[CERPEN] Bunga yang Kau Pesan

Bunga yang kau pesan seindah dirimu

Di bawah langit senja, matahari kembali pulang ke peraduannya. Aku selalu melihatmu yang selalu tersenyum di saat-saat seperti ini. Mengagumi dirimu yang selalu berceloteh dengan semangatnya di hadapan semua orang, baik itu tentang diriku, ibumu yang selalu membantumu, ataupun sahabat laki-lakimu yang selalu mendukungmu. Kau selalu berceloteh bagaimana sulitnya hidup jika tidak ada yang selalu mendukung dari belakang. Aku senang mendengar kau berceloteh. Suaramu merdu terlebih jika kau menyanyi.

Jalan-jalan yang kita lalui ini seakan tak berarti bagiku tapi berarti bagimu. Aku hanya bisa mengeluh dan mengeluh padamu setiap waktu dan kau sebagai pendengar setianya. Aku bertanya kepadamu tentang kita.

“Kau gak akan kehilangan apapun.”

Suatu hari kau datang kepadaku, berlari ke pelukanku. Kau menangis di pundakku dan dengan tangisan yang masih tersisa kau mengatakan kau memenangkannya. Jujur aku merasakan jiwaku telah berpisah dari ragaku. Untuk pertama kalinya kau melakukan hubungan yang serius dengan laki-laki lain tapi laki-laki itu bukanlah diriku yang selama ini diam-diam menyukaimu.

Sakura, aku ingin bertemu dengan sakura. Bukan. Kamulah yang ingin kujumpai sekarang. Mendengar suara indahmu yang dulu selalu memanggil namaku ketika kau sedih ataupun senang. Jemari kecilmu yang dahulu sangat memfavoritkan kedua telapak tanganku, aku sangat bahagia walau sekarang aku tidak bisa lagi menyentuhmu.

Pagi itu kau masuk seperti biasanya ke rumahku dengan senyum favoritku. Secangkir kopi menemani kita. Aku tau kau masih lelah, matamu selalu mengatakannya kepadaku. Sahabat laki-laki yang selalu kau ceritakan itu bahkan tidak mengetahui kau telah lelah.

“Kau bertengkar dengannya?” tolong jangan berbohong lagi Kina. Aku banyak mendengar beritamu yang selalu bertengkar dengan kekasih idamanmu.

“Berita-berita itu hanya bualan Jan, sudahlah kau tidak usah mengkhawatirkanku. I’m fine.” mata tidak pernah berbohong Kina, jangan bersilat lidah di hadapanku.

“Berhenti mengunjungiku, aku hanya sebutir pasir di hidupmu.” tidak! Itu bohong Kina, kumohon terus singgah ke rumahku. Tapi kau hanya diam bahkan tanpa kau sadari kau ikut mematikan mesin mobilmu.

“Aku benci dirimu! Jangan pernah mencari tau diriku lagi!”

Itu yang kau katakan sebelum kau benar-benar pergi dari halaman rumahku. Aku sudah berjanji kepadamu untuk tidak menangis seperti kita masih bersekolah dulu. Kini kau terlihat bahagia bersama kekasihmu itu. Pamormu yang semakin menjulang tinggi juga turut andil dalam hilangnya konsentrasimu.

Kau tidak pernah lagi singgah ke rumahku setelah kata-kataku yang terlalu tajam bagimu. Sekarang aku lah yang selalu melewati rumahmu. Setiap malam aku selalu melihat banyak acara di rumahmu. Tapi hari ini aku melihat ada yang berbeda dari rumahmu. Salah satu tamu tidak pulang dari rumahmu. Kekasihmu tidak pulang saat itu juga.

“Kina.”

Aku belum pernah mengunjungi rumahmu yang baru kau beli beberapa bulan terakhir ini. Keamanan rumahmu juga tidak lengkap. Hanya CCTV yang bertengger di depan pagar dan pintu masuk.

“Kina!”

Aku bersyukur bertemu denganmu saat itu. Kau menemaniku dengan kepamoranmu yang belum bersinar seperti saat ini. Payung hitam itu menjadi saksinya. Kau menemaniku untuk menemukan cahaya hingga aku kembali menutup sedikit cahaya itu.

Gelas-gelas kaca yang kita beli bersama bertebaran di mana-mana. Suaramu menyiksaku. Kau menangis di balik dinding putih itu. Tangis kesedihanmu. Kau jarang memperlihatkannya kepadaku. Lalu kekasihmu muncul dari balik dinding putih itu dengan segala emosinya.

“Jan.. kau di sini!”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kau memelukku erat. Suaramu semakin menyiksaku begitu kau menangis dengan seluruh perasaanmu. Pelipismu, bibirmu, rambutmu, semuanya dirusak oleh kekasihmu. Seluruhnya.

Aku adalah sang bintang yang terus memperhatikanmu di saat kau menyadari kehadiranku maupun tidak. Kau kembali ke aktivitasmu. Menjadi seorang bintang dan kembali menyinggahi rumahku jika kau punya waktu luang. Sore itu tidak banyak yang kita bicarakan. Kau masih bersama kekasih idamanmu dan aku masih dengan perasaanku ini.

“Kenapa kau tidak melepaskannya?”

Aku kembali masuk ke topik pembicaraan yang sensitif bagimu. Wajahmu tidaklah seperti yang dulu aku ketahui. Kau melakukan sedikit operasi dengan wajahmu saat itu. Aku tetap menyukaimu.

“Dia tidak akan melakukannya lagi Jan. Kapan kau akan pergi keluar dengan perempuan lain kalau kau terus menempel denganku?”

“Kalau kau sudah berhenti menyukai kekasihmu.” Kau tertawa.

“Kau tau apa yang kusukai Jan?”

Cokelat panas di cuaca yang panas dengan bacaan ringan yang sesuai dengan situasi hatimu. Kesukaanmu sangat aneh Kina. Itulah mengapa aku menyukaimu. Kau berbeda dengan perempuan lainnya.

Beberapa bulan setelahnya aku mendengar kau telah mengakhiri hubunganmu dengannya. Aku sangat senang saat itu juga. Aku juga sudah berhasil mengumpulkan apa yang sangat kau sukai. Aku ingin memberikannya padamu.

Berbagai ukuran payung berwarna hitam hilang satu persatu. Ini tempat kita pertama kita bertemu dan tempat terakhir kita bertemu. Kina Andara. Namamu terpahat indah di sana.

Keluargamu sudah meninggalkanmu. Rekan-rekan seperjuanganmu juga sudah meninggalkanmu. Mantan kekasihmu juga sudah meninggalkanmu. Hanya kau seorang di sana. Aku masih menatapmu lama dari tempatku berdiri dengan payung hitam favoritku.

“Hai Kina, akhirnya kau sudah tidak berhubungan lagi dengannya. Aku senang mendengarnya. Aku ke sini untuk menepati salah satu janjiku. Alasan mengapa aku tidak ingin keluar dengan perempuan lainnya dan terus menempel denganmu seperti parasit karena aku mencintaimu. Terima kasih Kina, aku bersyukur telah bertemu denganmu.”

Selamat tinggal Kina, kau akan selalu abadi di ingatan dan perasaanku. Hari ini aku menepati permintaanmu dan janjiku di hari itu dan kau mendapatkan Kiku yang sangat kau inginkan.

“Kau tau apa yang kusukai Jan?”

 “Kau menyukai cokelat panas.”

“Salah.” Kau menertawaiku dengan kesalahanku. Hari itu kau sangat senang.

“Aku ingin bunga Kiku darimu. Hanya darimu Jan.”

“Bukankah itu bunga kematian?”

“Aku hanya ingin bunga Kiku darimu. Aku menyukai semua yang kau beri, aku hanya ingin sebatang bunga Kiku. Aku tidak suka kau mengatakan kata kematian di depanku. Aku ingin selalu abadi di ingatanmu.”

Winda Gustianur Rahman Photo Writer Winda Gustianur Rahman

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya