[NOVEL] Until We Meet Again-BAB 1

Penulis: Flara Deviana

OLLA MENGAMATI ratusan komentar yang ditinggalkan pembaca di bab terbaru novel online-nya. Gelenyar tidak nyaman merambat naik dari perut ke dada, membuatnya tanpa sadar menggenggam iPad erat-erat.

"Please deh, Kak. Hidup di dunia nyata udah berat. Kenapa fiksi aja harus dibuat ribet begini?"

"Gue ke sini mau cari hiburan, bukan tambah sakit begini."

"Ini cerita apaan, sih? Ribet, kayak sinetron muter-muter, pusing gue bacanya. Tekniknya bagus, tapi alurnya kayak ciptaan alien."

Sudah dua tahun komentar-komentar macam ini menemani Olla di novel online maupun buku cetak, tetapi dia belum juga terbiasa. Dadanya tetap bereaksi seperti habis dihantam.

Olla mengertakkan gigi, memaksa diri sendiri berhenti membaca komentar. Namun seseorang dalam dirinya tidak terima, tetap menaikturunkan layar iPad-berharap menemukan satu atau dua komentar yang mendukung tulisannya.

"Woi! Lagi baca apaan nih, Sis? Seru banget!"

Saking seriusnya mencari, Olla tidak mau mengangkat pandangan. Mengabaikan pertanyaan dalam dirinya; kenapa suara yang sangat dia kenal itu bisa muncul, padahal mereka tidak ada janji ketemu. Sampai iPadnya melayang pergi dari genggaman, Olla baru mendongak.

Heidi Massei, editornya, bergeser dari sisi kanan lalu menarik kursi dan duduk di depan Olla. Terlihat serius menaikturunkan layar, dengan kening mengerut.

"Seru?" tanya Olla, setelah Heidi mengembalikan iPad kepadanya.

Heidi mengangguk sambil mencebik, lalu memainkan collar hitam berbentuk pita di bagian tengah. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat, dan dia merasa Heidi gelisah sekaligus tegang. Seolah-olah ada yang ingin disampaikan Heidi, tetapi terasa sulit usai membaca komentar-komentar tadi.

"Kayaknya, nggak ada omongan kita mau ketemu," ucap Olla, seraya memasukkan iPad ke tasnya.

"Gue udah hubungin lo dari kemarin sore, telepon, WhatsApp," jawab Heidi lambat-lambat. "Makanya, kalau punya handphone itu dinyalain, Olla. Heran. Ada ya manusia kayak lo di zaman kayak gini. Udah tahu apa-apa bergantung sama handphone, tapi lo musuhin tuh barang kayak virus," lanjut Heidi dengan gusar. "Jangan tanya, kenapa gue bisa menemukan lo di sini. Olla ... Olla .... Main lo kurang jauh. Di situ-situ aja. Gandaria lagi, Gandaria lagi. Udah gitu tempat nongkrongnya satu, Starbucks."

Olla mendesah. "Atau, lo pasang alat pelacak di gue?"

"Situ penting banget?"

"Kayaknya sih, gitu." Olla melepaskan kacamata, menegakkan punggung sambil merapikan blanket scarf sampai menutupi seluruh kaus abunya. "Tiga tahun terakhir, lo selalu mengeluh gue menyebalkan, tapi lo nggak pernah pergi. Lo merasa gue aneh, tapi selalu peduli sama gue. Kontradiktif banget. Di, gue masih normal, loh."

Heidi memiringkan kepala dengan kening mengerut. "Gue nggak paham."

"Iya. Gue patah hati sejak Dhika meninggal, tapi gue masih normal."

"Anjir!" Suara Heidi meninggi. Entah bentuk spontanitas atau hanya melepaskan kekesalan, Heidi menendang tulang kering Olla. Dia cukup tergoda untuk membalas, tetapi membiarkan Heidi mempermalukan diri di tengah keramaian Starbucks lebih menyenangkan. "Gue juga normal, Fayolla! Masih doyan terong atau pisang!"

Beberapa orang langsung menoleh ke arah mereka, membuat Heidi menundukkan kepala dan memajukan duduk sampai dada perempuan itu menyentuh tepian meja.

"Nggak ada yang konstan di dunia ini, termasuk manusia." Olla mengangkat kedua bahu tak acuh.

"Apa yang gue lakuin ke lo, karena gue care sebagai teman. Lo itu sahabat gue, Olla. Bukan sekadar penulis yang gue urus naskahnya."

Seharusnya, Olla meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada Heidi. Sejak debut sebagai novelis, Heidi selalu menemani, membimbing, bahkan mengomeli dia untuk hal-hal yang berpeluang besar merugikan dirinya. Obrolan mereka bukan lagi hanya; kapan mau kasih naskah baru? Kapan deadline beres? Kira-kira kita mau buat timeline promosi apa, ya? Obrolan mereka sudah berjalan jauh dari ranah itu, meski tidak benar-benar meninggalkan.

Bahkan, Heidi ada di titik terendah hidupnya. Heidi rela mengambil jatah cuti tahunan yang biasa disimpan utuk libur Natal dan akhir tahun lalu menginap di rumahnya, dengan sabar menemani Olla melewati kehilangan terparah kedua setelah kematian mendadak Papa. Tempat yang seharusnya diisi Mama, sekali lagi diisi orang lain.

Tidak peduli dari hari ke hari Olla makin sulit mengekspresikan hal-hal emosional, Heidi makin royal menyodorkan hal-hal itu kepadanya. Sering kali pikiran tentang; bagaimana kalau Heidi mendadak harus pergi, muncul di benak Olla, membuatnya semakin giat menebalkan tembok pelindung agar keterikatan emosinalnya dengan Heidi tidak makin kuat. Kalimat-kalimat judes, sikap tidak acuh, banyak hal sudah diberikan Olla sebagai balasan kepada Heidi. Namun, Heidi tetap berdiri di sampingnya.

"Jangan pasang ekspresi itu lagi!" Heidi mengangkat satu alis. "Care-nya gue ke lo bukan racun, pisau, atau apa pun yang bisa buat lo mati di tempat." Satu tangan Heidi terangkat di depan wajah Olla. "Setop, gue lagi nggak minat debat soal ini! Ada hal yang lebih penting. Gue mau bahas soal naskah yang lo kirim seminggu lalu."

"Oke."

"Sorry to say, tapi gue nggak bisa bantu lo nerbitin naskah yang ini."

"What?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ini industri, Olla. Lo nggak mementingkan penjualan, tapi tempat gue kerja memikirkan itu. Banyak hal udah kami lakukan, promo, giveaway. Tapi, nggak ada perkembangan bagus di empat naskah terakhir lo."

"Di, gue-"

"Penjualan naskah-naskah dark lo ini berantakan. Review di Goodreads-." Heidi berhenti sejenak, dan Olla paham kalau dia berani menengok Goodreads sama saja menyerahkan diri kepada algojo. Tidak seperti dia yang berhenti berkunjung ke website itu, Heidi masih aktif memantau apa-apa yang dituliskan orang-orang. "Ada yang beli karena memang lo udah punya nama. Sementara, judul-judul lama lo laku banget. Bahkan, ada empat dari enam judul mau cetak ulang dan ganti cover. Dari sini lo paham, kan? Pembaca lo masih ada, Olla. Bisa nggak berhenti egois?"

Di antara suara tawa di balik punggungnya dan dentingan cangkir di sebelah kanannya, dia merasakan keheningan mencekam yang aneh.

Egois? Dia? Tidak. Katanya menulis itu harus dari hati, dia sudah melakukannya. Kenapa Heidi menuduh dia egois?

"Seperti biasa, lo menganggap nggak ada yang berubah di diri lo. Tapi, La ... Lo udah berubah sedrastis itu. Bahkan, dalam mimpi lo di dunia menulis ini, nggak ada lagi cinta, hanya pelampiasan rasa frustrasi  lo aja. Dari awal lo memaksa come back dengan naskah model itu, gue udah memperingatkan. Gue udah minta lo nunggu. Gue juga mau nunggu, sampai lo menemukan lagi diri lo di nulis. Jangan melotot! Gue nggak bahas teknik, tapi isi."

Olla memutar bola matanya. "Mereka aja yang nggak siap sama perubahaan gue."

"Oh ya, pasti! Pasti pembaca nggak bakal siap sama perubahan lo. Gue aja belum siap. Nggak ada yang siap dengan perubahan drastis itu. Biasa baca naskah-naskah yang menggambarkan realitas hidup, lucu dan indahnya cinta, saling bantu antara sahabat atau keluarga, jatuh tapi mau bangun lagi, sakit tapi berusaha sembuh. Terus, mereka mendadak harus baca naskah yang isinya mengarah ke depresi, putus asa, sakit luar biasa."

Kedua tangan Olla sudah terkepal di atas meja.

"Waktu gue minta lo nulis setelah setahun mengurung diri terus, gue sangat berharap lo sembuh seperti beberapa tahun sebelumnya."

Heidi berusaha meraih kepalan tangannya, tetapi Olla menjatuhkan kedua tangan ke pahanya dengan cepat.

"Nulis pernah menyelamatkan lo dari kehancuran setelah Bokap mendadak pergi karena jantung dan nyokap milih buat hidup berpindah-pindah di luar negeri, kenapa kali ini lo nggak begitu, La?"

Olla memilih memalingkan wajah keluar jendela kaca daripada merepotkan diri memberikan jawaban yang belum tentu mau dimengerti Heidi. Tentang desakan emosi menyakitkan yang sedemikian rupa, tetapi tidak bisa dia keluarkan. Dia tidak bisa menangis dan satu-satunya yang bisa Olla lakukan adalah menumpahkan rasa itu ke tulisan.

"Olla ...."

"Lo ke sini cuma mau bahas naskah?"

Ketika pandangan mereka Kembali bertemu, Heidi menaikkan satu alis dengan ekspresi jengkel. "Enggak lah. Gue punya janji nonton sama temen-temen gue."

"Teman-teman?"

"Oh, wow. Kenapa muka lo kayak gitu? Kayak gue melakukan hal paling aneh sedunia. Gue nggak bisa kayak lo, Olla. Semua sendirian. Makan. Nonton. Jalan-jalan."

"Terus, ini?"

Heidi mengernyit. "Gue udah menyampaikan yang harus disampaikan. Sisanya terserah lo. Lagi pula, lo kan selalu ngeluh migren kalau gue lama-lama di sekitar lo. Seharusnya hari ini lo happy gue cuma sebentar, kenapa pasang ekspresi nggak rela gitu. Kontradiktif."

Olla sudah siap membalas, tetapi Heidi lebih dulu melanjutkan kalimat.

"Soal naskah, gue nggak bisa lagi menerima naskah dark yang bikin pembaca lo update story Instagram; abis baca novel Kak Olla jadi capek banget dan ikutan frustrasi. Udah cukup, Olla. Tiga tahun lo buat segala aspek kehidupan lo gelap. Time to move on."

"Di, tapi gue-"

Heidi berdiri dan merapikan kursi seperti awal. "Gue masih yakin nulis bisa menyembuhkan lo. Lo masih bisa balik nulis hal-hal indah kayak dulu. Kalau memang udah mentok nggak bisa, kalau memang lo merasa ini identitas menulis lo yang baru, lo bisa coba kirim naskah ke penerbit lain. Gue udah nggak bisa bantu, La." Ada jeda sepersekian detik sebelum Heidi menyambung kalimat sambil tersenyum lembut, "Kalau nulis udah nggak bisa bikin lo lega dan bahagia, kenapa nggak coba hal baru? Atau, fokus jadi desainer di clothing line nyokap lo. Toh, dua tahun ini rancangan-rancangan lo lebih laku daripada novel-novel lo."

Setelah menutup obrolan seperti itu, Heidi berbalik, menjauh, kemudian benar-benar hilang dari pandangan. Olla memeluk diri sendiri, tanpa memindahkan tatapan dari pintu. Dia benci mengakui Heidi benar. Dan lebih benci lagi saat dia ketakutan dengan pemikiran; apa ini waktunya untuk melepaskan?

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
Youtube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Until We Meet Again-Prolog

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya