[CERPEN] Dendam 

Sejak kecil ia menyimpan dendam

Kalau bukan gadis itu yang meminta, Seno tak mau mengungkit kisah hidupnya. Telah berkali-kali gadis itu meminta bertemu dan berulang-ulang pula Seno menolaknya. Gadis itu penulis skenario film yang pantang menyerah.

“Aku tak tahu harus memulai dari mana,” kata Seno.

“Biar saya yang mulai. Bang Seno telah menjalani kehidupan yang demikian keras. Apakah Bang Seno menyimpan dendam?” tukas Nirmala, gadis itu, menyiapkan notes dan pulpen.

“Dendam? Apakah itu judul filmnya nanti?”

***

Dahulu, ketika masih kecil, Seno dan Kurniati suka duduk di teras menunggu ayah pulang menjelang maghrib. Bila ayah pulang, mereka langsung mengajaknya ke masjid. Seno masih 7 tahun dan Kurniati 5 tahun saat itu.

Ayah mereka seorang pegawai honorer di Pasar Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Gaji pas-pasan. Untuk menyambung hidup, ayah mencoba mencari penghasilan tambahan; melamar kerja di beberapa gudang emping. Banyak gudang emping di Limpung dan sekitarnya, karena daerah itu memang penghasil emping melinjo.

Ayah diterima bekerja sebagai penjaga gudang emping milik Wan Zing, lelaki tua berkulit putih dan bermata sipit. Gudang itu dekat Pasar Limpung. Bakda salat isya ayah berangkat ke gudang, pulang subuh.

Suatu malam, beberapa preman yang biasa mangkal di pojokan pasar mendatangi gudang yang dijaga ayah. Langkah mereka sempoyongan, bau arak menguar dari mulut mereka.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Para preman itu menganiaya ayah sebelum menjarah isi gudang. Begitu banyak darah meleleh dari kepala ayah. Gerimis turun malam itu, seakan mengiringi kepergian ayah ke alam keabadian.

Ibu bekerja sebagai pembuat emping melinjo. Sebagai janda dengan dua anak, beban hidup ibu semakin berat. Paman Haris datang menolong, menyekolahkan Seno dan Kurniati hingga tamat MTs. Setelah itu Paman Haris menyerah, karena harus beralih memikirkan sekolah anak-anaknya.

Kurniati membantu ibu membuat emping. Seno merantau ke Jakarta, selepas MTs, bersama beberapa teman senasib. Mula-mula menjadi huruh bangunan, buruh angkut di pasar, dan pekerjaan kasar lainnya. Ketika menginjak usia 20 tahun, Seno menjadi tukang parkir di sebuah pasar di Jakarta Selatan.

Seno kerap melihat orang-orang bertato memalak pedagang dan pengunjung pasar. Tukang parkir lain tak berani melawan mereka, tetapi Seno berani maju. Berkelahi dengan para pemalak.

Setiap kali berkelahi, Seno membayangkan sedang menolong ayahnya yang disergap pemabuk di gudang emping dan itu telah menguatkan semangat serta tenaga Seno. Tidak sia-sia pula Seno mempelajari silat Tapak Suci semasa MTs.

Orang-orang bertato mulai memperhitungkan keberadaan Seno. Suatu kali, sepuluh tahun silam, pemimpin mereka menantang Seno untuk duel. Kalau Seno menang, ia boleh menguasai pasar dan orang-orang bertato akan tunduk padanya.

Duel tangan kosong itu berlangsung beringas, penuh luka dan darah. Dengan tubuh sempoyongan Seno mencoba berdiri tegak. Kaki kanannya menginjak dada seorang lelaki bertato jangkar di lengan kiri yang tergolek lemah di tanah.

Seno mengepalkan tangan kanannya ke udara.

“Aku Karseno penguasa pasar ini!”

Baca Juga: [CERPEN] Hello, Yesterday (Bagian 1)

Sulistiyo Suparno Photo Verified Writer Sulistiyo Suparno

Senang menulis cerpen, karena tidak bisa melukis.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya