[NOVEL] Shelter: BAB 1

Penulis: MosaicRile 

1. The Fairest One of All

 

SEORANG wanita duduk menghadap cermin, memandang wajah jelita yang sudah dirias sempurna. Ia lalu bertanya, “Siapa wanita tercantik di kota ini?”

Tak ada suara yang menyambut pertanyaannya membuat ia mendengkus kesal sambil menatap cermin. Dari pantulan kaca, wanita itu mendelik tajam perias yang berdiri dengan kepala tertunduk.

“Aku bertanya padamu. Kamu pikir aku bicara pada cermin?” sergahnya kesal.

Perias itu semakin menunduk. “Ma-maaf, Nyonya. A-anda. Tentu saja Anda wanita tercantik di kota ini.”

Wanita itu mengatur napas sebelum berdeham pelan. Perasaannya lega usai mendengar jawaban si perias. Ia mengangkat wajah angkuh, membiarkan bibirnya dipoles gincu merah gelap.

“Ta-tapi, Nyonya,” Perias itu tampak tidak bisa menahan diri di sela-sela aktivitasnya menyimpan peralatan. “Maaf jika saya lancang, kudengar Tuan Taraksa memiliki anak yang cantik jelita. Saya kok tidak melihatnya, ya?”

Mendengar pertanyaan dari perias, ia menggebrak meja hingga bedak taburnya tumpah. “Kurang ajar! Beraninya kamu menyebut anak yang sudah meninggal di rumah ini! Pergi dan ambil uang jerih payahmu dari rumah Daniswara. Kamu, kerabatmu, bahkan keturunanmu dilarang menginjakkan kaki di rumah ini!” bentaknya marah.

“A-ampuuun, Nyonya. Maaf saya tidak akan mengulang pertanyaan ini lagi.”

“Pergi kamu!”

Diusir dengan suara melengking tinggi membuat perias itu undur diri ketakutan. Segera wanita itu membenahi ekspresi wajah, ia memijat pelan kedua pipi dengan jemari lentiknya. Ia masih kesal jika ada rumor beredar di seluruh penjuru kediaman menyebut-nyebut nama anak gadis Taraksa.

Berjarak beberapa meter dari kursi rias, suara ketukan pintu sebanyak tiga kali menghampiri telinga. Masih menatap melalui cermin, ia mendapati seorang pria berdiri gagah dengan setelan jas melekat di tubuh. Senyum manis segera dipasang di wajah, ia menggunakan isyarat agar lelaki itu masuk ke dalam kamar. Ia selalu terpesona pada gestur tubuh kokoh yang kini sedang membungkuk hormat kepadanya.

“Selamat pagi, Nyonya.”

Wanita itu mengibaskan tangan sambil berdiri agar berhadapan dengan si pria. Suaranya berubah pelan dan lembut. “Sudah kubilang, kalau lagi sendiri, panggil saja Jeemah,” pintanya sambil berjinjit kecil untuk mengecup pipi sang pengawal setia. “Kamu juga bisa membiasakan diri memanggilku 'sayang', Ian.”

“Maaf, tapi lebih baik kita menjaga sikap,” ujar pengawal itu datar. “Sudah kusiapkan mobil untuk mengantarmu. Ke mana kamu akan pergi hari ini?”

Jeemah menatap tajam pria yang usianya lebih muda lima tahun darinya. “Ke kamar suamiku. Setelah itu kamu mengantarku ke Danish Farma Group. Ada riset yang harus kukembangkan untuk mengoleksi kepercayaan dewan.”

Ian mengangguk. Lelaki itu mengambil tas tangan milik Jeemah dan mempersilakannya berjalan terlebih dahulu tanpa banyak bicara. Jeemah berdecak kesal sambil berujar dengan volume suara kecil. Bibir tipisnya bergerak memberi perintah, “Nanti malam kosongkan jadwal dan kunjungi kamarku.”

Jeemah menghampiri lemari dinding, memilih satu kacamata hitam Warby Parker dari sekian banyak miliknya sebelum keluar dari kamar. Ia melintasi ruang demi ruang, menaiki anak tangga melengkung yang membawanya ke lantai paling atas, tempat Taraksa Daniswara beristirahat.

Berdiri di mulut pintu, Jeemah mengusir beberapa pelayan dan suster yang berjaga agar meninggalkan mereka. Ia berhenti di tepi ranjang, memandang Taraksa yang sedang tidur panjang.

“Halo suamiku, jangan bangun dulu, ya,” bisik Jeemah di telinga Taraksa.

Ia mengulas senyum tipis, kembali tegak sembari menatap tubuh lemah suaminya yang masih belum meninggal juga. Tiga bulan lalu sepertinya bintang keberuntungan berada di atas kepala wanita itu. Satu-satunya anak keluarga Daniswara mati, kemudian disusul Taraksa yang syok hingga stroke. Tak pernah disangka ternyata menyingkirkan Elaine juga berbuntut pada hilangnya periode kekuasaan kakek tua renta bernama Taraksa Daniswara.

Jeemah hanya perlu membangun kepercayaan dalam mengurus beberapa proyek Danish Farma, mendekati sekretaris perusahaan dan mencari cara mendapatkan posisi dan porsi saham yang lebih banyak. Demi mendapatkan semuanya, ia harus bersabar dalam menyusun rencana.

Di usianya yang terbilang matang, Jeemah berhasil mendapatkan segala yang ia inginkan. Harta, paras yang indah, suami kaya, bahkan bonus selingkuhan. Sebelah matanya melirik pengawal berwajah rupawan. Jeemah ingin tertawa melihat asisten kepercayaan Taraksa jatuh hati padanya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Sudah cukup aku melihat suamiku hari ini,” ujarnya dengan perasaan tenang karena tak ada tanda-tanda Taraksa kembali sehat.

Jeemah berbalik memperhatikan Ian sejenak sebelum benar-benar berlalu. Pengawalnya itu menurut ke mana pun Jeemah pergi. Setelah duduk di kursi belakang mobil Mercedes-Benz hitam, ia memulai percakapan.

“Kenapa hari ini berpakaian serba hitam?”

Ian menatap Jeemah sekilas saja sebelum memberi jawaban, “Hari ini tepat seratus hari kematian putrimu.”

Jeemah hampir tersedak.

Ian tersenyum miring. “Kamu tidak ingat?”

“Sejak kapan aku punya anak? Kamu saja tidak membuahi rahimku dengan benar,” sindir Jeemah.

Pengawalnya itu tidak lagi berbicara jika Jeemah mulai menyinggung perasaan pribadi. Agak sulit meminta Ian bersikap romantis, tetapi setidaknya pria itu selalu berada di sisinya. Jeemah mengubah haluan pembicaraan, terpaksa melanjutkan topik perempuan yang telah meninggal.

Ia mencecar Ian dengan banyak pertanyaan, “Jadi, kematian Elaine ada hubungannya dengan pakaianmu? Kamu akan memberi penghiburan pada orang mati? Di mana? Memangnya kamu memakamkan mayatnya?”

“Kenapa berbicara sekasar itu pada orang yang sudah mati?”

Jeemah menatap bangunan sentral khas metropolis di seberang jalan. “Karena kamu milikku, dasar bodoh,” gumamnya pelan.

“Kamu cemburu pada orang yang sudah mati?” Pertanyaan Ian terdengar seperti sedang membalas sindiran sebelumnya.

“Diamlah. Aku mau tidur,” perintah Jeemah.

Wanita itu memejamkan mata, sebenarnya masih menduga-duga apakah Ian mengamatinya dari kaca tengah mobil. Telinga Jeemah dimanjakan dengan musik instrumental yang mengalun lembut. Pria itu juga menurunkan kecepatan laju mobil. Ia tersenyum tipis, senang Ian peka dengan suasana hatinya.

Tak lama, Jeemah mendengar suara ponsel berbunyi, ia membuka mata perlahan. Dilihatnya Ian sedang berbicara melalui earphone nirkabel. Sepintas saja, mereka saling bertatapan melalui kaca tengah sebelum Jeemah mengalihkan pandangan. Ia tidak suka ditatap dengan mata Ian yang sekelam langit malam.

Setelah Ian menutup telepon, Jeemah bertanya penasaran, “Siapa?”

“Penjual bunga.”

Senyum merekah begitu lebar di bibir Jeemah. “Kamu memberiku bunga? Tidak salah?”

“Aku membeli bunga penghiburan.”

Cepat-cepat Jeemah menyembunyikan senyum. “Baru kali ini aku tahu ada orang yang memberikan bunga penghiburan untuk korban yang dibunuhnya.”

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Shelter: Prolog

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya