[CERPEN] Hukum Membunuh Cicak

Saya takut jika saya biarkan, kelak dia jadi psikopat. 

JODDY baru delapan tahun umurnya, tetapi malam ini dia sudah membunuh sembilan ekor cicak. Sebagai ayahnya, lumrah jika kemudian saya menanyakan alasan dia membunuh cicak-cicak itu. Saya takut jika saya biarkan, kelak dia akan tumbuh jadi pembunuh berantai atau bahkan psikopat.

Dia kemudian bilang kalau membunuh cicak pada Kamis malam bisa membuat dia masuk surga. Lantas saya bertanya lagi, "Tahu dari mana kalau membunuh cicak bisa membuatmu masuk surga? Membunuh itu 'kan perbuatan jahat." Dia menjawab begini, "Ini bukan hanya soal membunuh cicaknya, Yah. Tapi Ayah harus melakukannya pada waktu Kamis malam seperti sekarang ini. Ayah akan dapat pahala untuk setiap cicak yang berhasil Ayah bunuh. Semakin banyak pahala yang Ayah dapatkan, 'kan semakin besar kesempatan Ayah masuk surga."

Saya merasa tersengat mendengar Joddy mengucapkan hal tersebut sebab tak pernah saya mendidik Joddy jika itu menyangkut surga-neraka atau dosa-pahala. Selama ini saya hanya menunjukkan kepadanya mana yang baik dilakukan dan mana yang sebaiknya dihindari. Itu saja. Lagi pula, bagi saya, tidak relevan buat Joddy mengenali hal-hal semacam itu saat ini. Saya lebih senang kalau Joddy membicarakan soal Matematika atau kegiatannya di sekolah.

Maka saya pun menarik kesimpulan bahwa ini biang keladinya pasti mertua saya yang tak lain adalah kakeknya Joddy yang belakangan ini saya sering memergoki mereka terlibat dalam suatu video call. Sialan, saya bahkan tidak pernah mengajari Joddy membunuh lalat.

"Apa Kakekmu yang memberi tahumu soal ini?" Tanya saya, mencoba mengonfirmasi.
"Enggak penting siapa yang memberi tahuku," kata Joddy seraya menenteng sebatang kayu sebagai senjata perburuannya. Dia berlari-lari di dekat dinding sambil sekali dua kali mendongak ke langit-langit. "Sebaiknya Ayah ikut berburu cicak denganku supaya Ayah masuk surga bersamaku."

"Joddy, kamu sudah membunuh sembilan cicak," kata saya setelah menghitung bangkai-bangkai reptil kecil itu yang teronggok di lantai. "Ayah yakin, sudah enggak ada cicak tersisa di rumah ini."

Joddy masih saja melanjutkan perburuannya, tak memedulikan omongan saya bahwa bagaimanapun, membunuh binatang yang keberadaannya tidak merupakan suatu ancaman adalah perbuatan seorang pengecut.

Saya merasa bahwa Joddy makin besar makin melawan saya. Dan aksi-aksi pembakangannya ini sudah dapat saya pastikan ada hubungannya dengan mertua saya. Orang tua sialan itu sepertinya ingin mengambil Joddy dari saya. Tak akan saya biarkan itu terjadi. Maka saya permisi sebentar dari hadapan Joddy bermaksud melakukan panggilan penting ke mertua terkutuk itu.

Tiga kali saya meneleponnya, tiga kali pula orang tua jahanam itu tidak menerima panggilan saya. Ingin sekali saya menelepon istri saya, memintanya menegur ayahnya, tetapi sayangnya dia sudah berbaring di kuburan.

Sebal karena manusia sialan itu tak mengangkat panggilan, maka saya kembali ke Joddy, mencoba membujuknya melupakan apa pun yang pernah dikatakan kakeknya. Namun, saya tidak tahu apa saja yang telah dikatakan si tua brengsek bau minyak tanah itu. Wah, seandainya saja dia ada di depan saya, dengan senang hati saya akan mendorongnya hingga tersungkur ke lantai, membentur-benturkan kepalanya ke tembok, biar sekalian dia ketemu dengan putrinya di kuburan.

Saya mendekati Joddy, melihatnya tampak bangga dengan sebatang kayunya. Tapi dengan sebatang kayu itulah dia telah jadi pembunuh. Seandainya mertua saya tadi mengangkat teleponnya, saya pasti akan mengatakan situasi yang terjadi sekarang dan bertanya, "Setelah cicak, apa lagi? Katak? Kucing? Kambing? Teman sekolahnya?" Pokoknya akan saya labrak habis-habisan. Kalau perlu saya akan meludahinya lewat gelombang elektromagnetik! Saya akan menceramahinya sampai dia menyesali perbuatannya.

Saya juga akan menjelaskan padanya bahwa kejahatan besar bermula dari kejahatan kecil. Mungkin hari ini Joddy “hanya” membunuh cicak, tetapi sebagaimana manusia yang memiliki kecerdasan, dia akan berkembang dan meningkatkan kemampuannya. Lima tahun, sepuluh tahun lagi, Joddy bisa saja menembakkan pistol ke kepala seseorang.

Saya tahu mertua saya akan membela dirinya dengan berbagai dalih karena dia memang pintar berdalih. Dan misalnya bajingan itu memintaku agar tidak mempermasalahkan perkara cicak ini, menganggap ini semua hanya soal sepele, saya akan bilang padanya bahwa saya bukannya membela cicak, seolah-olah saya punya ikatan emosional dengan cicak, seolah-olah saya bapaknya cicak.

Saya akan tegaskan bahwa saya tidak membela binatang apa pun karena saya juga mustahil membela ayam-ayam yang setiap hari digorok, ikan-ikan lele yang setiap hari digetok kepalanya, begitu pula dengan kambing dan sapi yang setiap hari dikuliti untuk diambil perabotannya.

Semua itu tentu di luar kendali saya. Dan ketika dia sudah kehabisan dalih, dia akan menghakimi saya sebagai orang yang kekanak-kanakan, membesar-besarkan persoalan yang remeh. Pada akhirnya saya akan katakan padanya bahwa saya tidak suka dia ikut berperan dalam mendidik Joddy.

"Jodd, ayo masuk," kata saya. Saat itu mungkin sekitar pukul delapan malam, saya takut dia nanti masuk angin. Karena dia masih bandel dan saya tak ingin menggunakan cara-cara yang memaksa, saya bujuk dia, "Kamu sungguh-sungguh ingin masuk surga, Jodd?"

"Iyalah! Emangnya Ayah enggak?"

"Enggak," kata saya.

Begitu mendengar pernyataan saya tadi, Joddy melesatkan pandangannya pada saya, mulutnya menciut, alisnya tertekuk.

"Apa kamu pikir di surga semua permintaanmu bakal terwujud?" tanya saya.

"Kata Kakek itu sebagai imbalan karena kita sudah berbuat baik. Kata guru di sekolah juga 'gitu."

Joddy akhirnya tanpa sengaja mengatakan satu fakta yang tak mengejutkan saya, bahwa benar ini semua akibat pergaulan bebasnya dengan kakeknya akhir-akhir ini. Saya harus mulai memikirkan cara-cara mutakhir supaya hubungan mereka berdua renggang, bila perlu serenggang hubungan saya dengan mendiang istri saya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Hmm, kata Kakek, ya? Apa Kakekmu pernah masuk surga? Pastinya belum pernah," kata saya. "Asal kamu tahu, Ayah punya teman yang pernah masuk surga. Dan dia balik lagi karena dia nggak mendapatkan apa yang diinginkannya di sana."

"Oh, ya?! Emang keinginannya teman Ayah tadi apa?"

"Uhhh, akan Ayah kasih tahu kalau kamu masuk ke rumah, pergi ke kamar mandi, sikat gigi, cuci tangan dan kakimu. Tunggu aku di kamarmu. Oke?"

“Oke, Yah,” kata dia. “Minggu depan kita berburu cicak, oke, Yah?"

Dengan jijik dan malas saya jawab, "Iya, oke."

“Janji?” Dia menyodorkan kelingkingnya pada saya.

“Iya, janji,” kata saya sambil jongkok dan menyambut kelingkingkingnya, lalu dia berlari masuk ke rumah.

Di teras saya masih duduk berjongkok, berkabung sedalam-dalamnya atas kesembilan cicak yang telah gugur karena ulah anak saya.

Atau lebih tepatnya, karena ulah mertua saya. Tentu dialah yang harus bertanggung jawab atas pembantaian cicak-cicak ini. Ingin sekali saya mengubur mereka dengan layak tapi saya malas. Akhirnya pemakaman saya kerjakan secara seenaknya saja dengan menggali tanah di pot tempat berakarnya tanaman hias saya. Satu per satu jenazah cicak-cicak malang itu tertumpuk di liang lahatnya yang ala kadarnya. Saya harap mereka menjadi kompos yang subur untuk Janda Bolong saya.

Keinginan saya menelepon kakeknya Joddy makin bertambah-tambah sebab berkat dialah saya harus berurusan dengan ini semua, membuat tangan saya kotor. Jadi, saya coba menghubunginya kembali. Seperti yang sudah-sudah, setelah beberapa kali saya menghubunginya, membuat teleponnya berdering, tetap saja bajingan tengik itu tidak mengangkat teleponnya. Saya gemas.

Seusai upacara pemakaman sembilan cicak tadi, selanjutnya giliran saya menjebloskan diri ke kamar mandi, cuci tangan dengan sabun, gosok gigi, dan mengguyur kaki saya satu dua kali lalu mengeringkannya dengan keset.

Saya rasa Joddy sudah tidak sabar mendengar kisah teman saya yang masuk surga yang sebenarnya hanyalah tipu muslihat saya saja. Saya sadar yang saya lakukan ini adalah tindakan yang tak dapat dibenarkan. Saya juga tahu ini akan melukai perasaan dia suatu saat, mengetahui bahwa ayahnya telah mengibulinya, mengetahui bahwa tidak pernah ada dalam sejarah mana pun seseorang telah masuk surga dan kembali ke dunia. Atau mungkin, dia tidak terluka, tetapi kesal dengan saya lalu mengajak saya berkelahi. Apa pun yang akan terjadi, saya siap dengan risikonya.

Saya berjalan ke kamar Joddy. Pintunya setengah terbuka. Begitu saya masuk ke sana dia sudah tertidur pulas. Awalnya saya kira dia pura-pura sebab dia kadang iseng berpura-pura tidur kemudian membuat gerakan mendadak disertai teriakan horor untuk mengagetkan saya. Saya tidak senang ketika dia melakukan itu. Namun ternyata ketika saya berdiri satu meter darinya, menungguinya beberapa saat, dia tidak juga membuat gerakan mendadak dan mengagetkan saya.

Kesimpulan saya, dia benar-benar tertidur. Mungkin dia kelelahan setelah berburu tadi. Saya jadi kasihan, tetapi saya juga lega sebab saya tidak perlu membohonginya soal teman saya yang masuk surga dan kembali ke dunia karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.

Melihat Joddy tidur dengan posisi yang ngawur, jiwa keayahan saya meronta-ronta. Saya membenarkan posisinya tidurnya, meluruskan tangan dan kakinya, lalu mengecup keningnya. Dan ketika saya menarik selimutnya yang tergulung di dekat kakinya, tidak ada angin tidak ada hujan, seekor cicak dengan santainya piknik di atas selimut tersebut.

Saya memelototinya, dan cicak itu malah berani-beraninya buang kotoran di selimut Joddy. Kurang ajar. Tentu saya tidak tinggal diam. Saya tak ingat kapan terakhir kali saya membunuh binatang, tetapi malam itu badan terasa dipenuhi oleh adrenalin. Saya murka melihat setitik kotoran hitam di selimut itu, dan saya lebih murka semurka-murkanya kepada pelakunya.

Spontan saya mengambil apa pun yang bisa saya pakai untuk menghabisi cicak nakal tersebut. Karena di kamar Joddy adanya pentung, entah untuk apa pula ada pentung di kamar anak ini, saya ambil saja. Konyolnya, ketika pentung itu saya angkat ke udara, bersiap menghancurkan makhluk kecil pucat tersebut, saya tertahan karena masih ada Joddy di balik selimut itu.

Wah, saya hampir mementung anak saya. Maka setengah teriak setengah berbisik, saya memanggil-manggil Joddy supaya dia bangun dari tidurnya. Saya dorong-dorong dia dengan pentung itu. Namun bukannya membuat Joddy terbangun, tindakan saya tersebut justru membikin cicak itu kabur meninggalkan kotorannya di atas selimut.

Cicak itu pasti bersembunyi di suatu tempat di sela-sela ranjang, maka kupukul-pukul ranjang itu. Dan rupanya ampuh. Cicak itu rontok ke lantai. Saya melambungkan pentung ke udara, lalu menumbukkannya ke sasaran tapi sayangnya dia menghindar. Ia melompat ke meja belajar Joddy. Saya pun menggempur meja itu dengan pentung saya. Setelah meja itu ringsek, cicak itu nongol kembali. Terkutuk!

Dengan lincahnya ia berpindah ke lemari. Saya pun menyerbu lemari hingga membuat kaca lemarinya remuk, daun lemarinya copot, dan saya punya firasat bahwa cicak itu belum mati. Jadi, saya robohkan lemari itu, dan firasat saya terbukti tatkala puluhan cicak berbondong-bondong kabur dari persembunyiannya di balik lemari.

Mungkin saya terlalu memedulikan cicak-cicak itu sampai saya tidak sadar kalau Joddy berdiri di samping saya. Jelaslah kegaduhan yang saya bikin telah membangunkannya dari tidurnya.

Saya perhatikan Joddy telah menggenggam sebatang kayu yang tadi digunakannya untuk berburu cicak. Kemudian sambil mengangkat senjata kebanggaannya, dia dengan antusiasnya mengajak saya mengumpulkan pahala.***

Baca Juga: [CERPEN] Daging Babi Halal

yusfani Photo Writer yusfani

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya