WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Global

Resistansi antimikroba dapat meningkatkan risiko kematian

Resistansi antimikroba bukan masalah yang sepele karena termasuk ancaman kesehatan masyarakat global. Jika tidak segera ditangani, maka meningkatkan risiko kematian karena makin berkurangnya pilihan antimikroba yang dapat menyembuhkan penyakit. 

Masalah resistansi antimikroba muncul akibat penggunaan antimikroba berlebihan. Tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan, terutama yang digunakan untuk produksi makanan dan lingkungan turut mempercepat terjadinya resistansi antimikroba.

Karena menjadi isu penting dan mendesak, Badan Kesehatan Dunia (WHO) bekerja sama dengan berbagai sektor untuk mengatasi resistansi antimikroba dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, mengurangi infeksi, serta mendorong penggunaan antimikroba dengan hati-hati.

1. WHO menyebut resistansi antimikroba sebagai salah satu ancaman kesehatan masyarakat global

WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Globalilustrasi antibiotik (freepik.com/freepik)

Pengembangan obat antimikroba seperti antibiotik, antivirus, dan antimalaria merupakan keberhasilan pengobatan modern terbesar. Berbagai antimikroba tersebut dapat mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan.

Namun, kemampuan obat-obatan tersebut untuk mengobati penyakit makin menurun. WHO mendeklarasikan resistansi antimikroba sebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global.

2. Resistansi antimikroba menyebar di seluruh dunia

WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Globalilustrasi bakteri Streptococcus pneumoniae (unsplash.com/CDC)

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menjelasakan, perjalanan orang, hewan, dan barang memudahkan resistansi antimikroba menyebar dari satu wilayah ke wilayah lain di dunia. Fenomena ini telah ditemukan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Seperti dijelaskan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI, dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), terjadi peningkatan prevalensi bakteri resistan obat antibiotik setiap tahun yang menjadi penyebab infeksi, terutama infeksi berat seperti radang paru-paru dan sepsis, mengutip penjelasan WHO. Indonesia diperkirakan termasuk dalam lima negara dengan tingkat konsumsi antimikroba tertinggi tahun 2030. Duh!

Baca Juga: Kuman Resistan Antimikroba Bisa Menyebar lewat Makanan

3. Mengapa resistansi antimikroba menjadi ancaman kesehatan global?

WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Globalilustrasi bakteri resisten (pixabay.com/Arek Socha)

Resistansi antimikroba adalah kemampuan bakteri, virus, parasit, dan jamur untuk bertahan dari pengobatan antimikroba. Di sisi lain, penemuan atau pengembangan obat baru sangat sedikit. Kemunculan dan penyebaran patogen yang kebal obat mengancam manusia dalam mengobati infeksi yang umum terjadi.

Mikroorganisme yang makin kebal obat mendorong manusia kembali ke masa ketika penyakit infeksi seperti pneumonia, tuberkulosis (TBC), gonore, dan salmonelosis tidak dapat diobati. Ketidakmampuan dalam mengobati penyakit infeksi juga membahayakan operasi dan prosedur, seperti kemoterapi.

4. Resistansi antimikroba membuat penyakit makin parah dan sulit diobati

WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Globalilustrasi obat antibiotik (freepik.com/rawpixel.com)

Resistansi antimikroba mengakibatkan infeksi makin sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, hingga meningkatkan risiko kematian. Salah satu infeksi yang makin sulit diobati akibat resistansi antimikroba adalah TBC.

Strain bakteri Mycobacterium tuberculosis yang kebal terhadap antibiotik mengancam kemajuan dalam pengendalian epidemi tuberkulosis (TBC) secara global. WHO memperkirakan, sekitar setengah juta kasus baru TBC resistan obat rifampisin pada tahun 2018. Sebagian besar dari kasus tersebut resistan terhadap dua obat TBC yang paling kuat.

Jika dibandingkan, pengobatan TBC resistan obat lebih sulit daripada pengobatan TBC yang masih sensitif obat. Seperti dijelaskan pada laman TBC Indonesia, TBC resistan obat memang dapat disembuhkan, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama, bisa mencapai 18 sampai 24 bulan!

Selain waktu yang lebih panjang, biaya yang harus dikeluarkan selama pengobatan juga lebih mahal, penanganan yang lebih sulit, dan efek samping obat juga lebih berat.

5. Resistansi antimikroba juga mengancam ketahanan pangan

WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Globalilustrasi peternakan ayam (pexels.com/cottonbro studio)

Resistansi antimikroba mengancam perawatan kesehatan hingga harapan hidup. Selain itu, CDC juga menyebutkan bahwa resistansi antimikroba juga berdampak pada produksi makanan. Hal senada dijelaskan Food and Agriculture Organization (FAO), bahwa resistansi antimikroba meningkatkan penyakit dan kematian pada manusia, hewan, dan tumbuhan.

Misalnya pada bidang pertanian, resistansi antimikroba menyebabkan kerugian produksi hingga membahayakan ketahanan pangan. Selain itu, resistansi antimikroba dapat berpindah di antara manusia, hewan, dan lingkungan yang berbeda sehingga mikroba yang kebal obat dapat mencemari rantai makanan. Oleh sebab itu, masalah resistansi antimikroba juga termasuk masalah lintas sektor.

WHO mendeklarasikan resistansi antimikroba sebagai salah satu ancaman kesehatan masyarakat global. Patogen yang resistan obat mengancam manusia dalam mengobati infeksi yang umum terjadi serta membahayakan tindakan operasi hingga kemoterapi. Selain membuat penyakit menjadi lebih parah dan sulit diobati, resistansi antimikroba juga dapat mengancam ketahanan pangan.

Baca Juga: Resistensi Antibiotik, Risiko Pakai Antibiotik Sembarangan saat Diare

Dewi Purwati Photo Verified Writer Dewi Purwati

Health enthusiast

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya