[Cerpen] Penulis Cerpen 

Aku jatuh cinta pada tokoh di dalam cerpennya.

Salah satu kebanggaan bagi seorang penulis ketika karyanya dimuat di surat kabar. Bisa kubayangkan penulis akan berharap cemas menanti akhir pekan mencari-cari namanya terpampang di koran kolom sastra. Itulah hal yang kulakukan, matahari belum meninggi ketika seonggok koran terjatuh di depan pagar rumah. Aku memungut koran itu sembari menyeruput kopi hitam, aku mulai membaca koran mencari kolom sastra. Sedikit gugup apakah cerita pendekku yang termuat dimuat koran itu, tetapi aku tidak berharap banyak. 

Mataku terbelalak membaca judul cerpen Payung dan Hujan karya Sandy Alfa. Ada kekecewaan bukan tulisanku yang dimuat, tapi ya sudahlah, belum rejekinya. Aku pun membaca cerita yang terpilih pekan ini. Sebuah cerita bersambung dengan nuansa kesedihan. 

***

Seorang gadis bernama Lisa bekerja sebagai penyewa payung. Dia berdiri sembari berteduh di ruko dekat zebra cross persimpangan lalu lintas. Bibirnya yang ranum membiru. Dia menggigit bibirnya sendiri menahan dingin hujan. Percikan-percikan air hujan sedikit membasahi tubuh. Bajunya sedikit lusuh. Tatanan rambut panjangnya mulai lepek. 

Dia gadis muda seusia kelas 3 SMP yang tinggal di rusun pinggir sungai kota. Tergambar dari raut wajahnya yang menunggu penyewa payung. Sedari tadi dia menengok ke arah kanan dan kiri, sepi tak ada lalu lalang orang hendak menyeberang. Di duduk bersandar di pelataran ruko yang lembab, membuka isi tasnya mengambil sebuah buku lalu membacanya. Tak lama sebuah bus berhenti di depannya. Keluar seorang nenek bertongkat dari bus.

Si Nenek berteduh bersama Lisa. Mereka bertegur sapa ringan. Mereka tidak berniat melanjutkan obrolan yang serius karena suara hujan menelan suara mereka. Lisa kembali membenamkan dirinya pada lautan kata-kata dalam buku. Ketika hujan mulai mereda, Si Nenek menyewa payung milik Lisa. Lisa mengantar Si Nenek menyeberang jalan. Si Nenek menyerahkan lembaran uang kepadanya. Dengan tersenyum Lisa menolak pemeberian Si Nenek.

“Gak usah Nek, Lisa senang bantu nenek menyeberang.”

“Tulus sekali hatimu,Nak.” Si Nenek mengusap kepala Lisa. 

Lisa membalas dengan senyum khas lesung pipitnya sambil mencium punggung tangan Si Nenek. Lisa melipat payung yang dipakai Nenek, dia kembali ke ruko. Dia berdiri kembali mendengar rintik gerimis yang jatuh satu per satu ke bumi, menghitung waktu yang semakin basah. Penantian seseorang kepada penyewa payung. 

Dia menunggu begitu tabah seperti mendung yang menjemput hujan. Setelah satu jam menanti gerimis, Lisa mengemasi payung lalu melapisi tasnya dengan plastik agar isi buku-buku sekolahnya tidak basah. Musim hujan membawa rejeki baginya. Dia biasa melakoni pekerjaan itu sehabis pulang sekolah. Rata-rata dia mendapatkan uang Rp. 20.000-Rp.30.000 tergantung ramai dan sepinya penyewa. Kali ini dia tidak mendapatkan uang dari jasa penyewaan payung. Namun dia tidak kecewa baginya dengan membantu Si Nenek tadi menyeberang sudah cukup membuatnya bahagia.

Dia pulang berjalan berjalan kaki menyusuri trotoar menuju rusun. Menempuh jarak 2 kilometer melewati pemukiman kumuh berbau busuk yang menyengat. Sebelum masuk ke gang rusun, dia mampir ke sebuah warung kecil membeli pakan kucing dan pasta gigi. Lisa biasa membeli ikan asin murah di warung sepulang sekolah untuk Blaky, kucing kesayangannya.

***

Sudah tiga tahun aku mengenal karakter Lisa dari cerbung karya Sandy Alfa. Aku telah mengenal latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, hobi, peliharaan bahkan ukuran sepatunya. Entah, tumbuh perasaan lebih dari rasa penasaran. Aku tahu ini mustahil, kurasa telah jatuh cinta kepada gadis ini. Aku telah menjadi saksi gadis belia itu tumbuh dewasa dalam kehidupannya. Aku menyaksikan setiap inci pergeseran hidupnya-yang secara detil ditulis oleh pengarang. Sungguh ironis mencintai tokoh cerita! Tetapi aku telah luluh dengan pemilik senyum yang indah dan ketulusan hatinya ketika menolong orang lain. Aku berandai menjadi tokoh cerita di dalam cerita Lisa. Tokoh yang menguatkan kerapuhan hati. Dan tokoh yang menjadi sandarannya ketika dia terjatuh.

Selama tiga tahun kisah Lisa menemani hidupku. Koran-koran koleksi kisahnya selama tiga tahun tingginya hampir dua meter. Bahkan demi mendapatkan episode 150 aku rela menempuh jarak 8 Kilometer membeli koran ke luar kota karena stok di daerah telah habis. Sepulangnya hujan turun, aku demam selama dua hari. Rupanya perjuanganku itu tidak sia-sia, sepekan kemudian koran tidak lagi menayangkan cerbung Payung dan Hujan. 

Aku sangat kecewa cerbung Payung dan Hujan sudah tamat. Iya, lebih tepatnya ditamatkan pada episode ke-150. Episode 150- yang menceritakan Lisa mengidap penyakit kronis. Pihak medis memvonis usianya tidak lama lagi. Bersamaan dengan itu dia harus putus dari sekolah agar intensif berobat. Bagiku sangat rancu sebuah kisah yang begitu menarik ditamatkan begitu saja. Rasa penasaran mendorongku menelepon pihak koran.

“Kenapa cerita ini ditamatkan, Pak?” tanyaku di telpon.

“Terima kasih Mas Arya sudah mengikuti kisah cerbung sampai saat ini, tetapi maaf dengan berat hati kami tidak lagi dapat meneruskan mempublikasi kelanjutan cerita ini.” ucap pihak koran.

“Iya, alasannya apa?”

“Karena penulis Mbak Sandy Alfa sudah memutus kerjasama dengan kami.”

“Putus kontrak? Kok bisa mendadak seperti itu padahal cerita baru sampai pengenalan konflik sebagai penulis cerita senior harusnya paham menamatkan cerita di tengah konflik itu sangat tidak profesional.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kami memahami Mas Arya sangat kecewa dengan keputusan kami. Tetapi kami hanyalah media selebihnya itu hak penulis mau menamatkan kisah atau tidak.”

“Iya tidak bisa begitu! meski hanya sebuah narasi fiksi, cerita itu mempunyai ruhnya. Cerita fiksi memiliki ruang lingkup kefiksiannya….”

Pihak koran menutup telepon dengan sengaja, aku tahu ini salahku melampiaskan amarah sepihak kepada pihak koran. Sungguh aku tidak rela kisah Lisa berakhir seperti ini. Setelah mendapat kepastian berakhirnya cerita Lisa sisa hariku terasa sangat membosankan. Ada semacam kegelisahan yang tak kumengerti. 

Ini memang gila. Aku mengkhawatirkan keselamatan Lisa. Meski itu hanya sebuah narasi fiksi, si penulis menghadirkannya begitu nyata. Setiap goresan luka Lisa terasa menyanyat di hatiku. Dan setiap tetes air matanya yang jatuh mengalir ke mataku. Ah! Aku benar mencintamu, Lisa.

Keesokan harinya aku nekad mendatangi kantor koran itu. Aku menemui redaktur sastra menanyakan alamat rumah dan kontak telepon Sandy Alfa. Redaktur menjelaskan Sandy Alfa adalah nama pena bukan nama asli. Berdasarkan data pribadi yang dikirimkan ke koran dia tinggal di daerah Menteng. 

Aku menghela nafas. Aku seolah sedang mengejar harapan yang kosong. Mencari satu orang di daerah Menteng ibarat mencari jarum ditumpukan jerami. Namun semangatku tidak pupus. Aku pulang menelusuri jejak Sandy Alfa pada potongan-potongan cerbungnya. 

Aku menghabiskan waktu dua hari membaca, menganalisis, mendata dan mencatat nama-nama tokoh, dan latar tempat cerita. Kebetulan setting tempat di daerah Menteng. Setelah mendapat data yang cukup akurat aku bergegas melakukan investigasi mencari Sandy Alfa.

***

Aku tengah berdiri di samping zebra cross lampu lalu lintas tempat Lisa menyewakan payungnya. Aku seolah mereka ulang adegan cerita. Membayangkan tokoh-tokoh itu hidup saling berinteraksi dengan tokoh lain dalam bingkai suasana cerita. Aku berjalan menyusuri jejak Lisa melaui rintik gerimis dan kenangan saksi kisahnya. Trototar jalan, gang-gang, pemukiman kumuh, warung kecil tempat dia biasa membeli pakan kucing kesayangannya dan langkah kakiku terhenti di sebuah areal mal. Tidak ada rusun yang berada di pinggir sungai kota. Cerita itu hanyalah fiksi. Kebenarannya hanya ilusi dan kesalahannya aku mencintainya. Oh Lisa!

Setelah bersusah payah menjadi detektif gadungan selama seminggu, aku pulang dengan perasaan hampa. Langkah kakiku gontai menuju rumah. Ketika hendak membuka gerbang seekor kucing mendengus kakiku.

“Blaky! Blaky, kemari!”

Aku terhenyak mendegar nama kucing itu. Aku menoleh ke belakang tengah berdiri seorang perempuan muda dengan rambut lurus tergerai.

“Maaf Blaky sudah mengganggumu, dia mudah akrab dengan orang asing.”

“Oh, iya.”

Aku mengambil Blaky di bawah kaki lalu menyerahkankan kepadanya.

“Terima kasih,” ucap perempuan itu sembari tersenyum dengan lesung pipitnya.

“Lisa? Eh, Sandy Alfa?" tanyaku spontan.

“Kamu…”

Cilacap, 2 Juni 2018

Baca Juga: [Cerpen] Sepi Menyergap Rumah Kami

Winda Efanur FS Photo Writer Winda Efanur FS

Penulis lepas, seorang pembelajar. IG : @winda_efanurfs

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya