[NOVEL] Transisi Dua Sisi: PROLOG

Penulis: Aldo Manalu

17 tahun lalu...

 

Bulir air mata tak henti membasahi wajahnya. Sang ibu terus saja mengambil air dari dalam bak mandi. Ratusan tetesan air berserakan kemudian menyusup ke dalam pori-pori kulit. Menyuntikkan sengatan dingin menggerogoti tulang. Kurang puas melihat penderitaan anaknya, sang ibu lantas mengambil lagi dua gayung air lalu ditumpahkan di atas kepalanya.

"Rasakan kamu, anak bandel! Sudah Ibu bilang jangan main lewat jam magrib! Kamu enggak takut apa diculik setan? Kamu enggak takut?!" Maki ibunya seraya menjewer kuat telinganya.

Ia dapat merasakan panas dan pedih di telinga kiri. Sang ibu memberikan hukuman dua kali lipat atas sikapnya. Dia terus memeluk kedua kakinya yang ditekuk menyentuh dada. Suhu air yang begitu dingin, tidak bisa lagi ditoleransi tubuhnya. Kedua belahan bibirnya ikut merasakan dingin air dari dalam bak mandi.

"Sekarang kamu ganti baju dan tunggu hukuman dari bapakmu, ngerti?!" Sang ibu menarik tubuh anak lelaki itu sambil memaksanya berjalan ke kamar mengganti baju.

Air matanya tak henti menetes. Kedua kaki gemetar. Ia merasa sendi-sendi kaki tidak mampu menahan getaran tubuh begitu intens. Dia memutuskan berjalan sambil kedua tangannya menyilang mendekap pundaknya yang ikut bergetar.

Ia tiba di depan kamarnya sendiri, mendorong pintu yang sedikit macet dengan dadanya. Badannya terkulai lemah di atas lantai semen. Ia merasa tak ada tenaga tersisa sekadar untuk mengangkat badannya. Namun karena ia tidak ingin menambah penderitaannya sendiri, anak itu pelan-pelan mengumpulkan sedikit tenaga untuk menenggakkan kaki dan badannya menuju kasurnya yang apek. 

Di atas kasur apeknya, anak itu merebahkan badannya yang masih terbalut pakaian basah. Ia menatap kosong asbek lapuk yang berada tepat di atas wajahnya. Tanpa sadar, air mata sang anak meluncur deras bersamaan tangisan pilu yang tertahan dalam mulutnya. Ia ingin sekali meninggalkan dunia fana yang selalu memberinya rasa sakit dan penderitaan yang membekas di tubuh dan pikirannya. Tidakkah kau lihat luka memar di wajah, tangan dan kakinya? Kau tidak melihatnya? Kalau begitu mendekatlah. Maka, bekasnya akan begitu nyata di matamu.

Di tengah lamunan putus asa, dia mendengar suara lirih memanggil dirinya.

"Hei, hei! Jangan putus asa begitu, Teman. Coba lihat apa yang ada di dalam lacimu," ucap suara itu lirih.

Dia menuruti apa yang diperintahkan suara itu. Dia bangkit dari kasur menuju laci yang berada di dalam lemari pakaian. Sang anak menoleh lagi ke arahnya. Ia merapatkan genggaman tangan seolah-olah dia memegang pisau. Ia mengayunkan tangan, mengarahkan ke bagian perut, lalu telunjuknya mengacung ke arah ruang tamu. Aha! Sang anak mengerti. Ia menyuruhnya membunuh kedua orangtuanya. Ide bagus untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini dia alami. Namun dia masih harus bertarung dengan hati nurani. Hati nuraninya berkata untuk tidak melakukan tindakan itu.

"Kalau kau masih ragu, biar aku sendiri yang akan melakukannya," tukas suara itu. 'Suara itu' menyelipkan pisau di punggungnya. Berlari kencang begitu mendengar jeritan ayah memanggil nama si anak lelaki. Dia hanya bisa mengikuti dari belakang.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

'Suara itu' sudah berada di hadapan orangtua si anak lelaki. Dia menantang kedua orang tua sang anak dengan memelototi mereka.

"Oh kamu mulai berani menantang Ayah ya? Nih, rasakan!" bentak sang ayah sambil melayangkan tangan kanan ke arah pipi. Anehnya, dia sama sekali tak merespons tamparan keras yang mendarat di wajah. Yang ada, 'suara itu' malah semakin berani melebarkan kelopak mata.

"Kelihatannya kamu menikmatinya, ya, anak sialan? Ini Ayah tambahkan lagi!" Si ayah melayangkan tangan kiri ke arah pipinya. Namun dalam sekejap 'suara itu' menangkap pergelangan tangan ayah, mengiriskan pisau ke urat nadi. Sang Ayah terperanjat ketika lelehan darah sudah memancar di permukaan lantai.

"ARGH ANAK SETAN!" kutuk Ayah. Suara itu tak memperdulikan sumpah serapah yang keluar dari mulut ayah anak lelaki itu. Si Ayah jatuh berlutut sambil memegang pergelangan tangan. Melihat kesempatan itu, dia langsung menusukkan pisau ke leher. Lantas, darah kental membasahi baju yang dikenakan. Tubuh ayah terbujur tak bernyawa di atas lantai semen.

Melihat ayah yang tewas di tangannya, sang ibu mundur beberapa langkah. Sang ibu tak sanggup menghentikan kegilaannya begitu juga si anak lelaki yang sedari tadi hanya menonton dengan roman ngeri. 'Suara itu' melihat wajah ibu pucat pasi ditambah menggigil tak karuan. Air mata pelan-pelan meluruh dari pelupuk mata.

"Jangan, jangan! Tolong, biarkan saya hidup." Ibu memohon dengan suara memelas. 'Suara itu' tak mempedulikan apa yang dikatakan si ibu. Tak disangka, dia menancapkan pisau di perut ibu sambil memutar kuat. Bola mata sang ibu serasa dicopot keluar. Rasa pedih yang dialaminya bisa jadi jauh lebih mengerikan dibanding penderitaan yang pernah dilakukannya pada si anak lelaki.

Kini ia bisa merasakannya. Belum puas melihat derita ibu si anak lelaki, 'suara itu' mencabut pisau lalu mengarahkannya tepat di daerah kemaluan. Ya, dia berhasil merebut nyawa ibu si anak lelaki secara brutal. Bukannya bersedih, si anak lelaki itu malah puas. Puas sekali. Beban hidupnya berkurang dratis. Ia merasa kelegaan luar biasa. Itu berkat 'suara itu'. Dia melakukan apa yang paling diinginkan si anak namun tak pernah bisa dia lakukan.

Dia menoleh ke arah si anak lelaki sambil melemparkan seringai jahat. Dia tersentak hebat ketika melihat keadaan dirinya sendiri.

"A-a-apaan ini?! Ti-ti-tidak mungkin! Aku tidak mungkin-" Suaranya terputus. Tubuhnya ambruk tak jauh dari mayat mereka.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Penyap-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya