[NOVEL] Shelter: BAB 4

Penulis: MosaicRile 

4. A Reason to Remember

 

ELAINE menerima tawaran makan malam bersama Hezkiel karena ia penasaran. Sejak pria itu memeluknya kemarin malam, ia bertanya-tanya sedalam apa hubungan mereka di masa lalu. Namun, tidak ada pertanyaan yang berhasil diungkapkan sebab Hezkiel keluar dari kamar dengan tergesa-gesa.

Siang tadi, ia menemukan satu kotak hadiah berisi gaun malam dan sepasang sepatu stiletto perak di atas sofa, tertuju untuknya. Meski jarang berada di apartemen, Hezkiel tidak pernah absen menanyakan kabar, proses terapi yang ia jalani, serta memenuhi seluruh kebutuhan sehari-hari. Ia mendapat lebih dari yang bisa diterimanya.

Elaine duduk di kursi, menatap cermin. Ia menyentuh peralatan rias, membuka segelnya satu per satu. Elaine memoles krim pada wajah, menutup lingkaran hitam di bawah mata dengan concealer, kemudian meratakan bedak berwarna senada dengan kulit putihnya. Kedua sudut bibir terangkat kaku ke atas ketika ia mengaplikasikan blush on merah jambu di pipi. Senyumnya berubah rileks kala perlahan wajah di depan cermin terlihat jauh lebih familiar dipandang. Maskara hitam yang dilukis pada bulu mata menambah tajam sorot matanya. Ia menarik kesimpulan kalau berdandan adalah kebiasaannya dulu.

Elaine memiliki rambut panjang sepinggang, tebal dan berantakan. Ia menarik laci, mencari gunting. Tangannya bergerak mengikuti naluri, memangkas rambut hingga pendek sebahu. Ia menukar pakaian dengan gaun hitam, memakai sepatu, sempat takjub karena ukurannya cocok di kedua kaki Elaine. Ia memandang pantulan diri di cermin. Kedua alisnya menyatu saat memperhatikan lengan di gaun tampak menganggu. Elaine meloloskan gaun dari tubuh. Tanpa ragu, ia kembali meraih gunting, mengikuti garis kain, menggunting bagian yang tidak sesuai dengan penglihatannya. Sekarang, gaunnya berubah model.

Ia termenung sesaat. Elaine mengangkat tangan kirinya sejajar dengan dada, memandang heran. Ketukan pintu di kamar menghentikan jalan pikirannya. Buru-buru Elaine mengambil cluth perak dari dalam lemari, ia keluar dari kamar dan mendapati senyum kikuk Hezkiel.

You look ...”

Elaine mengangkat alis, menunggu Hezkiel meneruskan ucapan. Pria itu tampak meneliti penampilannya.

Different,” lanjut Hezkiel setelah beberapa detik kemudian. “Kayaknya aku nggak pesan gaun ini, deh.”

“Oh, ya?”

“Tapi, gaun ini kelihatan lebih menarik. Actually, tadi aku mau bilang cantik,” puji Hezkiel.

Elaine menunduk sekilas, menahan senyum. Saat Hezkiel mengulurkan tangan, ia menyambutnya. Bola matanya melirik ke samping, mencoba menemukan sedikit perubahan ekspresi di sana, tetapi wajah Hezkiel terlihat tenang. Genggaman tangan mereka terasa hangat. Keduanya sampai di basement parkiran mobil. Hezkiel menekan tombol pada pengendali kendaraan.

BMW X5 yang terparkir di sudut merespon. Elaine masuk ke dalam mobil, disusul Hezkiel. Elaine meletakkan sikunya pada panel pintu yang dilengkapi interior bermotif kayu. Ia melempar pandang ke luar jendela kala Hezkiel mengemudi. Mereka belum memulai pembicaraan, ia hanya mendengar Hezkiel berulang kali memberi perintah pada mobilnya untuk memutar lagu yang disukai pria itu. Suara Hezkiel yang tengah bersenandung pelan membuatnya menoleh.

Sadar ditatap, Hezkiel berhenti bernyanyi. “Suaraku jelek, ya?”

Elaine tertawa pelan. “Bagus. Kalau Saul tidak bilang kamu itu artis, mungkin sudah kuanggap penyanyi.”

“Aku juga terima-terima aja kalau ada perusahaan musik yang nawarin. Sejauh ini masih nyanyi soundtrack film sendiri,” jawab Hezkiel.

Ia mengangguk. “Kamu yakin membawaku keluar dari apartemenmu?”

