak untuk mengenangnya dalam koridor penyesalan?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Rumah untuk Cinta-BAB 2

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya