[NOVEL] Still Intact-BAB 2

 Penulis: Priska Natasha

Sweet Like Her Favorite Heartwarming Book

 

Lahir di sebuah keluarga yang memiliki adat istiadat yang berbeda cukup menyenangkan bagi Kei. Bapak asli Yogyakarta, tetapi beliau besar di Jakarta sejak remaja, sedangkan Bunda keturunan Tionghoa.

Ketika Kei dan Niu lulus SMP, keluarga mereka pindah dari Jakarta ke Semarang karena Bapak harus mengurus beberapa galeri milik pengusaha di sana. Namun, ketika si kembar kembali ke Jakarta untuk kuliah, Bapak dan Bunda tidak ikut karena sudah kerasan tinggal di Kota Lumpia, juga lebih dekat jika mereka harus mudik ke Yogyakarta.

Bagi Niu, memiliki keluarga dengan budaya campuran begini malah bikin pusing. Jadi ada banyak peraturan yang harus dia ikuti demi melangsungkan sebuah pernikahan. Terlebih, Henry-suaminya-datang dengan budaya yang berbeda lagi. Pria asal Kanada yang sudah menetap lima tahun di Indonesia itu ternyata juga ingin menikah dengan gaya internasional.

"Coba hitung deh, Kei, satu helai gaunku itu bisa buat beli berapa kuas," cerocos Niu setahun lalu, ketika mulai merencanakan pernikahannya. "Terus Bunda bilang, aku harus bikin kebaya, qipao, sama gaun putih buat dipakai dalam satu hari itu. Tiga baju, Kei! Harus dapat berapa proyek buat bayar semua itu?!"

Seandainya Kei yang berada di posisi saudari kembarnya, dia tak akan membuang-buang tenaga untuk mengomel. Sebab, jika Bunda sudah bertitah, artinya harus dilaksanakan. "Mantesi wong tuo," kilah Bunda.

Upacara pernikahan Niu dan Henry diwarnai dengan adat Jawa, dan setelahnya, beberapa kerabat berkesempatan untuk makan siang bersama keluarga pengantin. Begitu sore menjelang, acara dilanjutkan dengan seremoni minum teh atau biasa disebut tea pai. Tepat pukul tujuh malam, resepsi dimulai.

Niu dan Henry tidak mengundang terlalu banyak tamu, hanya keluarga dan teman-teman terdekat. Untuk melengkapi hari bahagia mereka, restoran hotel berbintang empat di Jakarta-tempat pesta pernikahan diselenggarakan-didekorasi cantik dengan banyak bunga bernuansa putih dan sentuhan merah muda, bahkan sampai ke taman belakang. Lagi-lagi titah Bunda, karena beliau adalah seorang dekorator.

"Niu, cantik banget, sih! Selamat, ya, Sayang. Henry, congrats, Dude! Semoga cepat dikasih momongan, ya. Wah, kalau dapat anak kembar, terus nanti anaknya Kei juga kembar, pasti lucu banget!" seru beberapa teman.

"Selamat, ya, Mas Damar dan Cik Dahlia. Kapan nih mantu yang kedua?" sapa rekan-rekan Bapak dan Bunda.

"Bulik tunggu undangannya, ya, Keisha. Eh, mana pacarmu, kok belum dikenalkan ke keluarga besar, toh, Nduk?" Kira-kira begitu bunyi kalimat yang mengakhiri setiap perbincangan antara Kei dan anggota keluarganya.

Mungkin, kalau insiden delapan belas tahun lalu itu tak terjadi, Kei tak perlu diimpit komentar-komentar jail. Mungkin, kalau dia tidak terlalu mudah terjebak masa lampau, Kei bakal punya kehidupan percintaan yang normal.

Seandainya saja anak lelaki berseragam putih-biru itu tidak menemukannya di tengah hujan pada suatu sore, Kei tidak akan menjadi budak cinta paling bodoh seperti sekarang. Masalahnya, untuk seseorang yang kurang suka perubahan sepertinya, kenangan itu terlalu manis sekaligus terlalu memalukan untuk dilupakan.

"Hei!"

Bahkan, di tengah suasana pesta seperti ini, suara itu bisa muncul kembali ke permukaan pikiran Kei. Suara berat yang terdengar samar, bercampur dengan gemuruh hujan. Gara-gara Niu tidak mengabari ada kerja kelompok dan akan pulang terlambat saat itu-pada suatu sore, sekitar delapan belas tahun lalu-waktu yang Kei habiskan untuk menunggunya jadi terbuang sia-sia dan hujan keburu turun.

Ketika itu, jarak rumahnya sudah tidak jauh saat dia mendengar suaranya lagi. Awalnya, Kei pikir dia harus cepat-cepat tiba sebelum isi tasnya basah semua, tetapi ....

"Oi, kamu!"

Jalanan itu sepi karena hujan turun semakin deras. Kei ingat dia sontak berusaha mempercepat langkahnya.

"Hei, tunggu!"

Jeritan Kei pun lolos ketika orang itu menarik ranselnya, "Jangan-!"

"Tunggu dulu-jangan lari! Heh, lihat rok kamu!"

Dengan napas terengah juga wajah basah kuyup akibat hujan, dia menoleh, lalu melihat seorang anak laki-laki mengenakan jaket bertudung putih.

"Apa?" tantang Kei, tetapi anak laki-laki itu malah melepas jaketnya. Tubuhnya tinggi dan kurus, usianya jelas lebih tua. Kemejanya putih, celananya biru-siswa SMP.

"Rok lo ... merah semua. Lihat deh."

Rok? Merah? Waktu itu Senin dan Kei yang masih duduk di kelas lima SD habis menjadi petugas upacara bendera, jadi dia mengenakan rok putih. Dengan bingung, Kei menanggalkan ranselnya agar bisa melihat lebih jelas ke tempat anak laki-laki itu menunjuk. Detik berikutnya, dia ternganga.

"Nih, pakai."

"Ta-tapi ... tapi nanti jaketnya jadi kotor."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Akan tetapi, anak laki-laki itu hanya menggeleng dan tetap menyodorkan jaketnya. Bahkan, dengan sabar, dia menawarkan diri untuk memegangi tas Kei agar Kei bisa mengikat jaket itu di sekeliling pinggang demi menutupi noda darahnya.

"Apa, ya, yang luka ...?"

"Hah?" Anak lelaki itu keheranan. "Lo bukannya ... bukannya-datang bulan?"

Kei melongo lagi, lalu segera menunduk dalam. Dia tahu kalau wajahnya telah berubah merah karena terasa panas walau dibasahi air hujan.

"Hei? Lo enggak apa-apa?"

"Maaf," jawab Kei.

"Buat apa?" tanya anak lelaki itu lagi. Kei masih menunduk dan tak merespons, sehingga lawan bicaranya sampai melongok di depan wajah. "Rumah lo di mana?"

Kei ingat kalau dia hanya sanggup bergumam, jadi anak laki-laki itu harus mendekatkan telinganya ke wajah Kei agar bisa mendengar dengan jelas.

"Oh, searah," katanya. "Ayo, gue antar. Jalannya agak cepat, ya, sebelum hujannya berubah jadi badai. Oi, ayo-siapa nama lo?"

"Na-keisha."

"Gue Dihan. Yuk, Kei, buruan."

Sambil mengembuskan napas panjang, Kei berusaha menyingkirkan kenangan itu dari kepalanya. That was eighteen years ago, yet ....

Ah, seandainya, keluhnya dalam hati. Seandainya memori itu tak terasa begitu manis dan begitu memalukan, dia tak akan berada di posisi menyebalkan seperti ini.

"Kei?"

Kei tersentak kaget begitu mendengar Dihan menyapanya. Entah berapa lama pikirannya larut ke delapan belas tahun silam, sampai-sampai tak menyadari bahwa Dihan telah kembali ke sisinya seusai mengawasi para penerima tamu.

"Sori, ya, lama. Sekalian tutup meja angpau," ujar Dihan. "Bimbi tuh, ya .... Padahal udah ada WO, masih juga sok repot. Enggak salah deh Niu minta gue untuk jadi asistennya Bimbi. Perlu, buat meredam keribetannya."

Kei hanya tertawa mendengar Dihan mengoceh soal tantenya, lantas meraih dua gelas air. Kemudian, dia mengajak pria itu berbincang untuk mengalihkan perhatiannya dari kenangan. Setelah berhasil membuat Kei terpukau dengan beskapnya siang tadi, sekarang Dihan mengenakan setelan jas abu-abu. Dasinya telah ditanggalkan. Kei tahu betul, Pak Dokter yang satu ini tidak pernah betah pakai dasi. "Kayaknya terlalu mengintimidasi anak-anak, Kei, kalau pakai dasi," dalihnya tiap Kei bertanya mengapa sehari-hari Dihan tidak berpakaian seformal dokter-dokter lain di rumah sakit.

Namun, yang paling Kei suka dari penampilan Dihan malam ini adalah kacamatanya. Sehari-hari, Dihan selalu memakai kacamata wayfarer berbingkai hitam. Lucunya, setiap pergi ke acara formal, Dihan bakal menukar wayfarer-nya dengan kacamata yang dia kenakan sekarang. Bingkainya tipis, bentuknya sedikit lebih bulat dan berwarna perunggu. Kacamata itu bagaikan perhiasan berharga bagi Dihan.

Itu adalah bingkai kacamata peninggalan almarhum ayahnya.

"Eh, mau ambil es krim, Kei?"

"Boleh. Yuk."

"Kamu duduk duluan aja," kata Dihan seraya mengedikkan kepala ke arah meja VIP. "Tuh, lihat, Simbah baru selesai makan. Temani beliau ngobrol lagi sana, biar aku yang ambil es krimnya. Beliau suka kopyor, kan?"

Dihan itu hanya seorang sahabat. Bukan kekasih, apalagi calon suami. Pria itu bahkan jarang bertemu dengan keluarga besar Kei. Namun, selain menghargai hal sederhana seperti kacamata peninggalan almarhum ayahnya, Dihan juga ingat hidangan penutup kesukaan Mbah Kakung.

He's that sweet-like her favorite heartwarming book.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: Still Intact-BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya