[NOVEL] Sweetheart of Nobody - BAB 4

Penulis : Malashantii

4. Have We Ever Met Before?

----

Selepas menyelesaikan hari terakhir syuting stripping-ku bersama FrameHits, aku sempat tertahan oleh acara perpisahan kecil-kecilan yang diadakan para kru. Mereka secara spontan mengadakan acara makan siang istimewa. Bahkan ada nasi tumpeng ukuran besar yang disediakan oleh... coba tebak? Oleh Nita!

Rasanya jadi agak geli sekaligus jengkel. Demi Tuhan, tumpeng di momen perpisahan semacam ini? Sepertinya Nita memang agak terlalu bahagia sampai-sampai merasa perlu merayakan cabutnya aku dari lokasi. Jadi aku nggak akan bisa lagi mengusik proses pendekatannya dengan Rofik. Oh, astaga. Kayak aku yang memang pernah mengganGgu mereka saja.

Tapi kalau kuperhatikan, hanya Nita yang kelewat semringah, kru lain justru terlihat agak sedih. Itu membuatku ikut merasa mellow juga. Bagaimanapun kami sudah bersama-sama untuk kurun waktu yang lama. Apalagi, semenjak episode pertama hingga di hari ini, formasi artis pendukung dan kru relatif nggak banyak berubah. Kami... sudah seperti keluarga.

"Baik-baik ya lo, Jul," kata Bang Hasbi. "Nggak main lagi sama kita-kita bukan berarti ibu-ibu galak itu udah lupa sama kelakuan lo di sini." Candanya.

Aku hanya bisa nyengir. Bang Hasbi merangkulku seperti abang yang akan melepas adik perempuannya yang akan pergi jauh.

Dih, lebay ya.

Tapi... aku akan merindukan mereka.

Setelah banyak candaan konyol berbau sedikit haru, aku segera pamit untuk mengejar pertemuan dengan manajemen Arcade.

"Konyol ya alasan lo tuh. Ya udahlah kalau lo nggak mau terima tawaran dari Arcade ini, fine. Gue sih nggak rugi apa-apa ya. Tapi kalau sekarang lo nggak mau dengar kata gue lantas suatu hari nanti lo kenapa-kenapa, jangan cari-cari gue lagi."

Aku sudah ngotot bilang nggak mau, tapi Leta jauh lebih kukuh dengan keinginannya. Sialnya, seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku nggak bisa lolos dari upaya pemaksaan kehendaknya.

Aku bisa saja sih sengaja nggak datang, menyebalkan banget memang Leta itu. Tapi itu nggak etis. Dan itu bukan caraku. Bagiku, untuk bisa eksis di dunia persinetronan ini selain bakat akting, salah satunya adalah harus punya attitude bagus. Kamu bisa saja bertahan karena gimmick, atau nepotisme dengan produser, atau cara-cara nggak bener lainnya. Untuk mendapatkan peran di satu dua produksi mungkin bisa tapi aku yakin yang seperti itu nggak bakalan bertahan lama. Sementara yang kubutuhkan adalah koneksi yang selalu berjalan baik dengan semua orang.

Lobi kantor Arcade yang terletak di lantai enam gedung TrustMedia sepi ketika aku tiba. Nggak terlihat ada aktivitas berarti yang heboh seperti yang biasa kujumpai di kantor FrameHits.

Kucoba menghubungi Leta, untuk menanyakan apakah dia sudah sampai di sini atau masih dalam perjalanan. Tadi dia mengatakan akan menemaniku mengikuti meeting ini. Tapi telepon dan pesanku nggak ada yang terjawab. Jadi kuputuskan bertanya saja kepada resepsionis lobi.

Oleh cewek cantik berwajah oriental itu aku diarahkan masuk ke sebuah ruangan. Ketika aku membuka pintu, ternyata di dalam sudah ada banyak orang. Aku tahu beberapa di antaranya. Tapi aku masih saja bingung dengan keadaan ini.

"Julie!"

Seseorang memanggil namaku. Ketika dia mendekat segera kuulurkan tangan kepadanya. "Mas Azwar, apa kabar?"

"Kabar baik. Baik. Kamu sendiri?"

Dia mulai menggiringku mendekati gerombolan yang tengah berdiri di sudut lain ruangan.

"Aku senang sekali sewaktu Leta akhirnya mengonfirmasikan kehadiranmu hari ini." Katanya. Aku hanya tersenyum.

Azwar Pane ini masih terbilang muda. Awal empat puluhan kalau nggak salah. Nggak terlalu ganteng, tapi charming. Dan kurasa dia punya semacam aura yang bisa bikin siapa pun lawan bicara seketika menaruh respek dan atensi penuh. Setahuku, sebelum mendirikan Arcade dia pernah bergabung dengan beberapa PH besar.

Barangkali setelah merasa modal yang dimilikinya cukup, dia memutuskan mendirikan PH sendiri. Arcade sebelumnya lebih fokus memproduksi film yang diadaptasi dari buku-buku laris. Meski begitu, kualitas film yang mereka produksi diakui bagus oleh banyak pihak. Beberapa bahkan langganan menerima penghargaan atau masuk jajaran film terlaris.

"Leta nggak ikut datang ke sini?" tanyanya lagi.

"Ah, Leta masih ada acara lain yang harus dihadiri." Jawabku.

"Hm, manajer dan artisnya sama-sama sibuk ya?" canda Mas Azwar.

"Omong-omong, aku senang sekali karena akhirnya kamu memutuskan ikut bergabung dengan produksi kami."

Duh, aku kan nggak benar-benar berniat untuk ikut.

"Apa kamu sudah membaca resume dan naskah yang kita kirim lewat Leta?" tanya Mas Azwar lagi.

Aku menggeleng, dan meringis tak enak hati. "Hari ini aku baru saja menyelesaikan syuting terakhirku dengan FrameHits, Mas Azwar."

Lelaki itu mengangguk maklum. "Oh, iya. Aku baru ingat. Leta kemarin bilang bahwa kamu masih harus menyelesaikan syuting terakhirmu. It's ok. Kita baru akan memulai proses produksi pertengahan bulan depan. Jadi kurasa masih ada cukup waktu untuk reading dan pendalaman karakter. Ya kan?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

Mas Azwar kemudian membawaku menemui Yoris Radena, sutradara film yang seingatku sudah beberapa kali memenangkan penghargaan sebagai sutradara terbaik.

Wow, hebat. Sutradara sekaliber Yoris mau ikut bergabung? Arcade ini sepertinya memang bukan PH kaleng-kaleng.

Mungkin ide Leta untuk ikut bermain dalam drama ini nggak buruk-buruk amat. Hanya saja...

Mas Azwar secara maraton mulai memperkenalkan aku pada semua orang yang ada di sana. Kebanyakan kru yang akan bergabung dalam produksi drama ini. Penulis naskah. Kameraman. Editor. Make up artist. Dan, tentu saja kepada aktris yang akan jadi bintang utama serial ini. Amelie Ingerhamn yang nge-hits dan baru saja menerima penghargaan sebagai aktris pendatang baru terbaik lewat film remaja yang dia bintangi akhir tahun lalu.

"Wah, Navara Juliette yang selalu jadi trending topic di sinetron-sinetron dengan rating tertinggi." Sapanya antusias sambil memeluk dan mencium pipiku. Kubalas melontarkan pujian untuk prestasi yang sudah dia raih.

Ini adalah pertemuan pertama kami. Beberapa kali aku sempat melihatnya di media, tapi melihat langsung orangnya ternyata berbeda. Amelie aslinya jauh lebih cantik daripada yang kulihat di foto atau kamera berita gosip. Dan orangnya ramah banget.

Sementara itu, sesekali aku juga masih berusaha menghubungi Leta. Dan baru tersambung sekitar dua puluh menit kemudian.

"Gue masih ketahan sama acara di kantornya Libby, Nyet. Lo bisa handle sendiri kan? Gue udah ngobrol banyak sama Mas Azwar. Poin-poin pentingnya sudah kita bahas. Lo tinggal terima beres aja dah."

Itu saja yang dia katakan. Dan telepon langsung ditutup setelahnya.

Duh, kebiasaan memang Leta ini. Suka bertindak seenaknya sendiri.

"Mas, ini acaranya masih belum dimulai ya?" tanyaku kepada Mas Azwar yang tengah ngobrol bersama Bernadeta si make up artist.

Mas Azwar menoleh kepadaku dan seketika melirik pintu yang tertutup. "Kita tunggu satu orang lagi ya?"

Kami pun melanjutkan ngobrol-ngobrol lagi. Pusat pembicaraan tentu saja ada di sosok calon pemeran utama. Aku sesekali saja nimbrung dan menimpali kalau memang ditanya. Selebihnya, suasananya lumayan asyik. Mas Yoris sesekali menceritakan tentang pengalamannya dalam produksi film yang menurutnya cukup berbeda dengan proses produksi serial.

Di tengah kami sedang asik membahas kontroversi penerima penghargaan film terbaik tahun ini, pintu ruangan terbuka. Dan seseorang masuk dari sana.

"Sorry, aku terlambat."

Sontak semua kepala di ruangan menoleh ke pintu. Seorang cowok masuk dari sana, bergegas mendekat.

Oh, no.
Julian Rashad.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Cowok itu tersenyum lebar dan menyapa semua orang yang ada di dalam ruangan dengan ceria. Pada Amelie, gesturnya terasa lebih hangat dan akrab. Sementara seisi ruangan berubah antusias menyambut kehadirannya, aku justru mengerut dan berusaha menyamarkan diri supaya nggak terlihat olehnya.

Tapi, sesekali kucuri pandang ke senyum lebar yang menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Dan, oh, jantungku. Terakhir kali general check up, sepertinya kondisinya sehat. Kenapa debarnya mendadak jadi nggak beraturan begini ya?

"Halo? Juliette?"

Mati aku.

Julian masih tersenyum lebar ketika akhirnya menyapaku.

"Panggil saja Julie." Kubalas senyumnya dengan kikuk. Apalagi, tahu-tahu dia mengernyitkan kening ketika mengamatiku. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

Tuhan, jangan sekarang deh.
Beneran... please...

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya bingung.

Kupaksakan tawa sebelum menjawab. "Kayaknya sih belum. Seingatku kita belum pernah terlibat dalam satu frame."

Julian masih terlihat berpikir keras. "Kenapa wajahmu terasa familier ya?"

"Mungkin wajahku memang pasaran," aku tertawa lagi. "Kamu tahu kan, jenis wajah yang mirip dengan banyak wajah orang lain."

"Begitu ya?" gumamnya.

Please, jangan bertanya macam-macam.

Syukurlah, Tuhan mau mendengar doaku. Mas Azwar memanggilnya untuk segera memulai acara. Dan kami segera menempati kursi-kursi yang melingkari meja oval panjang di ruangan ini.

Hampir semua orang terlihat antusias dan bersemangat, aku justru merasa loyo. Nggak seharusnya aku ada di sini. Dan bertemu dia. Masih bagus kelihatannya dia nggak mengingatku. Karena aku pun benar-benar nggak ingin lagi mengingat kejadian memalukan itu.

Sembari mendengarkan pemaparan Mas Azwar yang bicara bergantian dengan Mas Yoris, kubuka akun Instagram anonimku. Dan mengecek ke sana sini. Ketika sedang membuka akun Leta, Instasory-nya memperlihatkan dia sedang ngobrol-ngobrol dan tertawa-tawa dengan banyak orang di sebuah ruangan... karaoke?

Duh, si monyet berbohong juga nih.
Benar-benar akan kucekik lehernya nanti kalau kami bertemu.

"Julie... nanti surat kontrak dan segala teknisnya biar diurus Leta saja ya?"

Seketika aku mengangkat kepala dengan bingung. Sepertinya tanpa kusadari pertemuan sudah diakhiri. Beginilah kalau sudah keasikan stalking. Mereka tadi membicarakan apa saja ya?

Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepada Mas Azwar. Dia mulai kembali ngobrol dengan orang-orang. Dan kulihat, Amelie beranjak, memberi isyarat pada asistennya dan berpamitan kepada semua orang. Masih ada acara yang yang harus dia hadiri dia bilang.

Sementara aku sedang berencana berpamitan untuk segera pulang, Julian tiba-tiba kembali mendekatiku.

"Apa kamu yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya?"

"Seingatku memang belum pernah." Jawabku, masih dengan dusta yang sama.

"Aku benar-benar penasaran. Bukan karena wajahmu yang kamu bilang pasaran itu. Kurasa, kita memang pernah benar-benar bertemu sebelumnya."

"Kenapa kamu bisa seyakin itu?" tanyaku kecut. Juga was-was.

"Nggak tahu juga, tapi aku yakin sekali."

"Haha. Bisa saja kan perasaanmu itu salah." Elakku.

Julian tak menjawab. Masih saja terlihat sibuk berpikir.

"Omong-omong, aku senang kamu ikut bergabung dengan produksi drama ini."

"Oh ya?" tanyaku terkejut. "Kenapa?"

"Menurut Mas Yoris dan Mas Azwar, kamu aktris yang sangat bagus. Well... aku sendiri belum pernah nonton serial yang kamu bintangi. Tapi, kurasa penilaian mereka pasti beralasan." Dia kembali tersenyum.

Duh.
Jangan sering-sering senyum kepadaku gitu, Bang....

"Kamu berangkat dari agensi mana?" tanyanya. Membuatku agak resah. Nggak ada tanda-tanda dia akan mengakhiri percakapan kami. Malah menanyakan hal-hal semacam ini.

"Aku... nggak bergabung dengan agensi mana pun. Aku punya Leta yang jadi manajerku."

"Oh. Aku sering mendengar tentang dia. Tapi... bagaimana kamu dulu memulai debut pertamamu?"

"Kok kamu jadi kepo?" elakku.

Julian kembali tertawa.
Tawanya merdu dan enak sekali terdengar di kupingku.

"Aku suka berteman dengan orang-orang yang akan sama-sama bekerja denganku. Ayolah, nggak ada salahnya bukan kita ngobrol sedikit. Jadi kita nanti sudah nggak terlalu kaku lagi kalau nanti sudah ada di lokasi."

Mendadak aku jadi gugup ketika diingatkan dengan fakta ini. Apalagi, aku sama sekali belum memeriksa naskah dan karakter macam apa yang akan kumainkan di sini.

"Iya juga sih." Balasku ragu.

"Jadi, kamu dulu memulai debut dari mana? Dari kontes? Pencarian bakat, atau... "

"Seorang pencari bakat yang menemukan aku di pinggir jalan. Sisanya, seperti yang kamu lihat sekarang." Balasku asal. Membuat Julian kembali tertawa.

Tawa renyah dan terasa akrab yang seperti mengendurkan kewaspadaanku. Dan tawa semacam itu menular. Sialnya, hal itu membuat Julian jadi mengamatiku lagi. Setelahnya, dia kembali terlihat berpikir keras.

"Julie, sepertinya aku ingat sesuatu." Gumamnya.

"Aku yakin, kita memang sudah pernah bertemu sebelumnya."

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook : Storial
Instagram : storialco
Twitter : StorialCo
Youtube : Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Sweetheart of Nobody - BAB 3

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya