[NOVEL] Transisi Dua Sisi: BAB 2

Penulis: Aldo Manalu

Jejak Kejahatan Santoso (1)

 

Tidak banyak yang mengunjungi pub Nirwana hari ini. Banyak meja dan kursi kosong yang biasanya penuh jika menjelang malam minggu. Pub Nirwana juga menyediakan live music yang bisa dimainkan oleh pengunjung yang ingin bernyanyi diiringi dengan instrumen. Namun alat musik itu kini teronggok di atas panggung mini karena tidak ada pengunjung yang mau bernyanyi.

Santoso meneguk tuak yang ada di gelasnya pelan-pelan seraya menikmati suasana pub yang menurutnya cocok untuk merenung. Sambil merenung, ia menyempatkan diri berpikir. Malam ini dia belum menemukan target yang cocok untuk dijadikan alat untuk menyenangkan dirinya.

Tadi sih ada yang kelihatannya cocok tapi dia terlalu kurus ...

Tapi sepertinya, aku pernah melihat dia nongkrong di sini deh tapi kapan, ya?

Belum terpecahkan pertanyaan yang terbesit di pikirannya, Santoso menghentikan pelayan laki-laki yang kebetulan melintas di depannya.

"Bang tambahkan segelas lagi," suruh Santoso seraya sang pelayan berpaling ke dapur mengambil teko berisi tuak.

Usai kembali dari dapur sang pelayan sudah ada di hadapan Santoso lalu menuangkan tuak ke dalam gelas lelaki itu. "Bang ngomong-ngomong pernah lihat enggak ada orang yang kira-kira setingginya saya, warna kulitnya cokelat kayak kulit saya inilah. Pernah lihat enggak?"

"Hmm, enggak pernah Bang. Lagipula manalah mungkin kami memperhatikan semua orang yang lalu lalang datang ke sini," jawab lugas sang pelayan.

"Oh, begitu ya, Bang. Ya sudahlah." Sang pelayan kembali lagi ke dapur mengantarkan teko itu ke sana.

Santoso menyeruput tuak yang baru saja dituangkan ke gelasnya hingga tersisa setengah. Enggak mungkin aku salah orang tapi kalau aku bertemu dengannya apakah dia masih ingat dengan diriku. Aku pun sudah lama berpisah dengannya ...

***

Roda mobil Kijang Innova bergulir cepat membelah jalan raya yang lengang. Arloji yang melekat di tangan kanan menunjukkan pukul sebelas malam. Meskipun jalan di sekitar jantung kota begitu ramai tapi lalu lalang manusia mulai berkurang jumlahnya. Selepas minum di pub, Santoso mengelilingi kota, mencari sesuatu yang bisa melepas kepenatan sekaligus mencari target baru.

Ribuan wanita berpenampilan sensual dengan model pakaian yang menggoda nafsu birahi, hilir mudik memadati jalur trotoar. Namun tatapan Santoso tertuju pada seorang anak lelaki dekil tertidur di depan emperan toko butik. Empati Santoso tergerak melihat kondisi sang anak yang tidak layak. Kaus oblong merah yang melekat di badan tak lagi cerah. Berbagai debu dan kotoran melekat, menguar aroma yang tak sedap. Ia yakin, anak itu juga pasti mual mencium aroma badannya sendiri. Santoso mematikan mesin mobil, membuka pintu kemudian menghampiri anak itu.

"Nak, ayo ikut sama Om," ajak Santoso.

"Mau ke mana, Om? Saya tidak punya orangtua dan sanak saudara. Saya hidup sebatang kara," ucap anak itu, lirih.

"Kamu ikut ke rumah Om saja. Nanti di rumah Om, kamu mandi dan ganti bajumu."

"Om serius, 'kan?" tanya anak itu agak ragu.

Santoso mengangguk sekali, menjawab pertanyaan anak itu. Setelah mendapatkan restu dari anak itu, Santoso menggandeng tangan sang anak menuju mobil.

Santoso menyetir dengan kecepatan minimun sehingga mobil melaju agak pelan. Ia ingin menghabiskan waktu, berbicara mengenai siapa nama dan asal-usul anak itu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Jadi, kamu memang benar-benar anak yatim piatu?" tanya Santoso sambil melirik sekilas.

Anak lelaki itu memilih diam sebentar, menata kata-kata yang pantas untuk dijadikan jawaban.

"Sebenarnya tidak, Om," jawabnya pelan.

"Maksud kamu?" tanya Santoso balik.

"Saya tinggal bersama ibu saya. Ayah saya meninggal dunia karena kecelakaan. Tiga bulan setelah ayah meninggal, ibu saya menikah lagi dengan seorang pedagang kelontong. Ketika hari pernikahan mereka lewat empat hari, saya terkejut, ibu kandung dan ayah tiri saya meninggalkan saya tanpa ada pesan apapun... Pokoknya saya benci sama mereka!" ungkap anak lelaki itu geram. Tatap mata tajam dan membara. Dendam kesumat telah membakar hati hingga menjadi arang kebencian.

Namun, Santoso mengulas senyum licik yang menghilang dalam sekejap. Air muka Santoso berganti murung ketika anak lelaki itu memandang wajahnya. Mencari jawaban atas semua cerita masa lalu yang diutarakan anak itu.

"Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nak?"

"Rizal, Om. Kalau Om sendiri?"

"Santoso," jawab lelaki muda itu singkat sembari fokus pada setir.

Tidak ada respons yang diberikan Santoso tentang cerita masa lalu Rizal. Ia menyesal mengapa ia begitu mudah bercerita kepada orang asing yang baru dikenal.

Perjalanan mereka cukup jauh melewati jantung kota Pematangsiantar. Mereka melewati sebuah hutan karet yang memiliki luas lebih dari enam hektar. Santoso memperlambat laju mobil, memasuki kawasan hutan. Rizal heran apa yang akan dilakukan Santoso di sana.

"Apa yang kita lakukan di sini, Om?"

"Om mau buang air kecil dulu, kamu nggak ikut?"

"Sebentar lagi setelah Om selesai."

Mendengar jawaban dari Rizal, Santoso menekan kenop pintu samping. Begitu sudah menginjak permukaan tanah, ia menutupnya kembali. Santoso berjalan dalam hamparan jati diselimuti kegelapan nan mencekam.

Rizal sudah menunggu lima menit lebih dalam mobil. Ia tampak gelisah. Santoso belum kembali ke mobil. Ia takut hal buruk terjadi pada Santoso. Rizal memilih turun dari mobil, mencari keberadaan Santoso meskipun ia rada takut melihat kondisi hutan kelam dan terkesan angker.

Rizal terus memperhatikan langkah kaki dan jalan yang berada di hadapannya. Bola mata mengedar cepat dan liar. Seolah tak ingin lengah jika ada sesuatu hendak mengincar dari arah mana pun. Ia berhenti sejenak. Selain gelap, hutan jati ini lumayan sunyi. Rizal harus mengusap tengkuk, menurunkan bulu kuduk yang tegak meremang.

Ketika ia ingin melangkah lagi, daun telinga menangkap suara kaki menginjak dedaunan karet yang telah mengering. Rizal memalingkan kepala ke kanan. Ia betul-betul yakin kalau suara dedaunan yang diinjak itu berasal dari sana. Ia yakin ada sesuatu bersembunyi di balik batang pohon jati. Selangkah demi selangkah, Rizal sudah berada di hadapan pohon itu. Ia tinggal memajukan kepala lalu mengetahui apa atau siapa yang berusaha ingin menakutinya.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Transisi Dua Sisi: BAB 1

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya