[Cerpen] Elegi di Tepi Sungai Martapura

Perpisahan sepasang kekasih di tepi Sungai Martapura

Debu kembali jadi debu, tanah kembali menjadi tanah dan orang asing akan kembali menjadi orang asing. 

 

"Kita akhiri saja," ucapmu pelan di antara bisingnya jalanan Banjarmasin. 

Kita berdiri berhadapan. Aku menatapmu sedangkan kau memalingkan wajah. Pandanganmu lurus ke arah sungai Martapura, di tahun yang lampau sungai itu disebut dengan Sungai Tatas, sebuah sungai purba yang menjadi nadi Kalimantan Selatan. 

Semua kata-kata yang aku persiapkan untuk pertemuan kali ini pun kelu, hingga pada akhirnya aku hanya bisa memaksakan senyuman. Lalu, sepertimu aku memandang ke arah Sungai Martapura. 

Dadaku mengombak, gemuruh perlahan datang bergelombang ke suatu benda yang orang sebut dengan hati itu. Suatu sudut di dalam dada yang tak pernah diakui para ilmuwan, tempat nurani berada. 

Kau membisu, aku terdiam. Di antara kita tak ada yang saling berkata-kata.

Lagi kau berkata, "kita akhiri saja." Tanganmu menggenggam pagar pembatas di sisi Sungai Martapura. Matamu masih tak menatapku.

"Aku tak ingin berakhir seperti ini," ucapmu. 

"Tak ada yang ingin berakhir seperti ini," balasku. 

Menurut cerita orang-orang zaman dahulu, sungai-sungai di Kalimantan itu jernih. Bahkan ada yang mengatakan kau bisa langsung meminumnya tanpa harus dimasak dahulu. Namun, kelindan waktu menjelma menjadi secangkir kopi yang tak kau beri gula atau susu. Realitas sepahit itu. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Pun, dengan kita. 

"Iya, kita akhiri saja" balasku pelan, dadaku membadai. Tak ada usaha atau perlawanan atau apa pun dariku.

'Rumus dunia adalah perpisahan', di dalam hati aku mengutip sebuah lirik lagu. 

"Kita masih bisa berteman, kan?" tanyamu, kau memaksakan senyuman. Bibirmu membentuk bulan sabit, namun matamu menahan mendung. 

Aku mengangguk, lalu sepertimu aku memaksakan senyuman. Seperti Sungai Martapura di musim penghujan, dalam dadaku meluap dan banjir. 

Seakan pagi hari, ketika matahari muncul dan gerimis datang bersisian. Kita merasakan hal yang sama, bahagia dan sedih. 

"Aku akan melanjutkan mimpiku jadi penulis," ucapku.

"Benarkah? Semangat ya!" Kau tersenyum mencoba memberiku semangat. 

"Bolehkah nanti aku tulis ulang kisah kita? Hanya saja nanti kisah ini akan aku buat berakhir dengan bahagia. Di kisah itu, setelah kita berdua berhasil melewati badai dalam hubungan kita akan bersama. Kau kelak akan menggapai mimpimu menjadi guru TK, kita akan memiliki dua sampai tiga anak, dan aku akan menjadi pekerja kantoran biasa dan setiap akhir pekan di awal bulan,kita akan berwisata sekeluarga," tutupku. 

Mendung di matamu menjelma gerimis. Tahukah kau dahulu tempat kita berdua berdiri dan memutuskan untuk berpisah ini disebut dengan Pulau Tatas dan Masjid di belakang kita adalah sebuah benteng Belanda alias Benteng Tatas. 

Desir angin yang mengiris sungai Martapura, bagai petikan panting yang mengalunkan irama batang banyu yang menawarkan kesedihan akan perpisahan.

Baca Juga: [CERPEN] Pintu yang Tak Pernah Dibuka

Zulfan Fauzi Photo Writer Zulfan Fauzi

Penulis yang tidak merokok & hobi workout

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya