[Cerpen] Putri Cemburu

Karena tak semestinya cemburu itu ada...

 

Pernahkah kalian merasakan ini, perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya? Perasaan cemburu yang seharusnya tidak ada. Perasaan galau pada hal yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. 
Dan perasaan itu sedang melandaku. Cemburu yang salah.

"Hei."
"Hah?"
"Iya hei, kamu..." Seorang anak laki-laki menunjukku. "Ambilkan sekop."

Sekop? Dia menyuruhku mengambil sekop? Sementara dia malah menggoyang-goyangkan kaki. Duduk santai di kursi goyang oma di beranda rumah. Aku menggerutu tidak karuan. Merasa sebal dengan tingkah anak laki-laki itu. 

"Emang kamu siapa heh? Suruh-suruh orang. Ambil sendiri tuh sana," dengusku sambil berlalu pergi. Mengabaikan perintahnya.

Saat masuk ke dalam aku hampir bertabrakan dengan Oma.

"Sekopnya kasih sebentar ya ke pangeran kecil." Maka melangkahlah aku dengan perasaan tidak menentu. Memberikan sekop kecil padanya lalu berdiri di samping Oma.

"Kalian suatu saat nanti juga akan seperti kucing malang ini. Terkubur dalam peristirahatan terakhir. Sangat damai jika kalian menginginkan kedamaian itu sekarang." Sambil berkata Oma mencabut rumput di sekitar gundukan tanah tempat mengubur si kucing.

"Oma," panggil anak laki-laki itu.

Belum habis Oma menoleh dia sudah kembali berkata, "Memangnya cuman kami berdua yang seperti kucing ini? Emang Oma gak seperti kucing ini?" Mendengarnya Oma tertawa riang. Dia mungkin tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari si sok tahu ini. Tetapi pertanyaan ini justru bukanlah tentang kematian. Sungguh jika kami sekarang berpikir Oma sedang mengingatkan kami tentang kematian, maka semua itu salah. Tidak ada kematian dan sangkut pautnya dengan kucing. Ini semua murni cinta. Dan Oma punya firasat lebih tinggi dari siapapun.

Lima tahun kemudian setelah insiden kematian si kucing. Kami sama-sama baru menjadi siswa baru di SMA Jaya Budi. Salah satu sekolah yang dananya berasal dari yayasan Ayah Wawan.

Aku dan Wawan semenjak kejadian itu selalu bersama. Ya meskipun kebersamaan kami lebih banyak bertengkarnya daripada baikan. Ayah Wawan dan ibuku adalah sepupu. Jadi kami masih tergolong kerabat dekat.

Kami berdua bermain bersama, saling rebutan benda apa saja. Dibelikan baju yang sama oleh Oma. Liburan keluarga bersama dan lebih banyak pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara kami.

"Wawan akan bersekolah di luar negeri. Dia akan mengikuti program pelatihan disana selama 6 bulan."

Aku mendengar Oma dan Ayah Wawan lagi bicara di ruang tamu. Sementara aku mengendap-ngendap dari balik sofa. Mencoba mendengar percakapan.

"Biarlah dia pergi," suara Oma melemah. Tampak sedih. "Mungkin waktukku sebentar lagi. 

"Jangan katakan itu."

"Anakku satu per satu akan pergi. Pergi untuk meneruskan hidupnya. Sekarang cucuku pun akan pergi satu persatu. Hanya tinggal aku. Aku akan menjaga rumah ini sampai nanti Senna akan melanjutkan tugasku. Dan ingat apapun yang terjadi jangan pernah jual rumah ini. Rumah ini harus tetap ada yang jaga. Aku percaya Senna akan menjaganya saat aku tidak ada nanti."

Ayah Wawan mengusap kumisnya sambil menghela nafasnya. Ada perasaan ketir di hatinya. Di dalam keluarga kami tidak ada yang lebih istimewa dari sejarah rumah dan perjalanan hidup Oma sendiri. Kisah perjuangan Opa membangun rumah ini dan kisah cinta dan kasih sayang antara Oma dan anak-anaknya. 

Tapi kali ini kisahku dan Wawan lebih banyak mengambil peran. Karena aku tidak menyadari bahwa kebersamaan kami menumbuhkan perasaan di hatiku. Maka kepergiannya ke luar negeri telah membuat hatiku patah sekali.

"Hei Kucing, sini ambil kuenya," kata Wawan sok ngatur.

"Aku sudah kenyang," jawabku ketus.

"Yeee sapa juga yang mau kasih ke kucing betina. Mending aku makan sendiri." 

Sore itu Wawan datang membawa kue. Menjulurkan bungkusan plastik putih yang di dalamnya sudah ada satu kotak kue. Dari tangannya aku bisa melihat bahwa itu brownis bakar kesukaanku. 

"Ini semua untuk Oma," katanya dengan mulut penuh dengan kue. Lucu sekali melihatnya seperti itu. 

"Kenapa ketawa?"

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

" Siapa yang ketawa? Aku hanya senyum kok."

Kutarik bungkusan di tangannya dan aku langsung berlari ke dalam. Tadi itu...kenapa aku menatapnya cukup lama? Perasaan ini sepertinya sudah menggila. Ah untung saja Wawan tidak curiga.

Setelah banyak waktu pertengkaran yang kami lewati dan kami sendiri tidak mengerti kenapa sering bertengkar. Akhirnya Wawan pergi.

Hari keberangkatan. 

Wawan berdiri gagah di samping Oma. Memperhatikan sekitar. Sepertinya dia sedang mencari sesuatu. 

"Sudahlah dia takkan datang," Kata Oma.

"Sebentar lagi Oma." 

"Pesawatmu akan segera berangkat Nak. Jangan menunggunya. Kalian ini seperti..."

Belum habis kata-kata Oma dan belum habis semua penjelasan atas rasa gelisah Wawan, aku muncul disana. 

Aku dan Wawan hanya bertatapan sebentar. Dan bayangkanlah tentang drama di film-film tentang perpisahan antara dua orang yang sudah lama bersama dan tiba-tiba harus berpisah, sudah jelas akan sangat romantis dengan tangis haru dan seribu perasaan pecah lainnya. Nyatanya dalam drama hidupku dengan Wawan adegan seperti itu tidak ada. Tidak ada atau aku saja yang terlalu berharap.

Setelah melihatku sekilas dia langsung menyalami Oma. Mencium tangan Oma lama dan kemudian berbisik sesuatu.

Kemudian dia melakukan hal yang sama pada ayahnya. Kurasa giliranku nanti dia hanya akan tersenyum kecut sambil mengejek kucing betina.

Tapi bayanganku jauh lebih baik dari kenyataan. Lihat saja. Dia berlalu begitu saja. Tanpa menoleh, basa-basi, apalagi tersenyum. Oh Tuhan, kali ini hatiku patah untuk kedua kalinya. 

Tiba-tiba aku justru dia ingin mengejekku. Memanggil namaku kucing betina. Kemudian kami bertengkar. Aku ingin kami melakukan itu sebelum dia pergi.

Lantas harapanku buyar. Kosong. Itu adalah hari patah hatiku yang kedua yang disebabkan oleh orang yang sama. Hingga bertahun kemudian. Saat ingatanku mulai pudar tentang dia. Sebuah undangan mewah sampai ke rumah.

"Nessa, bulan depan kita akan ke sana. Kamu harus siap-siap. Batalkan semua schedule. Kita harus melihat hari kebahagiaan Wawan."

Aku tahu setelah 7 tahun keberangkatannya. 

"Wawan akan menikah dengan wanita pilihannya sendiri. Cantik. Pintar. Dan juga dari keluarga yang terpandang." Nenek sudah mengatakannya seminggu yang lalu. 

Sebulan sebelum dia menikah amplop mewah berwarna emas terletak di meja riasku. Oma sengaja meletakkannya disana. Aku tidak membuka amplop itu. Untuk apa? Untuk membuat hatiku patah untuk ketiga kalinya?

Maka sengaja kudiamkan. Oma beberapa kali bertanya bagaimana pendapatku tentang pernikahan Wawan. Menanyai desain amplop yang menarik. Menceritakan konsep pernikahan nanti, dan yang terakhir Oma bertanya, kenapa akhir-akhir ini nafsu makanku berkurang.

Seminggu sebelum hari H kami sudah berada di pesawat. Setelah berdebat panjang lebar dengan Oma akhirnya aku menyerah. Mencari cara agar nanti tidak bertemu dengan Wawan. Mungkin aku akan berpura-pura jalan-jalan atau berkeliling kota sana. Ah urusan ini sangat rumit. Hatiku masih belum bisa berdamai.

Dalam perjalanan Oma sempat membisikkan sesuatu ke telingaku, "Jangan coba-coba untuk kabur tuan putri. Karena pangeran sudah menunggumu disana."

***

yenny anggraini Photo Verified Writer yenny anggraini

Berusaha menjadi lebih baik

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya