[CERPEN]  Pertemuan Dua Hati

Perasaan Raya masih sama...

Raya menatap beberapa kertas yang berserakan di lantai kamarnya, dirinya duduk di tepi jendela sembari meminum kopi. Aroma kopi membuat pikirannya sedikit lebih tenang, sudut matanya melirik ke arah kertas-kertas berserakan tersebut yang berisi curriculum vitae dirinya. Beberapa waktu yang lalu Raya pernah meminta temannya Nawang untuk mencarikannya calon suami.

Butuh waktu yang agak lama bagi Nawang dan suaminya untuk mencarikan calon suami yang sesuai dengan kriteria Raya. Raya senang ketika Nawang mengatakan kalau ada seseorang yang hendak bertaaruf dengan dirinya. Ketika akan bertukar CV, Raya kembali harus menelan kekecewaan, karena calon yang hendak bertaaruf dengannya tiba-tiba membatalkan proses taaruf dengan alasan kepribadian mereka terlalu setipe sehingga akan sulit untuk cocok.

Gagal taaruf, tak membuat Raya sampai hilang semangat, dirinya mencoba kembali bertukar CV dengan orang yang baru lagi. Namun lagi-lagi Raya harus menelan pil pahit lagi, dirinya kembali gagal taaruf untuk kedua kalinya, dengan alasan calon tersebut akan dijodohkan dengan perempuan pilihan orangtuanya.

Sambil menangis berulang kali, Nawang meminta maaf pada Raya. Raya merangkul teman terbaiknya itu seraya mengucapkan terima kasih karena Nawang dan suaminya telah mati-matian membantu dirinya mencarikan jodoh untuknya apalagi kondisi Nawang yang tengah hamil besar, Raya merasa terharu dengan pasangan suami istri itu yang begitu baik pada dirinya. Dan Raya memutuskan untuk berhenti sementara waktu dari pencarian jodoh tersebut, dirinya tidak ingin memberi beban untuk Nawang lagi, biarlah Raya sendiri yang mencari jodoh.

Raya menghela napas, entah akan dikirim ke mana lagi CV taaruf dirinya, siapa lagi yang akan dia mintai tolong. Terkadang Raya merasa dirinya begitu hina sehingga Tuhan pun enggan memberikan jodoh untuknya. Atau apakah rupa Raya terlalu buruk sehingga tidak ada satupun laki-laki yang ingin menikahinya?

Raya menatap cermin besar yang tertera di kamarnya, dirinya memandang seraut wajah dengan balutan jilbab segiempat, warna kulitnya memang tidak putih cenderung agak gelap, hidungnya kecil, matanya sedikit belo, dengan bibir yang agak tebal, kata orang dirinya mirip sekali dengan aktris Kinaryosih. Entahlah, Raya kembali menelusuri lekuk tubuhnya yang tinggi dan langsing, apakah ada cacat yang membuat dirinya tak disukai oleh pria.

Raya menghempaskan tubuhnya ke kasur, pikirannya sudah benar-benar buntu dan tak tahu lagi hendak bagaimana. Dirinya merasa mengalami krisis percaya diri, merasa trauma untuk membuka hati lagi, berjuang lagi, gagal lagi, bangkit lagi, patah hati lagi, kecewa lagi, dan perasaan-perasaan lainnya yang membuatnya ingin berhenti.

**

Matahari sudah berada di ubun-ubun, namun Raya masih betah tiduran di kasurnya yang empuk, sudah beberapa hari ini Raya tidak berkegiatan di luar rumah apalagi membuka laptopnya untuk sekedar membuat cerita atau novel padahal banyak naskah yang harus segera diselesaikannya. Raya seolah tidak memiliki semangat lagi seperti dulu, matanya juga terlihat lelah dan kurang tidur.

Dirinya menatap ponselnya yang tidak berbunyi, aplikasi chat dan akun media sosialnya juga seolah sepi dari notifikasi. Tidak ada hal yang membuat Raya harus berlama-lama memainkan ponsel. Dirinya segera bergegas keluar kamar untuk mandi dan sarapan. Dilihatnya ibunya yang tengah asyik menonton sinetron sedangkan ayahnya tengah mencabuti rumput di halaman rumahnya.

Raya menatap dua orang yang dia sayangi sambil menyeka air mata yang tetiba menetes tanpa diduga. Raya bergegas lari ke kamar mandi, sebelum ibunya melihatnya menangis.

Raya tiba di sebuah kedai kopi Sakko favoritnya, tentunya untuk menulis. Pak Ryan, editor Raya meneleponnya untuk segera mengirimkan sinopsis novel baru yang sudah Raya ajukan. Karena Raya tidak mempersiapkannya, dirinya keteteran menulis sinopsis.

Ketika Raya hendak memesan kopi favoritnya di meja barista, tanpa sengaja Raya melihat sesosok pria yang dia kenal, Ayas. Tanpa ragu Raya mengejar sosok yang disangka Ayas tanpa menghiraukan tasnya yang berisi laptop tertinggal di meja barista. Namun, sosok Ayas ternyata sudah menghilang di tikungan jalan, Raya kembali ke kedai Sakko dengan lunglai.

            “Kenapa, teh*? Kok lari-lari, ini tasnya dibiarkan begitu aja,” Kata Aji, barista di kedai kopi Sakko heran melihat Raya yang terengah-engah.

            “Enggak, tadi saya lihat orang yang saya kenal cuma gak kekejar.” Jawab Raya, sambil duduk.

            “Teteh ngejar pria yang pake kemeja biru tadi bukan ya?”

            “Iya, akang** kenal?”

            “Kenal teh, dia kang Ayas, karyawan baru disini, dia shift pagi, jadi baru pulang,”

            “Serius kang dia kerja disini?” Barista bernama Aji hanya mengangguk membenarkan, Raya seperti terkena serangan jantung mendadak saking kagetnya, dia pun segera mengambil kopi pesanannya dan memilih meja. Hatinya benar-benar tidak karuan,

**

Keesokan harinya Raya datang pagi-pagi sekali ke kedai kopi Sakko hanya demi bertemu dengan Ayas. Meskipun Raya sudah berusaha melupakan Ayas, namun kisi-kisi hatinya masih milik Ayas. Dirinya juga sebenarnya ingin berkomunikasi secara langsung dengan Ayas, Raya tahu Ayas sudah menolaknya, namun Raya ingin ditolak secara layak agar dirinya bisa total melupakan Ayas untuk selamanya.

Di kedai kopi, baru ada beberapa pengunjung yang datang, Raya tidak melihat sosok Ayas, dirinya langsung menuju meja barista dan memesan caramel macchiato favoritnya. Aji yang biasanya melayaninya tidak ada, dirinya ingin sekali bertanya, namun barista yang ada tidak Raya kenal dan dirinya pun enggan untuk bertanya tentang Ayas.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Raya duduk di meja favoritnya dekat jendela. Saat Raya hendak membuka laptopnya, matanya bersirobok dengan sesosok pria yang selama ini mengisi hatinya, Ayas yang sedang mengantarkan kopi pesanannya juga terlihat kaget melihat sosok Raya. Namun Ayas berusaha untuk menyembunyikan kekagetannya di depan Raya.

            “Hai, apa kabar?” Tanya Raya pada Ayas.

            “Hai, silakan dinikmati kopinya,” jawab Ayas tanpa basa basi, dia bergegas pergi meninggalkan Raya dengan sejuta pertanyaan di kepalanya. Raya jelas merasa kecewa dengan sikap Ayas yang biasa-biasa saja, padahal banyak sekali pertanyaan Raya yang ingin dia katakan pada Ayas. Tapi Raya berusaha berbaik sangka, mungkin Ayas bersikap begitu karena dia sedang bekerja apalagi dia termasuk karyawan baru. Raya pun mencoba untuk fokus pada laptopnya.

Sudah tujuh jam Raya berada di kedai kopi, bergelas-gelas kopi sudah dia minum, pekerjaannya sudah selesai dari tadi, namun dirinya masih setia menunggu Ayas pulang sambil sesekali dia melihat Ayas bekerja. Melihat Ayas sudah berganti seragam dan beranjak pulang, Raya buru-buru pergi mengejar Ayas. Raya memanggil Ayas, satu dua panggilan tidak membuat Ayas menghentikan langkahnya, namun ketika Raya terjatuh karena tersandung batu, Ayas pun akhirnya berhenti.

            “Kenapa kamu malah lari ketika aku panggil berkali-kali?” Tanya Raya saat keduanya duduk di bangku dekat taman. Ayas hanya menghela nafas panjang tanpa menoleh sedikitpun pada Raya.

            “Maaf, saya buru-buru, sekarang apa mau kamu?”

            “Saya cuma ingin membicarakan masalah kita,”

            “Bukannya masalah kita udah selesai?”

            “Belum, saat kamu dihubungi sama Nawang, kamu malah menghilang tanpa ada jawaban sama sekali, meskipun kamu menolak saya, tapi setidaknya saya ingin ditolak dengan layak, tidak dengan cara kabur dan menghilang.”

            “Buat apa?”

            “Agar saya punya sikap, kamu gak boleh bertindak seperti ini.” Terlihat Ayas hanya menelan ludahnya, dan menyenderkan punggungnya ke bangku besi.

            “Saya gak tahu apa yang harus saya katakan, saya bingung. Kamu lihat sendirikan, hidup saya seperti ini, masa depan saya su suram,” Nada suara Ayas meninggi sehingga stutteringnya terdengar jelas. Giliran Raya yang diam seribu bahasa.

            “Saya sama sekali tidak menuntut kamu apapun,”

            “Pertanyaan kamu membuat saya kembali bingung Ray, maaf kalau selama ini sikap saya menyakiti hati kamu, jujur saya belum bisa berkata apapun lagi saat ini,” Ayas beranjak pergi meninggalkan Raya yang kebingungan, dirinya benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Ayas padanya. Namun Raya tidak berusaha mengejar Ayas lagi, dirinya hanya sanggup melihat punggung Ayas dari kejauhan.

Gerimis sore membasahi wajah Raya, dirinya juga beranjak pergi meninggalkan tanya yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Raya berlari kecil mencoba melindungi tas laptopnya dari guyuran gerimis. Dia menyeka wajahnya yang tersapu gerimis dan juga air mata.

***

 

Tasikmalaya, 23-12-2019

 

*Panggilan dalam berbahasa sunda untuk kakak perempuan atau orang yang dianggap lebih tua yang berjenis kelamin perempuan

**Panggilan dalam berbahasa sunda untuk kakak laki-laki atau orang yang dianggap lebih tua yang berjenis kelamin laki-laki

Baca Juga: [CERPEN] Mantra-mantra dan Sepasang Sayap untuk Helena

Asih Purwanti Photo Verified Writer Asih Purwanti

Menulis adalah cara untuk melarikan diri

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya