[CERPEN-AN] Gara-gara PR

Semua membenciku, cuma gara-gara itu...

Bagaimana ini? Aku jadi serba salah. Sepanjang hari telah kuhabiskan di kamar, tapi toh tak memberiku jawaban. Aku semakin suntuk, bingung dan entahlah. Apa yang harus ku lakukan sekarang?

Aku terdiam dalam lamunan memikirkan kejadian di sekolah tadi. Entah apa yang ada di pikiran mereka, yang jelas aku menjadi terganggu. Setiap kata yang mereka lontarkan membuat ku marah. Ejekan demi ejekan ku dengar tanpa suara. Saat itu aku hanya diam dan pura-pura tak menghiraukan.

Lama di kamar tak keluar, membuat ibu meneriaki ku. Sejak pulang sekolah tadi aku langsung mengurung diri di kamar. Ibu yang khawatir kini mengetuk pintu dari luar.

"Mini, kamu tidak makan siang? Udah ibu hidangkan di meja. Nanti keburu dingin, loh," seru ibu dari luar kamar.

Pintu yang sedari tadi memang kukunci, membuat ibu tak bisa masuk, tapi aku mendengar jelas seruan ibu. "Iya, Bu, sebentar lagi," jawabku menyambut.

Aku pun pergi ke ruang makan dengan langkah gontai penuh kemalasan. Aku melihat ibu masih sibuk di dapur walau hidangan telah tersaji.

Kini aku bergegas menghabiskan makananku. Ternyata nafsu makanku tak berkurang untuk melahap setiap masakan ibu.

Akhirnya makan siangku pun selesai. Kurapikan semua peralatan makan ku dengan mencucinya sendiri. Setelah itu aku pun duduk di sofa sambil menyalakan tv. Tontonan yang itu-itu saja membuatku bolak balik mengganti saluran siaran tv. Tak ada lagi acara yang membuat ku terhibur. Acara yang ditampilkan hanya seputar berita, gosip, game show dan acara lainnya yang tak menarik perhatianku. Kebosananku pun timbul dan akhirnya aku memilih untuk mematikannya dan kembali ke kamar.

Aku memilih membaca novel yang baru ku beli beberapa hari yang lalu. Buku yang belum juga selesai aku baca, akhirnya menjadi hiburanku saat ini.

Saat asyik membaca, tiba-tiba ibuku masuk tanpa mengetuk pintu. Kali ini aku lupa mengunci pintu kamar. Ibu langsung menanyaiku ada apa sebenarnya di sekolah.

Aku kebingungan melihat ibu gelisah tak karuan. Baru saja ibu menerima telepon dari temannya, dimana anaknya merupakan teman sekelasku. Ibu menceritakan bahwa temannya itu marah-marah pada ibu karena ulahku.

Aku yang mulai teralihkan dengan kesibukan membaca novel menjadi teringat kembali kejadian di sekolah tadi. Kejadian yang membuat seisi kelas memusuhiku.

Ibu menyadarkan ku saat aku melamun mengingat kembali kejadian di sekolah tadi. Ibu terus mendesakku untuk bercerita ada apa sebenarnya.

"Ada masalah apa di sekolah, Min? Kenapa ibunya Juli mengadu kalau betis anaknya di pukul penggaris rotan panjang oleh guru dan itu semua gara-gara kamu? Apakah itu benar?" Tanya ibu panik dengan nada tergesa-gesa

"Sebenarnya tadi di sekolah, Mini ngumpulin PR di ruang guru sebelum bel masuk sekolah." Aku mulai bicara pendek.

"Terus?" Tanya ibu penasaran karena penggalan awal cerita yang kumulai berhenti lama.

"Saat guru tersebut masuk kelas, tiba-tiba saja gurunya marah." Aku lanjut bercerita.

"Loh, kok bisa marah?" Jawab ibu tambah penasaran.

"Guru tersebut marah karena buku PR di mejanya cuma satu, yaitu punya aku sendiri. Ternyata teman-teman yang lain belum ada yang ngumpul. Ya, udah, teman-teman Mini satu kelas dihukum. Hukumannya berbeda laki-laki dan perempuan. Laki-laki dihukum jalan jongkok ke luar kelas menuruni anak tangga sekolah dan yang perempuan dipukul betisnya pakai penggaris rotan panjang," seruku.

"Terus, kenapa kamu yang disalahin ibu Juli barusan? Aneh sekali," kali ini Ibu berseru heran.

"Itu karena Mini ngumpulin PR duluan. Padahal Mini pikir teman-teman yang lain udah ngumpulin karena tadi Mini agak terlambat ke sekolah. Jadi sebagian teman Mini menyalahkan Mini karena tidak kompak, tidak solider. Bahkan ada yang bilang kalau Mini cari mukalah, sok pintar dan ucapan lain yang membuat telinga Mini budeg, Bu," terangku.

Ibu yang tak terima aku disalahkan akhirnya ikut tersulut amarah. Aku juga heran mengapa mereka menyalahkanku. Seingatku perjanjian pengumpulan PR pada guru tersebut telah jelas bahwa jika mata pelajarannya tidak ada di jam pertama. Maka harus tetap dikumpulkan sebelum bel sekolah agar tidak ada siswa ataupun siswi yang saling contek menyontek mengerjakan di sekolah.

Ibuku pun bertekad untuk ke sekolah besok, melaporkan kepada pihak sekolah tentang kejadian ini. Tapi, aku menggeleng.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ibu gak perlu ke sekolah untuk mengadu kejadian ini. Nanti teman-teman yang lain semakin tidak suka pada Mini," kataku memohon.

"Loh, kok kamu yang jadi biang kesalahan yang ada?" Tanya ibu tak terima.

Aku hanya diam mendengar perkataan ibu. Kemudian ibu kembali ke ruang tamu dan menelepon Ibunya Juli. Aku ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Ibu memulai percakapan dengan nada yang sedikit emosi, dan lama kelamaan semakin meninggi tak percaya dengan sahutan yang disampaikan ibunya Juli. Di sini aku melihat dengan nyata bagaimana seorang ibu mati-matian membela anak-anaknya walaupun tahu ada kesalahan yang dilakukan anak-anak mereka tersebut.

Ibu mematikan telepon dengan kesal. Kemudian kekesalannya dilampiaskan padaku dengan mengomel tak karuan. Ibu bilang bahwa ibunya Juli tetap keras hati bahwa anaknya menjadi korban. Padahal kesalahan Juli karena dia tidak mengumpulkan PR tersebut. Alih-alih meminta maaf pada ibu karena telah menyalahkan dan menuduhku, ibunya Juli malah berpendapat bahwa menurut Juli guru tersebut jarang sekali menilai PR, sehingga anaknya pun malas mengerjakannya karena tidak pernah dinilai. Tapi entah kenapa tiba-tiba guru itu marah saat buku PR yang ada di mejanya cuma satu. Aku pun memperhatikan dengan saksama setiap perkataan ibu. Setelah lama mengomel, akhirnya ibu kelelahan dan haus.

Aku pun mengambilkannya minum dan memintanya untuk mengurungkan niat pergi ke sekolah esok hari. Tapi ibuku hanya melotot sambil meneguk minumannya tanpa mengeluarkan suara. Lalu aku pun pergi kembali ke kamarku.

Keesokan harinya ketika aku hendak berangkat ke sekolah, aku meyakinkan kembali ibuku agar tidak datang ke sekolah hari ini. Ibu pun mengeluh karena pusing kepalanya dan membatalkan niatnya kemarin untuk datang ke sekolahku. Lalu aku pun segera berpamitan untuk berangkat.

Setibanya di sekolah, sebagian teman-temanku masih mengeluh karena hukuman kemarin. Masih ada beberapa temanku yang menatap sinis saat kehadiranku. Tapi aku mengacuhkan itu semua, karena aku percaya bahwa aku tidak salah.

Jam pertama hari ini adalah mata pelajaran yang gurunya kemarin marah besar karena hanya satu orang yang mengumpulkan PR. Sehingga beliau pun enggan memberikan PR untuk hari ini.

Saat bel tanda masuk berbunyi, guru tersebut pun masuk ke ruang kelas kami. "Good Morning class?" Sapanya. Kami pun menjawab, "Morning, Miss.”

Aku sedikit terkejut hari ini, karena tiba-tiba saja guru ini membahas kembali kejadian kemarin. Beliau mengatakan bahwa kemarin sore dirinya ditelepon oleh salah satu wali murid yang tidak terima anaknya dipukul rotan. Guru tersebut pun meminta kami untuk mengaku wali murid siapa itu yang keberatan atas hukuman atas kesalahan yang diperbuat anaknya.

Ketika itu kami hanya diam dan saling pandang-pandangan satu sama lain menanyakan siapa orangnya. Tapi tak ada satu pun yang berani mengacungkan tangan atas pertanyaan guru tersebut. Lama menunggu tak ada respon dari kami, akhirnya guru tersebut melanjutkan pembicaraannya.

Beliau mengatakan bahwa hukuman yang diberikannya bukan bertujuan untuk menyakiti, tapi untuk memberikan efek jera agar tidak melakukan kesalahan serupa kedepannya. PR tersebut bertujuan untuk melatih kemampuan dengan cara diulang di rumah. Penilaian atas usaha mengerjakannya tetap ada, meskipun angka tak tercoret di kertas.

Beliau pun melanjutkan kata-kata yang menurut ku sangat bernilai. Begitupun teman-teman yang lain, karena sedari tadi mereka semua diam memperhatikan penuh renungan. Guru tersebut menyatakan bahwa di sekolah ini kami dididik. Salah satu didikan yang ada adalah agar semua murid bersikap disiplin.

Di sini kami dibimbing agar kelak tak seperti manusia-manusia yang tak beratur. Kami pun dibawa pada fenomena yang ada saat ini. Berapa banyak manusia sekarang yang lebih mengutamakan kesenangan dengan mengabaikan kewajibannya, mengacuhkan kebenaran dengan beranggapan aturan ada untuk dilarang dan berapa banyak manusia yang mulai perselisihan karena tak sependapat dalam hal baik? Coba bayangkan, bagaimana bisa sesuatu yang baik ditentang dan diperselisihkan hanya karena ketidaksukaan dari sudut pandang pribadi yang sifatnya tak berdasar (hanya ingin kesenangan tanpa harus dibebani dengan kewajiban).

Kami pun diajak merenungi bagaimana nasib kami jika bentuk pondasi yang lemah di awal yang dibiarkan terbengkalai dalam pembangunan karakter kami berikutnya. Penanaman sikap disiplin itu harus diawali sejak dini dan dipertahankan untuk masa yang akan datang. Bukan menyalahkan seseorang yang berbuat benar karena kita tidak melakukan hal serupa.

Banyak lagi isi pembicaraan yang disampaikan guru tersebut. Semakin lama kata-kata yang diucapkannya semakin baku dan terlalu tinggi untuk kupahami, begitu pun teman-teman yang lain.

Intinya beliau hanya ingin menjadikan kami orang yang disiplin dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.

Akhirnya jam pelajaran Bahasa Inggris digantikan dengan ceramah panjang. Setelah itu, teman-teman yang lain pun menghampiriku untuk meminta maaf karena kelakuan mereka kemarin.

Aku masih penasaran wali murid siapa yang berani melapor pada guru tersebut, mengingat guru yang satu ini memang terkenal killer bagi sebagian murid.

Jawaban yang masih belum ku temukan hingga jam sekolah berakhir. Sampai tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang ketika hendak keluar menuju pintu pagar sekolah.

Ternyata itu guru Bahasa Inggrisku. Beliau menyampaikan bahwa pesan ibuku sudah dilaksanakan dengan baik.

Oh My God, ternyata laporan itu berasal dari ibuku sendiri. Pantas saja mendadak hari ini kepalanya pusing, apa itu pura-pura? Entah bagaimana nasib ku kelak, jika teman-teman kutahu bahwa wali murid yang dimaksud adalah ibuku.***


Aceh, 23 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Sayap yang Tak Pernah Patah

Susan Photo Writer Susan

Gak boleh TAMAT belajar sampai AJAL menjemput

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya