Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan Solusinya

Rehat sejenak dari layar smartphone

Di masa pandemi penyakit virus corona baru (COVID-19), sudah lebih dari setahun kita beradaptasi dengan kebiasaan serba "di rumah". Dari pagi ketemu malam, rumah adalah "dunia" kecil kita.

Saat kebosanan melanda, pelarian utama kita tidak lain dan tidak bukan adalah berselancar di media sosial dalam smartphone. Malah, bukan tidak mungkin media sosial adalah "ladang rezeki" bagi beberapa orang.

Namun, semakin lama kita "tenggelam", kok rasa bosan tersebut malah berganti jadi rasa sedih? Dari menonton "drama" antara selebritas hingga membaca komentar tajam, hal-hal ini jadi "bahan bakar" untuk emosi negatif yang justru bikin kecanduan. Tetapi, sering kali seseorang bisa mengalami overthinking hingga insecurity karenanya!

Tidak jarang kita mendengar kasus bunuh diri masyarakat biasa hingga figur publik karena dihujani komentar pedas di media sosial. Inilah fenomena yang tengah dikeluhkan oleh sebagian besar orang! Apakah secara tidak langsung media sosial berhubungan dengan kesehatan mental? Simak pembahasannya berikut ini.

1. Apakah media sosial penyebab utama gangguan kesehatan mental saat ini?

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan SolusinyaSumber Gambar: www.ishn.com

Melalui Health Talk bersama IDN Times, Toetiek Septriasih, M. Psi., mengutarakan bahwa media sosial hanyalah "katalis" atau wadah. Jika wadah tersebut diisi oleh informasi berbau negatif, maka informasi tersebutlah yang akan tersebar luas.

Laporan depresi akibat bermain media sosial justru meninggi di kala pandemi COVID-19. Banyak laporan keluhan social anxiety disorder yang justru malah dipicu oleh media sosial! Gangguan tersebut – jika tidak ditanggulangi secepatnya – dapat menyebabkan depresi. Apa yang menyebabkannya?

Media sosial justru malah memicu perasaan takut saat membukanya. Kenapa? Para netizen sebenarnya mengantisipasi berbagai hal negatif yang akan ditemui saat sharing. Oleh karena itu, tidak jarang ada yang mematikan kolom komentarnya untuk mencegah melihat komentar "pedas" yang tak sesuai ekspektasi.

2. Mengenai FOMO, fenomena tak ingin kudet yang disalahartikan khalayak ramai

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan Solusinyaindianfolk.com

Ingat dengan aplikasi eksklusif Clubhouse yang naik daun pada 2021 karena Elon Musk? Undangan eksklusif Clubhouse dinilai sebuah "kebanggaan" bagi para pengguna Apple. Oleh karena itu, banyak yang FOMO hingga membeli perangkat Apple hanya untuk “mengejar ketertinggalan”. Apa itu FOMO?

Toetiek kemudian mengingatkan bahwa akhir-akhir ini istilah fear of missing out tengah beredar luas di kalangan netizen. Berawal dari 1996, FOMO semakin ramai bergema di media sosial. Dilihat sebagai sebuah "kebanggaan" dan motivasi, FOMO dilihat mengkhawatirkan dari segi psikologis karena dapat menimbulkan fobia dan anxiety.

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan SolusinyaFOMO (vecteezy.com/Gilang Ramadhan)

Kenapa FOMO dilihat sebagai sebuah "kebanggaan"? Kebanyakan selebritas dan influencer menunjukkan perilaku FOMO dengan balutan aspek "motivasi" untuk mengimbangi tren. Istilahnya, biar gak kurang update atau kudet! Inilah yang "ditelan mentah" oleh khalayak ramai!

Terdengar masuk akal? Belum tentu karena FOMO adalah sebuah usaha “mencari perhatian”. Dengan kata lain, FOMO adalah sebuah “motivasi palsu” yang ditelan mentah oleh khalayak ramai yang sebenarnya harus dikhawatirkan karena memicu anxiety pada individu.

Baca Juga: 9 Artis yang Pernah Detoks Media Sosial, Puasa Digital agar Gak Stres

3. Tren sharing pengalaman sebagai edukasi di media sosial, salahkah?

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan SolusinyaPexels.com/Andrea Piacquadio

Akhir-akhir ini, kita sering mendengar berbagai sharing pengalaman kekerasan seksual, di-ghosting, hingga pengalaman mencekam lainnya di media sosial. Mungkin, hal ini ditujukan sebagai edukasi untuk meningkatkan awareness. Namun, netizen pun terbagi jadi pro dan kontra. Tidak jarang, mereka malah dicap panjat sosial atau pansos!

Toetiek mengingatkan bahwa saat kita membagikan sesuatu di media sosial, kita sudah harus siap dengan segala risikonya, baik positif dan negatif. Layaknya koin yang memiliki dua sisi, setiap tindakan kita memang memicu reaksi positif dan negatif.

Pertanyaannya, apakah kita siap menghadapinya? Apa pun yang kita bagikan di media sosial, pasti menimbulkan celah untuk komentar negatif. Masalahnya, orang awam yang sharing di media sosial umumnya belum memiliki kapasitas untuk mengatasi risiko tersebut. Hasilnya, mereka malah menyakiti kesehatan mental sendiri.

4. Faktor risiko pada kesehatan mental lain akibat media sosial

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan SolusinyaPexels.com/Pixabay

Toetiek mengatakan bahwa media sosial memperkeruh kebiasaan saling membanding-bandingkan. Manusia memang kompetitif. Namun, hal ini malah menyakiti diri dari dua sisi. Jika disandingkan dengan mereka yang inferior, kita menyombongkan diri; jika dengan yang superior, kita malah insecure dan depresi!

Selain itu, Toetiek menambahkan bahwa media sosial mengobarkan rasa penasaran seseorang. Selain kompetitif, manusia adalah makhluk yang penasaran dan juga tidak pernah puas. Namun, keingintahuan yang dipicu media sosial sering kali negatif. Saat stalking media sosial tak berjalan lancar, kita cenderung dipenuhi emosi negatif.

5. Detoks digital dan media sosial untuk kesehatan mental

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan Solusinyailustrasi menggunaakan smartphone (IDN Times/Bayu Wishayasa)

Interaksi media sosial dan interaksi nyata adalah dua hal yang bertolak belakang! Pertemuan tatap muka dan interaksi nyata adalah salah satu opsi perawatan bagi mereka yang mengalami gangguan mental akibat media sosial. Tetapi, di masa pandemi COVID-19, apa yang bisa dilakukan? Kamu dapat mencoba detoks digital dari media sosial.

Jika sudah tak tahan dengan "panasnya" media sosial, tinggalkan dulu perangkat elektronikmu, matikan internet, dan bangun komunikasi dengan lingkungan sekitarmu. Selain itu, detoks media sosial juga memperbarui cara pikir terhadap media sosial ke arah yang lebih baik.

Namun, Toetiek mengingatkan kalau detoks media sosial bukanlah solusi terbaik. Hal ini dapat menyebabkan anxiety yang menimbulkan gangguan mental dan pelarian ke hal-hal adiktif lainnya! Jadi, agar tidak gelisah, barengi detoks media sosial dengan hal-hal yang produktif!

6. Journaling, kiat mencurahkan hati dengan menjaga privasi

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan Solusinyamenulis jurnal (npr.org)

Media sosial sejatinya didominasi oleh kelompok introver karena media sosial membantu mereka terkoneksi dengan dunia tanpa harus berinteraksi secara nyata. Salah satu kiat untuk meluapkan isi hati tanpa media sosial dan risikonya adalah journaling.

Toetiek mengingatkan kalau journaling bukan hanya bicara menulis, tetapi juga bisa dalam bentuk gambar. Jika kamu merasa perlu untuk meluapkan hal-hal pribadi, kamu dapat menuangkannya ke dalam bentuk tulisan atau komik. Tentu saja, journaling hanya eksklusif untuk diri sendiri!

7. Hal-hal yang perlu diingat untuk menjaga kesehatan mental di media sosial

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan Solusinyafreepik.com

Selain itu, kita juga bisa berolahraga. Seperti kata pepatah, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat! Dengan olahraga, kita menyegarkan bukan hanya raga melainkan jiwa juga. Energi negatif dapat dibuang, sehingga tekanan mental bisa ikut menurun. Biarkan tubuh beristirahat untuk meregenerasi dirinya.

Saat ditanya mengenai kiat-kiat agar tetap positif saat bermain media sosial, Toetiek mengingatkan hal-hal berikut:

  • Belajar untuk jadi diri sendiri. Jangan ambil komentar yang negatif, dan ambil yang berfaedah untuk kita.

  • “Bersihkan” follower dan following atau friend list di media sosial kita. Akun-akun provokatif mudah untuk memicu emosi negatif dalam diri. Dalam rangka detoks digital, maka enyahkanlah akun-akun tersebut!

  • Ubah fokus kita terhadap tujuan kita bermain media sosial. Bukan karena FOMO, melainkan karena sudah siap dengan segala risiko media sosial.

  • Jangan umbar hal pribadi ke media sosial.

8. Kapan harus mencari pertolongan?

Media Sosial Bikin Depresi? Ini 8 Fakta dan Solusinyacloudinary.com

Apakah harus tunggu sampai parah? Toetiek mengatakan kalau seseorang:

  • Melihat dunia sebagai tempat yang "buram" dan tak "berwarna" lagi;
  • Terpikir untuk bunuh diri atau suicidal thought;
  • Kehilangan minat untuk melakukan aktivitas kesukaannya, atau
  • Terganggu siklus tidurnya.

Maka individu tersebut butuh pertolongan ahli seperti psikolog atau konselor. Bagaimana dengan curhat pada teman? Dikhawatirkan, saran dari teman tak diterima dengan baik karena keadaan mental yang tidak netral. Alangkah baiknya segera cari pertolongan sebelum terlambat.

Ingat, terlepas dari slogannya, media sosial bukanlah tempat untuk hal-hal private. Apa pun yang dibagikan sudah otomatis menjadi konsumsi umum. Apakah kamu siap dengan risikonya? Oleh karena itu, demi kesehatan mental, yuk, lebih bijak bermain media sosial!

Baca Juga: 5 Dampak Negatif Sosial Media pada Hubungan Pacaran yang Gak Disadari

Topik:

  • Bayu D. Wicaksono

Berita Terkini Lainnya