Why? Kamu takut ada yang nyari kamu atau tahu kalau kamu masih hidup?” tanya Hezkiel.

Elaine menggeleng. “Bukan.”

“Jadi?”

“Karena kamu artis,” jawab Elaine. “Semua orang mengenalmu. Jika kamu bersama denganku di depan publik, apakah media akan membuat gosip yang tidak-tidak?”

Hezkiel tertawa pelan. Ia menghidupkan lampu sein saat mobil berhenti di lampu merah. “At least nggak ada yang ngatain aku gay, kan?”

Elaine memandang Hezkiel dari samping, lelaki itu memiliki hidung mancung dengan pangkal yang sedikit bengkok. “Kamu gay?”

Come on, Ela. I consider myself one hundred percent heterosexual,” tegas Hezkiel diiringi desah panjang. “Mereka bilang begitu karena aku nggak punya gandengan aja sejak jadi artis.”

Ia tertawa mendengar penjelasan Hezkiel.

“Bagus juga kalau ada wartawan yang meliput kebersamaan kita,” gumam Hezkiel. Tangannya memutar setir.

“Kita ke mana?” tanya Elaine, mengabaikan kalimat terakhir pria itu. Ia tidak mengomentari bagaimana cara Hezkiel berpakaian, tetapi kostum mereka tampak formal.

“Dekat aja, kok. Aku sering datang ke restoran ini. Tempatnya di rooftop. Ada ruang privat yang bisa menjamin kita makan dengan nyaman,” jawab Hezkiel.

Elaine mengangguk singkat. Ia mengarahkan pandang pada jajaran mobil yang berjalan lambat di depan. Tidak ada lagi percakapan sepanjang kendaraan melaju cukup kencang di jalan tol. Hezkiel mengaktifkan Parking Assistant sehingga mobil parkir otomatis sementara pria itu menukar sepatu Balmorals cokelat yang mengilap.

Ia tersenyum tanpa sadar, menyukai gaya berpakaian Hezkiel. Keduanya turun dari mobil, berjalan melewati lobi hotel yang disambut dengan senyuman ramah front office, kemudian Hezkiel menekan angka paling atas pada knop lift yang mereka tumpangi. Elaine meletakkan tangannya pada lipatan siku kiri Hezkiel, pria itu tersenyum ke arahnya.

Ketika terdengar suara denting dan pintu lift terbuka, seorang pramusaji berpakaian seragam putih-hitam dan dasi kupu-kupu membungkuk singkat serta mengarahkan tempat yang rupanya sudah direservasi.

Elaine duduk berhadapan, dibatasi meja persegi berukuran sedang khusus dua orang. Serbet berwarna marun disampirkan di atas kakinya oleh pramusaji, sementara Hezkiel mengucapkan dua hidangan utama tanpa perlu melihat buku menu. Lilin panjang di hadapannya membuat Elaine melihat sorot mata Hezkiel yang bercahaya.

“Kita skip red wine karena kamu baru sembuh,” ujar Hezkiel membuka suara.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

I’m good, Hezkiel. Sebenarnya, ini sedikit berlebihan,” jawab Elaine.

Hezkiel tak setuju. “Anggap aja ini celebration setelah nyaris lima bulan koma. Kurasa suasana di sini lebih nyaman dibanding apartemen. Sorry, I was too busy sampai nggak bisa ngajak kamu keluar.”

“Setelah apa yang kita bicarakan kemarin, kupikir aku harus membalas semua bantuanmu. Kamu tahu, aku tidak mungkin seterusnya tinggal di apartemenmu, kan?”

Pria itu mendesah pelan. “Aku tahu, kok. Aku nggak keberatan karena banyak kamar nggak kepakai,” jawab Hezkiel sambil melipat tangan di atas meja, tubuh itu condong ke depan. “Jadi, udah mikir rencana selanjutnya?”

Elaine tidak menjawab karena steik daging sapi premium yang diminta Hezkiel kini terhidang di atas hotplate. Harum mentega dari saus entrecôte Café de Paris sebagai pelengkap tercium di hidungnya. Ia mengamati Hezkiel menggosok kedua tangan sebelum mengambil garpu dan pisau.

“Nggak ada larangan makanan buat kamu juga. So, enjoy the dish,” ujar Hezkiel.

Ia mulai makan. Mereka berbincang ringan di sela-sela makan, sampai Hezkiel kembali menanyakan tentang kemungkinan rencana yang akan ia jalani beberapa hari ke depan. Elaine menyedot jus dari gelasnya sebelum menjawab. “Aku setuju dengan tawaran psikiater dari dokter Kanya.”

Hezkiel menurunkan garpu, memandang Elaine. “Kamu udah cari tahu tentang nama Daniswara?”

Elaine menunduk. “Sekilas saja, tadi siang.”

“Ada yang kamu ingat?”

Ia menggeleng lemah. “Aku lihat foto ayahku di Wikipedia, ibuku—maksudku—istri keduanya, kemudian aku melihat tanggal kematianku sendiri.”

Hezkiel mengabaikan sisa makanan di piring, mata itu tertuju pada Elaine sepenuhnya. “Kamu mabuk dan setengah sadar waktu bawa mobil keluar Jakarta,” ujar pria itu.

“Mobil yang kukemudikan terbalik saat keluar jalur, tubuhku terbakar dan wajahku tidak dikenali,” lanjut Elaine.

“Ya,” balas Hezkiel. “Tidak ada penyelidikan lebih lanjut, proses pemakamannya pun cepat. Tempat kejadian dengan tempat aku menemukanmu jaraknya cukup jauh. Udah jelas ada rekayasa kematianmu.”

Tangannya melingkari badan gelas, mengenggam erat. “Menurutmu, apa penyebabnya?”

Hezkiel diam sejenak sebelum bahunya terangkat berat. “Aku nggak tahu. Satu-satunya cara, kamu harus ingat masa lalumu.” Pria itu mengulurkan tangan, sebagai isyarat agar ia meletakkan tangan di dalam genggaman Hezkiel. “Ini akan menjadi sesuatu yang berat, Ela. Mungkin beberapa bulan yang lalu kamu tahu kejadian sebenarnya di hari kecelakaan itu. Penyebab kenapa kamu mau melindungi siapa pun yang melakukannya, pasti itu alasan penting.”

Elaine tidak menyambut uluran tangan Hezkiel. Ia mundur bersandar di kursi, memegang sebelah pelipis. Kepalanya berdenyut sakit setiap kali ia berusaha mengingat. Ia tentu saja ingin tahu apa alasan Elaine melindungi seseorang yang berniat membunuhnya.

Melihatnya menyudahi makan, Hezkiel kembali berujar, “Do you want to go back?”

Ia mengangguk. Usai Hezkiel membayar, Elaine berjalan di samping pria itu menunggu lift. “Aku juga tidak ingat sejauh mana kedekatan kita, Hezkiel, tetapi terima kasih karena sudah membantu sejauh ini.”

Hezkiel menoleh. “Mungkin kalau ingatanmu balik, kamu juga masih lupa gimana kita kenalan,” ujar pria itu, meninggalkan senyum samar di bibir.

Elaine sedikit mengangkat wajah kala melihat Hezkiel. “Apa itu maksudnya?”

Mereka masuk ke dalam lift yang kosong, Hezkiel menekan tombol lantai paling dasar. “Ngomong-ngomong, rambutmu dulu sependek itu. Kamu potong di mana emangnya?”

Elaine memegang rambut dengan sebelah tangan. “Aku potong sendiri.”

Bibir Hezkiel membulat sembari mengangguk. “Oh, right. Aku lupa kalau kamu punya butik.”

“Butik?”

Pertanyaannya tidak dijawab Hezkiel karena pintu lift terbuka. Seorang pria dengan setelan jas rapi melangkah masuk ke dalam lift, membuat keduanya mundur ke belakang. Elaine sempat bersitatap dengan pria asing itu, ada sorot terkejut yang ia tangkap. Elaine tidak menduga pergelangan tangannya ditarik, sementara tubuhnya menabrak sisi dinding bagian lain. Sorot mata hitam kelam itu seakan menembus lapisan memori yang Elaine sendiri tidak yakin keberadaannya.

Napas pria itu mengandung asap rokok, suara beratnya berdesis di telinga Elaine. “Kenapa kamu masih hidup?”

Matanya melebar kaget. Debar di jantungnya kian cepat, ia tidak bisa menjawab karena penampilan pria di depannya membuat tubuh Elaine bereaksi. Kepalanya terasa pusing, sementara pandangannya mulai berputar. Wajah pria itu berubah kabur.

“Lo ada urusan apa sama pacar gue?” Suara Hezkiel menyela. “Kanya, let’s go.”

Elaine mendengar Hezkiel memanggilnya dengan nama Kanya bertepatan dengan pintu lift terbuka. Hezkiel menyambar tangan Elaine, menuntutnya meninggalkan pria yang masih berdiri diam di dalam lift.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Shelter: BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya