Food Challenge: Makan Junk Food Setiap Hari, Apa yang Terjadi?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makan produk restoran cepat saji sah-sah saja asalkan tak berlebihan. Batas aman makan fast food tiap orang berbeda-beda. Tapi kalau mengonsumsinya hampir tiap hari, mungkin waktunya meninjau ulang pola makan sebelum berdampak buruk bagi kesehatan.
Hal tersebut sempat dialami oleh Rino Akbar. Pria 24 tahun ini bisa dipastikan mengonsumsi makanan cepat saji setiap hari. Tanpa sadar, berat badannya naik hingga 116 kilogram dan membuatnya masuk kategori obesitas. Kisah Rino dan pola makan ekstremnya akan diulas dalam "Food Challenge" kali ini.
1. Tidak pernah makan nasi dari kecil
Ceritanya berawal dari alergi nasi yang diidapnya saat kecil. Sejak saat itu, dia jadi anti nasi dan sama sekali tak mengonsumsinya. Padahal, nasi jadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Dibanding makanan sehat, pilihan Rino justru jatuh pada makanan cepat saji.
"Pas SMA, aku masih makan mie untuk gantiin nasi. Tapi fast food sering juga sih," ujar Rino. "Waktu itu beratku sekitar 107 kilogram."
Perlu diketahui sebelumnya jika ada perbedaan antara fast food dan junk food. Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, Ali Khomsan, mengatakan, junk food adalah kategori untuk makanan yang berkalori tinggi, tetapi minim gizi. Misalnya keripik dan camilan yang biasa dijual di supermarket.
Sedangkan, fast food adalah makanan siap saji yang pengolahaannya mudah dan singkat. Misalnya seperti KFC, Texas, McDonald's, Carl's Jr, dan sebagainya.
"Fast food yang sekarang kita kenal menggunakan bahan-bahan yang bernutrisi," tutur Ali. "Ada karbohidrat, protein seperti ayam dan ikan dalam burger, serta sayuran."
Ali mengatakan bahwa fast food masih bergizi tetapi tidak seimbang. Sebab, kandungan kalori dan lemaknya jauh lebih tinggi dibanding serat serta proteinnya.
2. Makan junk food setiap hari hampir selama 3 tahun
Pola makan tidak sehat ini makin parah begitu ia duduk di bangku kuliah. Tidak ada satu hari pun yang ia lewati tanpa makan junk food. Berbagai jenis makanan cepat saji ia konsumsi bergantian. Mulai dari pizza, burger, ayam goreng, nugget, dan lain sebagainya.
"Tapi yang paling ngaruh kayaknya gara-gara aku konsumsi gula. Tiap hari aku beli soda dan minuman kemasan di minimarket," kata dia saat dihubungi IDN Times (8/3). Gaya hidup ini tidak diimbangi dengan konsumsi air putih dan sayuran yang cukup, sehingga berimbas pada timbangan Rino yang naik sampai 116 kilogram.
Baca juga: Food Challenge: Makan Malam Bikin Gemuk, Mitos atau Fakta?
3. Mulai sadar bahaya obesitas dan berusaha diet
Keinginan kuat untuk berubah timbul saat ia banyak menemukan berita tentang kasus obesitas yang berujung kematian. Tidak ingin bernasib serupa, ia mulai merencanakan program penurunan berat badan.
Editor’s picks
"Baru pas mendekati semester akhir, aku jadi takut sendiri sama efeknya," ujar lulusan Universitas Airlangga ini.
Ia sempat menghadapi kesulitan saat menentukan mana diet yang cocok dengan kondisinya saat itu. Akhirnya, Rino memutuskan mengikuti konsep diet rendah yang digagas Tim Ferris, yakni menghindari gula dan karbohidrat.
4. Konsep "Slow-Carb Diet"
Konsep slow-carb diet bisa disamakan dengan diet rendah karbo atau diet keto. Kamu dilarang makan karbohidrat dalam bentuk apa pun, termasuk kentang dan tepung. Sebagai gantinya, konsumsi protein daging dan telur sebanyak apa pun diperbolehkan. Tujuannya supaya tubuh tetap memperoleh nutrisi untuk pembakaran energi.
Rino berhenti total dari makan junk food dan mulai menggantinya dengan makan protein sehat. Di antaranya ayam, daging, dan telur. Ia juga mulai mengkonsumsi sayur meski tak sering. Tiga hari pertama, Rino merasa sangat lemas dan sering pusing. Namun, setelahnya tubuh mulai terbiasa dengan pola makan baru dan sama sekali tak ada masalah.
"Hasilnya lumayan, tiga bulan pertama turun delapan kilo," kata Rino. Melihat hal ini, ia jadi makin semangat untuk berdiet. Selama satu tahun, dia konsisten melakukan pola makan tersebut dan berhasil turun hingga 38 kilogram menuju 78 kilogram.
"Selama satu tahun itu aku cuma ganti menu makan aja, gak pakai olahraga," ujar Rino. "Baru akhir-akhir ini olahraga walau gak rutin sih. Soalnya beratku stuck segitu, susah mau turun lagi."
5. Apakah ada efek samping jika dilakukan dalam jangka panjang?
Ali menjelaskan tujuan berdiet adalah utnuk menurunkan berat badan. Sehingga ketika target berat badan ideal sudah tercapai, diet sebaiknya dihentikan dan lebih fokus menjaga pola makan sehat.
"Lebih aman maintainance menu makanan dan gaya hidup dalam jangka waktu panjang dibanding dietnya, agar tidak gemuk lagi," tuturnya.
6. Batas aman mengkonsumsi fast food
Menurut Ali, tidak ada batas sehat soal makan fast food dan junk food. Kontrolnya kembali lagi ke individu masing-masing. Kita harus lebih sadar dalam mengatur apa saja gizi yang telah masuk ke dalam tubuh, sehingga tahu kapan waktu terbaik untuk makan makanan cepat saji.
"Sesekali makan fast food gak masalah. Kalau dalam seminggu bisa 2-3 kali, itu yang perlu diwaspadai," ujarnya.
Ali juga mengingatkan soal bahaya terlalu banyak mengkonsumsi makanan cepat saji. Selain kegemukan, kadar kolesterol dan gula yang tinggi juga bisa memicu penyakit seperti diabetes dan jantung.
Kalau kamu pribadi, pernah melakukan diet apa nih? Gimana hasilnya? Share di kolom komentar ya!
Baca juga: Food Challenge: Pengalaman Diet Golongan Darah O, Efektifkah?