[CERPEN] Kemelut Hati Raya

Haruskah Raya mengindahkan keinginan orang lain?

Untuk kesekian kalinya Raya kembali menatap selembar foto laki-laki yang tidak dikenalnya dengan tatapan sendu. Hatinya gelisah, air mata tak henti menetes dari kedua mata bening gadis dua puluh sembilan tahun itu. Tadi siang, Anita sahabatnya datang ke rumahnya hendak menjodohkan dirinya dengan Andri, sepupunya yang belum juga menikah.

Jika Raya bersedia, keluarga  Andri akan datang untuk melamar, semua biaya lamaran maupun pernikahan akan ditanggung oleh pihak keluarga Andri. Raya hanya bisa menghela nafas, dirinya tak kuasa menolak namun tak kuasa juga menerima. Anita memberikan waktu satu minggu untuk Raya berpikir sembari menyelipkan selembar foto laki-laki yang disinyalir adalah Andri. Untungnya pembicaraan itu tak didengar oleh orangtua Raya, jika mereka mendengarnya, tentu mereka akan mengiyakan tanpa harus meminta persetujuan dari Raya.

Melihat usia Raya yang sudah hampir kepala tiga dan sudah waktunya membina rumah tangga, pasti setiap orangtua yang memiliki anak perempuan di usia itu dan belum menikah merasa khawatir, takut anak perempuannya dicap sebagai perawan tua oleh orang-orang.

Dari penuturan Anita mengenai Andri sebenarnya tidak ada masalah. Andri adalah laki-laki yang baik, taat pada orangtuanya dan juga sosok pekerja keras. Namun, sisi hati Raya seolah tengah bergejolak sehingga menimbulkan kegalauan yang tak ada ujung. Seminggu yang lalu Raya sudah meminta bantuan temannya Nawang untuk mengungkapkan perasaannya pada seorang laki-laki bernama Ayas.

Ayas adalah teman SMA Raya yang disukainya sejak dulu. Setelah sepuluh tahun tak bertemu semenjak kelulusan SMA, Raya dipertemukan lagi dengan Ayas melalui media sosial. Apalagi mendengar Ayas belum menikah, perasaan yang dulu sempat luntur kembali bersemi. Namun, setelah Raya mengungkapkan perasaannya dengan menggadaikan rasa malunya melalui Nawang sebagai perantara, Ayas sama sekali tidak menjawabnya.

Berkali-kali Raya menanyakan pada Nawang bagaimana respon Ayas padanya, namun jawaban Nawang tetap sama, “belum dijawab.” Hati Raya lunglai, dirinya merasa telah mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Di kamar, Raya masih dengan kebimbangannya yang seperti tak menemukan muara, sebagian dirinya yang lain mengatakan bahwa jangan menggadaikan sesuatu yang sudah pasti dengan sesuatu yang belum pasti, nanti penyesalan yang akan didapat. Tapi hati kecilnya berkata, dia ingin memperjuangkan cinta yang menurutnya berharga. Ah, cinta, kenapa perasaan itu hadir di waktu yang tidak tepat?

“Apakah umur kita akan sampai melihat anak perempuan kesayangan kita duduk di pelaminan?” Terdengar suara ayah Raya di ruang TV yang hanya dibatasi oleh pintu kamar Raya yang tidak kedap suara.

 “Ah, tidak tahu, aku sudah tua, tubuh ini juga seperti tidak bisa menerima beban lagi, sudah terasa sakit di mana-mana.” Jawab ibu Raya dengan suara tercekat seperti tengah menahan tangis. Entah apa lagi yang diobrolkan orangtua Raya, Raya sudah tak dapat mendengarnya lagi, dirinya tengah bergelut dengan tangisnya yang seolah tak ingin berhenti.

**

Matahari pagi menusuk mata Raya yang sembab, dirinya tengah menjemur pakaian di halaman rumah. Beberapa burung gereja terlihat sedang mencari-cari makanan di sekitar halaman rumah Raya yang dipenuhi oleh berbagai macam tanaman. Dari kejauhan terdengar suara anak-anak tetangga yang riuh hendak pergi ke sekolah.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Terkadang Raya berpikir betapa asyiknya menjadi mereka, entah itu menjadi burung gereja ataukah menjadi anak-anak, mereka sama-sama bebas tanpa ada belitan permasalahan apa pun di pikiran mereka. Namun dengan cepat pikiran negatif itu ditepis Raya, seolah dirinya tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan.

Setelah selesai berjibaku dengan urusan dapur dan rumah, Raya hendak membuka laptopnya untuk menyelesaikan novel yang hendak dia kirim ke penerbit. Sesekali di sela-sela menulis, Raya membuka-buka ponselnya dan berselancar di dunia maya, melihat teman-teman seangkatannya yang hampir semuanya sudah menikah. Bahkan dia menerima kabar bahwa salah satu temannya yang bernama Nur akan segera melangsungkan pernikahan.

Raya kaget, karena Nur merupakan orang yang sangat introvert, cenderung antisosial dan hampir tidak memiliki teman. Kembali Raya diingatkan, bahwa seseorang pastinya akan mengalami perubahan, tidak akan selamanya stagnan. Raya membandingkan Nur dengan dirinya, yang siklus hidupnya seolah diam tak beranjak. Hati Raya seperti diiris-iris, bukan karena tak bahagia dengan kabar Nur yang akan segera menikah, namun Raya menangisi hidupnya sendiri yang tidak berguna.

Dirinya pun masih belum memutuskan hendak bagaimana, sesekali dirinya menatap pesan WhatsApp entah itu dari Nawang ataupun Ayas, setidaknya untuk mendengar kabar tentang sesuatu yang sangat penting menurutnya. Namun, ponselnya sama sekali tidak menandakan apa-apa.

Terkadang Raya marah pada Ayas, kenapa dia membuatnya bingung setengah mati dengan tidak menjawab apa yang ditanyakan Nawang padanya. Apakah tindakan Raya berkata jujur tentang perasaannya membuat Ayas berpikir bahwa Raya perempuan rendahan?

Namun di sisi lain, Raya juga menyalahkan dirinya sendiri betapa bodohnya dia sampai menyimpan rasa pada seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Mungkin saja Ayas sudah banyak berubah, tidak seperti Ayas sewaktu masih SMA dulu. Bisa saja di luar sana Ayas tertawa-tawa membanggakan dirinya sendiri bahwa ada perempuan bodoh yang menyukainya begitu lama.

Jika Raya lebih menuruti perasaannya terhadap Ayas, dia harus siap menanggung ketidakpastian yang suatu ketika bisa saja menghancurkan hatinya, seperti Ayas yang mungkin lebih memilih perempuan lain tanpa mengindahkan perasaan Raya sedikit pun. Ah, memikirkannya saja hati Raya sudah sedemikian sakit.

Pikiran Raya masih diliputi bayang-bayang Ayas yang sebenarnya ingin disingkirkan. Namun bayang-bayang Ayas tak juga hilang dari pikirannya. Raya segera menutup laptopnya dan beranjak mengambil kunci motor lalu pergi dengan motornya entah ke mana, sembari membawa kemelut di hatinya.***

 

Tasikmalaya, 19-09-19

Baca Juga: [CERPEN] Jatuh dan Patah Padamu

Asih Purwanti Photo Verified Writer Asih Purwanti

Menulis adalah cara untuk melarikan diri

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya