[CERPEN] Kamar Sebelah

Si Kaya dan Si Miskin, Serupa Namun Tak Sama

“Bakar,”

“Gantung,”

“Salip,”

“Buang,”

“Bacok,”

“Patahkan lehernya.”

Teriak orang-orang yang mengarak seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun yang sudah tak berdaya. Darahnya berlumuran dari atas kepala menyeluruh ke mukanya. Badannya lunglai tak bisa tegak. Tak terdengar suara keluhnya atau teriakan sakitnya. Hanya terlihat raut muka yang datar di balik darah yang mengalir di mukanya. Tubuhnya compang-camping bekas pukuluan, diseret dari rumahnya menuju lapangan dekat pemakaman di kampung itu. Huru-hara orang-orang seperti baru menemukan mangsa untuk puaskan dahaganya. Tak ada yang berani mencoba menghalangi atau membelanya. Mungkin semacam Isa di zamannya.

Aku juga hanya bisa menyaksikan itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

*

Ibu menonton televisi di ruang tamu. Setiap pagi setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ibu lebih suka menyaksikan berita secara visual dari pada membaca di Koran. Dia selalu mengikuti perkembangan isu apa pun yang sedang hangat di negeri ini. Sesekali mengomentari. Entah hanya dalam hati atau gumaman yang tak begitu jelas. Ibu berbeda dengan ibu-ibu tetangga yang lain. Dia tak suka nonton sinetron atau gosip-gosip selebritis. Dia selalu tak mau ketinggalan berita-berita politik, ekonomi dan pembangunan Negara. Sedikit intelek memang.

Minggu-minggu ini berita masih sekitar korupsi. KPK menyelidiki salah satu tokoh partai politik karena dugaan korupsi.

*

Sesampainya di lapangan, laki-laki tua yang diseret paksa oleh warga itu semakin tak terlihat raut muka dan bajunya karena lumuran darah semakin memenuhi tubuhnya. Dia semakin tak bisa bergerak apa lagi membela diri. Di sana, sebagian orang mengumpulkan kayu bakar kering dan mempersiapkan bensin. Mungkin sebentar lagi laki-laki itu akan dibakar. Sepintas laki-laki itu mencoba menggerakkan mulutnya untuk berbicara tapi segera dibekap lagi oleh orang-orang yang memeganginya.

Di seberang jalan, perempuan dan dua bocah kecil lari terbirit-birit menghampiri kerumunan. Mungkin anak dan istrinya. Sesekali berteriak serak. Suaranya seperti habis. Tak sampai karena riuh orang-orang. Perempuan itu menangis pilu. Mencoba menghentikan amukan orang-orang yang masih tak beranjak menghakimi laki-laki itu. Putus asa, perempuan itu segera menjatuhkan tubuhnya di atas laki-laki tua yang sudah terkapar di tanah. Perempuan itu membiarkan tubuhnya ikut terpukuli. Melindungi laki-laki tua itu.

*

Ibu masih di ruang tamu menyaksikan berita dan akan seperti itu setiap hari. Berita yang masih tentang koruptor yang coba diungkap fakta-faktanya oleh KPK. Tentunya dengan proses yang berbelit-belit karena masih harus periksa segala macam. Tak cukup hanya dengan sekali persidangan. Karena buat mereka kebenaran bisa dimanipulasi. Fakta hanya kalimat usang yang tak ada maknanya. Mereka bisa menyewa pengacara andal, bisa menggunakan haknya untuk membela diri meski sudah jelas salah, masih bisa bersuara basi bahkan atas nama Tuhan untuk nama baiknya dan masih banyak sesuatu yang bisa mereka lakukan meski sudah di ujung tanduk.

*

Beruntung, beberapa polisi segera datang meski sedikit terlambat. Teriakannya tak digubris oleh orang-orang, maka tembakan peringatanlah yang sedikit demi sedikit menghentikan gemuruh orang-orang yang memukuli laki-laki tua itu. Laki-laki tua yang ternyata bernama Misdamat itu diamankan beserta anak dan istrinya. Dituntun menjauhi kerumunan menuju mobil yang akan membawanya ke kantor polisi setempat.

Wajah-wajah kecewa dari orang-orang tak bisa disembunyikan.

“Orang macam itu tak perlu diadili lagi. Sepantasnyalah kita bakar di sini langsung!” Teriak seorang dari mereka. Yang lain bersuara tak jelas. Makian dan umpatan riuh di lapangan itu. Tapi polisi tetap menjadi penengah yang baik.

“Tak baik menjadi hakim sendiri pada suatu perkara,” jelasnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

*

Di televisi masih soal koruptor yang diadili. Kasus beberapa bulan yang lalu. Pengacaranya mengajukan pembelaan. Berspekulasi. Meyakinkan bahwa terdakwa tak pernah benar-benar bersalah. Menyangkut pautkan dengan yang lain. Mendramatisir keadaan agar semakin bingung. Masih bisa duduk tenang  seakan tak pernah mempunyai masalah. Membolak-balikkan fakta, memalsukan berkas dan apa pun di lakukan untuk memanipulasi kebenaran. Ibu semakin serius menyaksikannya di ruang tamu dan lupa masakannya di dapur. Emosinya terbawa. Mukanya geram. Matanya sedikit judes.

“Dasar, masih saja bisa mengelak dari kenyataan umum. Membolak-balikkan bukti konkrit. Pintar sekali dia,” gumamnya sendirian.

Di dapur, asap  mengepul. Sepertinya ada yang gosong, tercium olehnya. Ibu lari terbirit-birit ke dapur, masih dengan gumaman yang  tak jelas.

*

Setelah pemeriksaan di kantor polisi, laki-laki tua bernama Misdamat itu ternyata hanya mencuri uang sejumlah seratus ribu dari rumah tetangganya yang awalnya tak ada orang sama sekali. Tapi apes tetangganya segera datang dan meneriakinya maling. Datanglah warga memukuli dan menyeretnya ke lapangan.

Dia lakukan setelah buntu tak menemukan jalan lagi untuk meminjam uang. Semua teman dan tetangganya sama-sama miskin atau sama-sama kikir. Dua anaknya harus bayar uang sekolah hari itu juga katanya, jika tidak,  tak berhaklah anak-anaknya sekolah lagi. Istrinya hanya buruh cuci keliling yang bayarannya  hanya cukup untuk menyambung napas satu hari saja bersama keluarga.

Misdamat yang tak pernah sekolah, SD sekalipun, hanya sesekali memperoleh upah dari menggarap sawah tetangga-tetangganya. Tak bisa diandalkan untuk kebutuhan hidup di zaman sekarang.

Menangis dia  melihat anak istrinya tertunduk pasrah saat penjara adalah konsekuensi dari perbuatannya. Prosesnya tak berjalan panjang. Bahkan Misdamat tak sempat menggunakan haknya membela diri apalagi berspekulasi palsu.

*

Aku temui ibu di ruang tamu. Kali ini senyum ibu sumringah.  Terdakwa korupsi berpuluh-puluh juta terbukti salah. Disita semua kekayaannya dan harus mendekam dipenjara. Penjara yang seperti kamar tidur biasa. Terlalu istimewa untuk ukuran ruang  tahanan.

Ibu memindahkan saluran televisi. Kali ini berita seorang laki-laki yang diamuk oleh masyarakat karena mencuri uang seratus ribu. Laki-laki tua yang kulihat kemarin di jalan.

“Kenapa proses hukum uang seratus ribu bisa sekejap saja, tanpa proses panjang, bahkan sampai mati-matian dipukuli warga. Hukumannya bisa bertahun-tahun melebihi koruptor. Tak ada pembelaan. Kenapa tidak koruptor yang mencuri uang berpuluh-puluh milyar saja yang dipukuli di tempat sampai mati. Tak perlu ada pembelaan dan segala macam. Bahkan ruang tahanannya saja diistimewakan?” Tanyaku pada ibu.

“Itulah kenapa kita harus sekolah,” jawabnya sinis.

“Apa hubungannya.?”

“Agar tahu cara mencurangi orang, membohongi dan membolak-balikkan fakta. Orang tak berpendidikan seperti kehilangan haknya untuk membela diri apalagi di luar batas itu. Tak tahu caranya berbuat curang, sekalipun bisa pasti konyol. Tak masuk di akal. Hanya bisa mencuri uang seratus ribu dan konsekuensinya melebihi apa yang diperbuat. Tak bisa mencuri uang hanya dengan bermodal tanda tangan dan merubah beberapa nol di belakangnya,” di mata ibu seperti ada keprihatinan saat menjawabnya.

“Tujuan pendidikan sekarang adalah untuk menghasilkan uang banyak, dengan cara apa pun,” tambahnya. Suaranya sedikit bergetar.

“Tujuan mempunyai banyak uang?” Aku memaksakan menanyakan satu hal lagi.

“Untuk memperdaya orang.”

Ibu membuatku ragu besok akan masuk sekolah lagi atau tidak.***

Baca Juga: [CERPEN] Mantra-mantra dan Sepasang Sayap untuk Helena

Suci Ambarwati Photo Writer Suci Ambarwati

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya