[CERPEN] Meminjam Kacamata Nandi

Kacamata ajaib yang bisa melihat sisi lain wajah manusia

 

Segala yang tidak biasa awalnya terlihat menakjubkan, setidaknya mengejutkan. Seperti ketika foto Ihwan dan Nandi terpajang di koran. Bila tampil di koran bukan sebagai pesakitan, tentu menjadi kejutan walau tidak sampai menakjubkan.

Ihwan tentu merasa bangga. Fotonya dipajang dalam berita aksi demo buruh menuntut pembayaran gaji sesuai UMR. Lelaki itu tampil sebagai aktivis buruh walau perjuangannya tidaklah mudah. Ada banyak yang dipertaruhkan, dan semuanya tidaklah sepele.

Lalu Nandi, pria berkacamata itu selain merasa bangga, juga dapat honor tiap kali fotonya dipajang. Nandi mengirim banyak tulisan ke koran, dan wajahnya ikut dipajang setiap kali tulisannya dimuat. Namun tak berarti Nandi merasa puas. Penghasilan sebagai penulis lepas tidaklah menentu, yang membuatnya sering kesulitan mengatur keuangan.

Segala yang awalnya menakjubkan—atau setidaknya mengejutkan—secara berangsur akan menjadi biasa, bila terjadi dengan monoton, dan tidak berpengaruh pada apa pun. Seperti ketika Ihwan merasa semua pemberitaan dan beragam pose dirinya di koran, tidak mempengaruhi kebijakan pengusaha. Padahal perwakilan buruh telah berulangkali melakukan pertemuan dengan pihak pengusaha, anggota dewan komisi B, dan Disnakertrans. Ihwan bahkan berada pada ancaman pemutusan kerja sepihak. Ia mulai merasa jenuh.

“Aku tidak akan merasa jenuh, apalagi jera, meski berada dalam keadaan yang begitu sulit.” Kata Nandi yang bisa membaca apa yang tersirat di mata Ihwan.

“Kenapa kau bisa bertahan dalam keadaan yang sedemikian sulit?” Ihwan tentu ingin tahu. Sebab ia pernah tergoda ingin menjadi penulis, ketika melihat Nandi bisa menghasilkan uang dengan hanya duduk mengetik. Namun keinginan itu menguap usai tahu bahwa honor tulisan yang kecil, sulit cair, juga tidak menentu, yang kemudian membuat Ihwan kembali memilih pabrik sebagai sandaran hidupnya.

“Karena aku bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang. Dan aku menuliskan apa yang kulihat itu,” jawab Nandi sambil menekan lengkung pada bingkai kacamatanya. “Ada banyak yang kulihat. Berarti banyak pula yang harus kutulis. Tidak ada waktu untuk berpikir berhenti.”

“Bagaimana caranya kau melihat semua itu?”

“Kacamataku,” telunjuk kanan Nandi menyentuh bagian sisi bingkai. Ia lalu pergi membawa koleksi kacamata minus yang pernah ia pakai sejak SMA. Memperlihatkan semuanya pada Ihwan. “Kau bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang melalui kacamataku. Pilih salah satunya bila kau berminat.”

Ihwan tampak berpikir.

* * *

Ada manfaat yang dirasakan Ihwan ketika aktif di organisasi buruh unit pabriknya. Ihwan merasa dirinya berguna, bisa menyampaikan pendapat saat rapat, dan menjadi bagian dari gerakan perubahan. Ia aktif mengajak teman-temannya di boiler untuk meninggalkan sekop dan batu bara. Sebagian menurut. Sebagian lain mencibir.

“Kau tidak akan mendapatkan apa pun selain dikeluarkan dari pabrik!” begitu kata temannya yang menolak ikut demo. “Setelah itu kau akan menyesal karena sulit mendapatkan pekerjaan. Penyesalan terdalammu adalah ketika kau merasa tertipu.” Lanjut sosok yang oleh petinggi organisasi dicap sebagai penjilat dan tidak setia kawan.

Ihwan tak peduli. Demi bisa terus mengikuti gerakan, beberapa kali ia tidak bekerja. Ihwan tetap semangat manakala harapan teman-temannya mulai memudar. Sebab beberapa kali negosiasi antara perwakilan buruh dan pengusaha hanya berujung pada janji semu. Begitupun usai audiensi dengan perwakilan anggota DPRD dan Disnakertrans, yang berakhir dengan angan-angan kosong.

Namun dari sekian kali audiensi dan negosiasi itu, Ihwan tidak pernah sekalipun dilibatkan. Selain anak baru, cara bicara dan pengetahuannya pun dianggap tidak memenuhi kriteria. Ihwan berada di barisan depan ketika terjadi aksi teriak-teriak. Suaranya lebih nyaring dari klakson bus kota, dan bisa bertahan lama tak ubahnya lolongan anjing hutan.

Ihwan merasa ada yang tidak beres ketika keadaan tak kunjung berubah. Bahkan lebih buruk ketika si mister pemilik pabrik bertindak agresif. Pria botak itu mengunci pabrik, dan baru membukanya saat tiba waktu pulang. Karyawan tidak bisa keluar ruangan pabrik pada jam istirahat. Makan dan salat di dekat mesin produksi. Sekalinya ada yang protes, dimarahi habis-habisan, hingga ada buruh perempuan yang pingsan.

Karyawan lain diliburkan. Sebagian dipecah menjadi tiga shift. Melihat kondisi yang sudah semakin memburuk, Ihwan teringat pada Nandi. Ia penasaran dengan kacamata Nandi yang konon bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang. Ihwan pun mencobanya. Memilih kacamata yang minusnya paling kecil, bingkainya menarik, dan nyaman digunakan.

Seperti de javu, Ihwan kembali merasakan keadaan yang sama, ketika segala yang tidak biasa awalnya terlihat menakjubkan, setidaknya mengejutkan. Dan sungguh mengejutkan! Pertama kali memakai kacamata Nandi ke pabrik, Ihwan melihat ada banyak kuda yang berseragam karyawan pabrik. Mereka berdiri layaknya manusia. Mengenakan sepatu—bukan tapal kuda. Tangannya pun memiliki sepuluh jari. Mereka bekerja menjalankan mesin-mesin produksi.

Manusia kuda itu—bila layak disebut demikian—menyapa Ihwan seperti biasa dengan suara khas ringkikan. Ihwan nyaris tak mengenali siapa yang menyapa, bila tidak melihat dari bordir nama yang ada di seragam. Tentu Ihwan tak merasa takut. Sebab di antara kumpulan manusia kuda itu masih ada manusia yang tetap terlihat manusia. Anehnya, di antara manusia yang tetap terlihat manusia itu, adalah orang-orang yang dicap penjilat dan tak setia kawan oleh petinggi organisasi unit pabriknya.

“Tuhan, apakah wajahku juga berubah?” Ihwan mulai sangsi dengan dirinya sendiri. Segera berlari ke depan cermin yang ada di luar gudang grey. Dengan mengenakan kacamata Nandi, Ihwan mencermati wajahnya sendiri: hidung pesek, mata agak sipit, pipi tirus, dan kening yang lebar. “Syukurlah wajahku masih utuh.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Untuk meyakinkan bila ia tidak sedang berhalusinasi, Ihwan pun melepas kacamata Nandi. Kembali mengedarkan pandangan ke sekililing. Dan benar! Apa yang dilihatnya kini semuanya berwujud manusia. Ihwan memakainya lagi. Berubah lagi ada sekumpulan buruh yang menjadi kuda. Melepas kacamata, kembali menjadi manusia.

“Hai kawan,” sapa ketua unit. Di belakangnya ada empat orang koordinator aksi yang biasa mewakili buruh dalam rapat dengan perwakilan pengusaha maupun birokrasi.

“Hai, juga kawan! Bagaimana hasil audiensi dengan dinas seminggu yang lalu?”

“Ada beberapa kendala. Tapi kita tetap yakin, bila kita akan menang. Hidup buruh!” katanya diakhiri dengan mengepalkan tangan ke udara. “Mari kawan,” orang itu pun melangkah bersama empat orang di belakangnya.

Dengan mata kepalanya sendiri, Ihwan melihat mereka berwujud manusia. Namun ia lupa, saat berpapasan tadi, Ihwan tidak mengenakan kacamata Nandi. Ihwan pun segera mengenakannya, lalu menatap para petinggi organisasi buruh unit pabriknya.

“Astagfirullah…” Ihwan tersentak kaget. Melalui kacamata Nandi, ia melihat ketua unit berubah menjadi manusia ular. Empat orang dibelakangnya pun berubah menjadi manusia keledai, babi, anjing, dan kerbau.

* * *

Kemarin malam hujan kembali mengguyur Majalaya setelah lima hari cuaca terasa begitu panas. Tanah berdebu seolah melantunkan kerinduan. Gumpalan awan hitam itu masih betah menggayuti langit hingga keesokan paginya. Hari pun terlihat muram.

Di sebuah warung di pinggir jalan, Ihwan sedang merokok sambil menikmati kopi hitam. Nandi ada di sebelahnya dengan segelas sereal gandum. Seperti biasanya, pagi ini Nandi membaca koran: sebuah koran lokal yang memajang foto Ihwan dan kawan-kawannya di halaman depan—masih tentang demo menuntut pembayaran upah sesuai UMR.

“Kau jadi artis hari ini, teman.” Nandi menunjuk foto Ihwan yang sedang audiensi.

Ihwan menanggapi dengan segurat senyum yang dipaksakan. Melihat Nandi tenggelam menyelami berita, wajah Ihwan berubah masam. Ia sedot lebih dalam rokoknya. Merasa udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya.

“Rupanya kau menjadi perwakilan buruh dalam audiensi di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Ada Kemajuan juga kau.”

Kali ini Ihwan merasa tertampar. Sisi lain dari mengenakan kacamata Nandi adalah ia mendadak cerdas dan bicaranya berbobot.

“Kau memakai kacamataku waktu bergosip dengan orang-orang birokrat,”

“Bergosip?” Ihwan mendengus. Lalu teringat kacamata yang dipinjam dari Nandi, yang rencananya akan dikembalikan hari ini.

Kacamata itu tidak cocok untuknya—tepatnya buat kehidupannya. Selama memakai kacamata Nandi, satu persatu manusia yang masih berwujud manusia disingkirkan. Baik dipecat oleh si mister, maupun dikonfrontasi oleh si manusia ular.

Ihwan yang kemudian dianggap masuk kriteria, diajak menjadi perwakilan buruh. Ternyata ketika audiensi dengan pengusaha, Disnakertrans, termasuk di salah satu ruang dewan—yang ternyata bukan anggota dewan melainkan PNS yang diperbantukan, terjadi praktek transaksional. Ihwan yang punya idealisme tinggi, menolak segala bentuk suap.

“Kau tak usah munafik. Setelah semua ini dianggap selesai, kau bisa keluar dari pabrik dengan cap pahlawan. Kau bisa buka usaha, atau menyogok relasi kami untuk kerja di tempat lain.” Begitu rayuan si manusia ular.

Akhirnya, untuk terakhir kalinya, Ihwan mengenakan kacamata Nandi. Berkaca melalui kamera depan. Melihat potret dirinya yang telah sempurna menjadi manusia tikus. Segala yang tidak biasa akan menjadi lumrah bila dibiasakan. Ihwan pun mulai terbiasa bekerja di antara kuda, keledai, kerbau babi, anjing, dan tentu saja.., ular!

* * *

Majalaya, April 2016

 

Yadi Karyadipura Photo Writer Yadi Karyadipura

Menulis bukan hanya merekam jejak atau mengenang masa lalu, tapi juga refleksi atas keadaan saat ini, dan apa yang bisa dilihat di masa depan. Yadi Karyadipura juga dipakai untuk nama akun facebook, twitter, dan instagram.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya