[CERBUNG] Reuni Merah Bag. 1

Semerah masa lalu, semerah misteri itu, semerah hatiku padamu

 

Gadis itu duduk pada dahan pohon meranggas di pinggir telaga. Kakinya yang putih berjuntai tanpa alas. Helai-helai halus rambut kecoklatannya bergerak indah seiring tiupan angin. Masih seperti dulu, matanya bening, namun kali ini menatapku sendu.

Bibir mungil merah jambunya menyunggingkan segurat senyum getir yang sukar kupahami, terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Meski begitu, aura kecantikan tak pernah menguap dari wajah ovalnya. Juga masih seperti dulu, cantik, sangat cantik. Tali-tali gaun merah yang terikat di pundak putih mulusnya menambahkan kesan manis. Sangat serasi.

“Keyla!” Panggilku.

Gadis itu diam saja.

“Key!” Panggilku lagi.

Masih tetap diam. Aneh. Jelas-jelas dia tengah memandangiku.

“Keyla! Ngapain kamu di situ?”

Dia hanya tersenyum. Senyum yang legendaris di kalangan kaum lelaki. Senyum yang tetap memperindah wajahnya meski hanya berupa tarikan bibir yang masam.

Beberapa detik berselang dipalingkannya wajahnya ke arah telaga, lalu sayup-sayup kudengar dia bersenandung. Suaranya mengalun lembut bersama riak-riak air telaga, merdu namun pilu, membuatku merinding.

“Kutunggu dirimu selalu

Kutunggu, walau pun kutahu kau jauh

Kutahu kau jauh.....”

Itu lagu kesukaannya, ‘Jauh’, milik band Cokelat. Tapi belum pernah kudengar dia sesedih itu menyanyikannya.

“Key, turun! Nanti kamu jatuh.”

Dia bergeming, larut dalam nyanyiannya yang semakin terdengar jelas di telingaku. Semakin jelas dan terus bertambah jelas. Lalu suara berisik klakson mengejutkanku.

Segalanya buyar seketika. Kudapati diriku sudah berada di sebuah ruangan. Lagu itu masih terdengar, bukan dari bibir Keyla melainkan dari radio di atas meja. Di rumah sebelah, kudengar suara yang kukenal sedang mengomeli anak balitanya yang memainkan klakson motor.

Perlu waktu beberapa puluh detik untuk mengumpulkan ingatan, sampai aku tersadar bahwa aku berada di kamarku sendiri. Ugh, aku bermimpi rupanya.

Jarum pendek pada jam weker di atas meja menunjuk ke angka 4. Sudah sore. Lama juga tidurku tadi. Hujan yang dua jam sebelumnya turun lebat sekarang masih menyisakan rintik-rintik.

Kuregangkan tubuhku untuk meredakan rasa kaku di seluruh badan. Mimpi barusan membuat urat sarafku serasa tegang. Mengapa dia muncul lagi di mimpiku? Ingatan tentangnya selalu menyedotku kembali ke kubangan perasaan kelam yang sama. Bertahun-tahun telah lewat, tapi satu tanya itu belum juga menemukan jawabnya.

Tiba-tiba aku teringat sepatuku yang masih tergeletak di bibir teras depan. Pasti sekarang sudah basah kuyup terciprat air hujan, padahal baru saja kucuci kemarin. Sambil tersaruk-saruk melangkah ke sana, aku mengakui diam-diam tentang tak enaknya berada di rumah seorang diri.

Di ambang pintu penghubung ruang tamu langkahku terhenti. Ada sesuatu berwarna merah di bawah pintu. Apa itu? Seperti selembar kertas. Aku memungut benda itu dan mengamatinya. Ternyata sebuah undangan. Undangan reuni. Tanggalnya 30 Desember, jam 9 pagi, bertempat di aula sekolah. Tak ada nama ketua panitia, hanya terdapat dua huruf inisial, K.A., di sudut kanan bawah.

Siapa KA? Namanya pasti jelek sampai merasa harus memakai inisial segala, pikirku sekilas. Walaupun sebenarnya tak ada alasan untuk malu, toh sebagian besar penerima undangan tentu sudah pernah mengenal nama itu dan tidak akan berkomentar lagi.

Tapi... tunggu! Kueja inisial itu lagi di dalam hati. KA? Perlahan sebuah nama melintas di dalam ingatan. Perutku menegang seketika.

Keyla Anastasia!

Mendadak kusadari warna kertas undangan ini sama persis seperti warna gaun Keyla di mimpi-mimpiku. Deg! Bulu kudukku seketika meremang. Ini terasa janggal. Mungkinkah ada hubungannya satu sama lain? Masih terekam jelas di ingatan, dan mungkin tak akan dapat kuhapus selamanya, apa yang telah terjadi pada Keyla saat itu. Jika dia harus muncul lagi di alam mimpi, berulangkali, menghantui tidurku, mungkinkah itu artinya...

Ah, sudahlah! Kupenggal secepatnya pikiran melanturku sendiri. Mimpi hanyalah bunga tidur. Dan semua praduga paranoid ini tak lain hanyalah pengaruh kesadaranku yang belum pulih saja.

Kulipat lagi undangan tersebut sambil berusaha keras menghalau khayalan-khayalan ngawurku. Hendak kucampakkan kertas itu ke atas meja, tapi nanti dulu! Ada untaian syair di sampul belakangnya.

Kita akan mengulang kenangan

Kita akan menyingkap tabir rahasia

Percayalah, waktu tak akan mampu mengubur semuanya

Perlihatkan senyummu, maka di mataku selamanya kau adalah sahabat

Hati yang beracun bersarang di dalam diri yang bersembunyi di balik pusaran waktu.

Wah, syair yang indah pada awalnya. Tapi hanya di awal, karena kalimat terakhirnya aneh begitu. Tajam __jika tidak bisa disebut kurang ajar, seperti ungkapan dendam terselubung. Sangat tidak sinkron dengan acara yang hendak digelar. Mestinya kalimat terakhir ini ditiadakan saja, atau kalau tidak biar aku sendiri yang mempergunakan kalimat ini khusus untuk seseorang : April Dwi Hamdani.

Reuni ini untuk tiga angkatan, yaitu angkatanku dan dua tingkat di atasku. April adalah kakak kelasku. Berarti jika cowok tengik itu datang, aku akan bertemu kembali dengannya.

Sejuta geramku muncul lagi mengingat manusia berwajah manis berhati sadis yang satu itu. Harusnya acara reuni itu menyenangkan, jika mengecualikan dia. Ah, pilihan ini jadi sulit untukku. Walau pun aku bisa pura-pura tak mengenalnya lagi, tapi sesungguhnya perkara ini bukan mengenai bagaimana dia bersikap nanti, bukan juga bagaimana dia bersikap dulu. Masalahnya ada pada perasaanku sendiri. Apa yang akan terjadi dengan perasaanku setelah bertemu sosoknya? Tak akan sedihkah aku jika dia tidak datang? Tak akan meranakah hari-hariku sesudahnya jika dia nanti dia bersikap dingin?

Seperti baru kemarin, ternyata sudah lebih dari 5 tahun kami berpisah. Selepas SMA aku melanjutkan pendidikanku di Surabaya, tinggal bersama nenekku di sana. Dan karena tempat berkumpul keluarga besar kami setiap libur berpusat di sana, praktis aku sangat jarang pulang kemari. Sejak lulus aku belum pernah bertemu teman-teman SMA-ku lagi.

Seingatku ini pertama kalinya aku menentang arus. Sekarang libur akhir tahun, keluargaku sedang bersiap-siap ke Surabaya __dan sudah bertolak hari ini, tapi aku justru tiba di sini tadi malam. Mereka keheranan atas kedatanganku. Bahkan adikku yang usil menyarankanku kembali lagi ke sana seperti orang bodoh, daripada berlibur sendirian di rumah ini yang juga menurutnya seperti orang bodoh.

Tapi aku benar-benar sedang butuh suasana baru. Jadi terpaksa tak kuladeni keusilan adikku yang memang suka sekali memengaruhiku untuk melakukan hal-hal konyol. Agar sesudahnya dia bisa menertawakanku, tentu saja.

Kriiiiing....!!

Suara dering telepon mengalihkan sejenak carut marut pikiranku.

“Selamat sore.” Sapaku ringan.

“Reyna?” Sahut sebuah suara perempuan yang kukenal. Syifa, salah seorang teman dekatku.

“Kok telepon ke nomer rumah?” Tanyaku heran. Dia kan harusnya tak tahu kalau aku ada di rumah.

“Dan kamu ada di rumah? Bagus deh! Tadinya aku mau ngomong sama ibumu, mintain izin supaya kamu boleh mangkir dari acara keluargamu yang nggak ada abisnya itu.”

“Izin? Mau ngajak ke mana emangnya?”

“Ngajak dateng ke reuni. Udah terima undangannya belum?”

“Udah. Siapa sih yang nganter-nganterin undangan itu? Tiba-tiba aja udah ada di bawah pintu.”

“Nggak tahu. Punyaku juga ada di bawah pintu. Tapi nggak ada alamat tertera, berarti bukan via pos.”

“Hm, misterius,” sahutku berpikir. “Kayaknya ada sponsornya ya, soalnya nggak ditarik iuran. Pasti temen kita ada yang udah jadi orang sukses.”

“Mungkin. Ntar kucari tau deh siapa orangnya. Mudah-mudahan sih cowok.”

Huh, anak ini, belum juga berubah dari tabiat lamanya. “Jangan nyesel kalau nanti karmamu dateng,” tegurku sungguh-sungguh.

“Nggak apa-apalah. Masih muda ini. Nanti kalau udah ketemu yang pas juga pasti langsung kuseriusin. Kuajak nikah langsung,” jawabnya, disusul suara tawa terkekeh.

Dan aku sudah hapal apa yang dimaksud dengan ‘pas’ itu baginya. Yaitu muda, tampan, berpendidikan, mapan, dari keluarga baik-baik, setia dan bisa menerima kekurangannya apa adanya.

Diam-diam aku mendengus masam. Jika sampai Syifa mendapatkan pasangan yang seperti itu dan kemudian bahagia, alangkah tidak adilnya hidup.

Apa aku terdengar iri? Sejujurnya aku memang iri. Bukan aku tak senang melihat sahabatku bahagia, tapi sejauh ini dia sudah terlalu banyak mempermainkan lelaki. Mendapatkannya dengan mudah lalu mencampakkannya setelah tak butuh lagi.

Pacarnya sudah berganti belasan kali. Semua yang menyukainya, selama pria itu berduit dan tidak pelit, sudah pasti diladeninya. Dan dia tak pernah terluka, karena dia tak pernah berlarut-larut menyukai seseorang.

Sedangkan aku, yang bertahun-tahun setia hanya mencintai satu orang saja, dan juga tak pernah bertingkah macam-macam, tak pernah sedikit pun mendapatkan kebahagiaan dari cinta. Bukankah seharusnya karmaku akan lebih baik di kemudian hari?

Tapi hidup tidak akan seindah itu. Mengapa?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Karena Syifa punya paras cantik dan postur tubuh proporsional. Sejak Keyla tak bersama kami lagi, dialah yang paling menjadi pusat perhatian di kelompok kami. Saat kami berlima berjalan bersama, di mata kaum adam seolah hanya Syifa saja yang terlihat. Dan cinta lelaki ditentukan oleh kesehatan matanya. Selama pandangan mereka tidak kabur, tetap Syifa yang akan lebih mereka pilih daripada kami berempat. Bukan begitu?

Sebenarnya bukan Syifa saja, Maya pun parasnya lumayan cantik, hanya saja dia agak sedikit gemuk. Tapi berbeda dengan Syifa, Maya sangat pemilih. Seleranya tinggi. Satu-satunya cowok yang mampu merebut perhatiannya di sekolah hanyalah Danu, cowok paling diinginkan di sekolah kami. Dan tak pernah kesampaian sebab hati Danu telah dimiliki oleh satu orang saja : Keyla.

Selebihnya hanyalah aku yang tetap setia memuja April, lalu Fatia yang selalu mengaku belum ingin memikirkan cowok, dan Febri yang terlalu fokus pada kesibukan belajarnya.

“Kamu sendiri, Rein? Gimana kriteriamu?” Tanya Syifa kemudian.

Lagi, aku mendengus masam. Tidakkah pertanyaan itu lebih terdengar seperti cemoohan? Mungkin dia tidak bermaksud begitu, tapi aku sungguh gamang mencari-cari jawaban.

“Kenapa? Kok diem? Jadi sampai detik ini belum bisa juga ngelupain April?”

Baguslah kalau sudah tahu!

“Reyna, mau sampai kapan sih kamu begini terus? Come on, move on! Apa sih yang kamu dapet dari kesetiaan sepihakmu itu?”

Aku tidak menyukai ini, suatu keadaan ketika aku terlihat memprihatinkan di mata orang lain, sahabatku sendiri sekali pun. “Aku baik-baik aja kok. Hidupku normal,  prestasi akademisku bagus, keluargaku sayang sama aku. Emang ada apa dengan hidupku sampai kamu pikir segitu menyedihkannya?” Tukasku tersinggung.

“Tapi apa kamu nggak pengen membuka hati buat cowok lain dan ngerasain bahagia?”

Aku mendesah malas. Dan saking enggannya meladeni topik usang itu, aku mengajaknya pindah mengobrol saja, ramai-ramai dengan yang lain di grup media sosial.

Dari grup medsos, kudapatkan informasi bahwa teman-teman yang lain juga mendapatkan undangan reuni dengan cara serupa. Ini agak aneh, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi keheranan itu hanya diributkan sesaat. Selanjutnya mereka terlarut dalam letupan semangat dan rasa tak sabar menunggu datangnya hari yang telah ditentukan.

Dari obrolan yang ramai itu, aku juga jadi tahu kalau sekarang April bekerja di salah satu hotel dalam kota. Beberapa tahun sebelumnya dia menghilang tanpa kabar. Baru diketahui belakangan, rupanya cowok itu menimba ilmu di sebuah universitas ternama di Bandung dan memang jarang sekali pulang ke kota ini.

Lagi-lagi aku merasa getir hanya karena alasan sepele. Bandung, huh? Konon gadis-gadis di sana cantik-cantik. Pasti dia sudah menemukan pengganti Keyla yang sebanding. Dan aku masih senaif dulu, belum sedikit pun dapat mengenyahkan namanya dari hatiku. Waktu sudah terlalu jauh bergulir, banyak hal sudah berubah, tapi aku masih tertinggal di tempat yang sama dengan angan yang sama pula.

Ya, Tuhan, mungkinkah sebaiknya aku tak usah datang ke reuni saja? Huh, andai aku tetap di Surabaya, tentu aku punya alasan kuat untuk tidak datang. Separuh hatiku menyesali keputusanku berlibur di sini.

Sebenarnya masalahku hanyalah rasa takut, terlalu takut kalau pertemuan itu akan membuatku semakin tidak bisa move on. Jika dalam tempo empat tahun tanpa pernah sedikitpun mendengar kabarnya saja aku masih tetap tak bisa menghadirkan sosok lain di hatiku, bagaimana tidak bertambah parah jika kami bertemu lagi nanti?

Sejauh ini semakin kuat aku mencoba berontak, semakin kuat pula pesonanya mencengkeramku, menyiksaku tiada henti. Haruskah aku membiarkan itu semakin menjadi? Aku tak yakin perasaanku sekuat itu. Lagipula ini bukan hanya tentang perasaan yang tak berbalas, tapi juga tentang bagaimana dia memandangku selama ini.

“Sini kamu!”

Aku masih ingat hari itu, ketika dia menyeretku dengan kasar ke belakang semak-semak di dekat lapangan voli, di bagian paling belakang pekarangan sekolah.

“Kasih tau sesuatu!” Perintahnya membentak.

“Kasih tau apa sih?”

“Jangan pura-pura bego! Kamu pasti tau sesuatu yang orang lain nggak tahu. Tentang Keyla.”

“Aku nggak tau apa-apa.”

“Mana mungkin? Kamu kan temennya yang paling deket.”

“Demi Tuhan! Walau kamu bunuh aku sekalipun, aku tetep nggak tau apa yang harus kuceritain.”

“Jangan sok sebut-sebut nama Tuhan! Kamu tau, tuduhanku berdasar.”

“Apa dasarnya?”

“Kamu punya motif nyelakain dia. Siapa yang tau kalau diem-diem kamu membencinya? Orang lain mungkin nggak mikir ke situ, tapi aku tau kenapa kamu harus nyingkirin dia.”

“Kenapa aku harus nyingkirin temenku sendiri? Jaga mulutmu, April!” tegurku marah sekaligus tak mengerti kelakuannya.

“Aku tau semuanya, Reyna. Bagaimana selama ini kamu memendam cemburu sama dia.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu suka sama aku. Jangan pikir aku nggak tau!”

Aku terkejut bukan main saat itu. Bagaimana dia bisa tahu? Aku telah berusaha menyimpannya serapat mungkin, karena aku sadar siapa diriku. April sangat menyukai Keyla, aku tak akan sebodoh itu membiarkan orang lain tahu perasaanku, yang artinya bisa saja aku menjadi bulan-bulanan banyak orang. Atau jangan-jangan...

“Dari mana kamu tau hal itu?” Tanyaku tak dapat menyamarkan rasa gugup.

“Dari Keyla. Kamu kaget, huh?”

Keyla? Bagaimana bisa semudah itu? Sial. Dengan perkembangan kondisi yang sangat di luar dugaan itu, keadaanku akan jauh lebih buruk dari sekadar menjadi bulan-bulanan. Belum apa-apa saja April sudah mencurigaiku. Aku punya firasat dia akan menindasku pada hari-hari selanjutnya.

Hari itu aku memang berhasil kabur darinya. Namun seperti dugaanku semula, dia tidak berhenti hanya sampai di situ. Beberapa hari berselang dia mencegatku di pinggir jalan raya. Sangat tidak beruntung bagiku karena teman-temanku sudah mendapatkan angkot jurusan mereka masing-masing lebih dulu.

“Hei, pembunuh!” sapanya kejam.

Aku meradang. “Tolong dijaga bicaranya!”

“Mana ada maling ngaku?”

“Kamu kali malingnya!” tukasku benar-benar jengkel. “Kalau dipikir-pikir kan aneh. Gimana kamu bisa menyimpulkan sejauh itu? Kata siapa Keyla dibunuh? Mana buktinya? Bisa aja sebenernya justru kamu yang lagi berusaha ngilangin jejak. Daripada dia jadi milik orang lain, lebih baik sekalian nggak usah ada yang memiliki aja. Betul?”

“Hei! Jangan membalikkan fakta kamu ya! Motifmu udah terlalu jelas.”

“Karena aku suka sama kamu? Itu doang mana cukup?”

“Kenapa nggak cukup? Kamu kan terobsesi sama orang yang nggak mungkin kamu miliki. Cemburu bisa bikin orang hilang kendali. Masuk akal.”

“Terobsesi?” Ulangku tak terima. Keyla menceritakan rasa sukaku pada si tengik ini sampai segitu berlebihannya? Oh, astaga! “Oke, waktu itu aku emang pernah suka sama kamu. Tapi itu sebelum aku tau watakmu yang sebenernya. Aku pasti udah gila kalau sekarang pun masih menginginkan manusia tinggi hati seperti kamu.”

Good. Kamu emang harus berhenti. Karena kamu mustahil nyamain Keyla dalam hal apapun. Ngerti?”

Mukaku memanas. Ini sungguh penghinaan besar. “Maaf,” ucapku menyabar-nyabarkan diri, “walaupun emang ada sedikit suka, aku nggak lantas memimpikan kamu sampai segitunya.”

“Bener. Jadi orang emang harus ngaca. Bumi sama langit itu bedanya mutlak. Terima aja kenyataan itu! Oke?”

Aku terbelalak nanar menatap manusia tengik di hadapanku. Tak kusangka kalau bibir manisnya sanggup melontarkan penghinaan sebegitu kejam. Aku merasa sangat dijatuhkan, terinjak-injak oleh arogansinya. Tanganku gatal ingin menamparnya, tapi aku memilih berlari ketika mataku mulai berair.

Aku terus berlari menyusuri trotoar ke arah yang tak begitu kuperhatikan. Bulir-bulir air mataku berjatuhan. Hari itu kurasakan sebagai hari paling menyakitkan sepanjang hidup yang telah kulalui. Itulah pertama kalinya seseorang menghinaku secara sadis dan terang-terangan. Yang ironisnya, dia adalah orang pertama pula yang membuatku merasakan getaran yang berbeda.

Dan hari ini, bertahun-tahun kemudian, aku gamang ketika dihadapkan pada kemungkinan akan bertemu lelaki itu lagi. Gelisah, tegang, takut... namun berharap. Satu kata terakhir itu, betapa pun sudah kuingkari sebisa mungkin, pada akhirnya harus tetap kuakui.

Ya, aku masih berharap padanya. Aku berharap dia telah berubah, menyapaku baik-baik, mengobrol denganku seperti layaknya dua orang yang sudah dewasa, lalu...

Lalu apa? Di titik itu, aku tak dapat melanjutkannya. Mana mungkin ia akan menjadi milikku semudah itu?

Keyla, ke manakah sebenarnya kau pergi?  Meninggalkan masalah seperti ini untukku. Terkadang aku berharap dia tiba-tiba kembali dan menjelaskan semuanya. Namun, masih akan bergunakah penjelasan darinya? Akankah hal itu membawa perubahan untukku? Aku tak yakin.

Maka di sisi yang lain, kupikir akan lebih baik jika dia tak usah kembali. Karena untuk yang satu ini, kelanjutannya akan menjadi pasti pada pihak April. Benar, jika gadis itu kembali, perhatian April akan mutlak tersedot kembali kepadanya. Hanya dia.

Ah, aku jadi membenci diriku sendiri jika sudah begini. Bukan aku yang menyebabkan Keyla menghilang, memang benar. Tapi bukan berarti hatiku tidak jahat. Sedikit banyak, aku memang jahat, seperti yang April katakan.

Lalu reuni itu, bagiku tak ubahnya seperti bentangan jembatan untuk kembali lagi ke kekacauan masa lalu.

 

***bersambung

 

Mangivera Indica Photo Writer Mangivera Indica

dimensi-fiksi.blogspot.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya