Waspadai Gangguan Depresi pada Masa Pandemi COVID-19
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jika kamu pernah terinfeksi virus SARS-CoV-2 dan kondisimu tidak pulih sepenuhnya setelah dinyatakan sembuh, maka kamu tidak sendirian. Setelah sembuh dari COVID-19, kamu mungkin merasa mudah cemas dan memiliki beberapa gejala depresi. Nah, masalah ini sebenarnya juga dialami oleh banyak penyintas COVID-19.
Banyak momen selama pandemi yang bisa memengaruhi kesehatan mental, misalnya trauma akibat orang-orang terkasih telah meninggal dunia, kehilangan pekerjaan, kerugian parah, hingga mengalami masalah kesehatan yang melemahkan. Namun, mereka yang tidak mengalami kerugian parah juga bisa menunjukkan gejala depresi. Lantas, apa penyebab dari munculnya gejala depresi selama pandemi COVID-19? Benarkah virus SARS-CoV-2 memengaruhi otak dan menyebabkan depresi?
1. Tingkat stres dan kecemasan meningkat selama pandemi
Menurut laporan yang dirilis oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun pertama pandemi COVID-19, prevalensi global kecemasan dan depresi meningkat sebesar 25 persen. Laporan ini juga menyoroti siapa yang paling terpengaruh dan merangkum dampak pandemi terhadap ketersediaan layanan kesehatan mental.
Kekhawatiran tentang potensi peningkatan kondisi kesehatan mental telah mendorong banyak negara untuk menyertakan kesehatan mental dan dukungan psikososial dalam rencana respons COVID-19. Ini juga menjadi peringatan bagi semua negara untuk lebih memperhatikan kesehatan mental dan bekerja lebih serius dalam mendukung kesehatan mental masyarakatnya.
2. Bagaimana infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan kecemasan dan depresi?
Menurut laman Johns Hopkins Medicine, virus penyebab COVID-19 itu sendiri bertanggung jawab atas kecemasan dan gejala depresi yang dialami seseorang. Misalnya, COVID-19 yang parah menyebabkan kerusakan organ dan gejala yang berlangsung lama.
Selain itu, reaksi peradangan yang disebabkan oleh infeksi virus juga memiliki efek pada otak. Ada kemungkinan bahwa COVID-19 sendiri menyebabkan perubahan fisik yang dapat bermanifestasi sebagai masalah dengan kognisi, seperti berpikir, mengingat, dan bernalar.
Beberapa pasien yang dirawat karena COVID-19 juga telah hidup dengan kecemasan dan depresi sejak sebelum pandemi. Memiliki COVID-19 membuat mereka masuk ke sistem perawatan kesehatan, yang mana mereka dapat didiagnosis dan dirawat.
Orang yang memiliki kondisi kesehatan mental dan terkena COVID-19 juga lebih mungkin mengembangkan gejala yang lebih parah. Ini selanjutnya dapat menjadi lingkaran setan, yang mana gejala COVID-19 yang parah kemudian dapat memengaruhi kondisi psikis pasien.
Baca Juga: 5 Hal yang Tampak Sepele Ini Jadi Faktor Pemicu Depresi
3. Efek pandemi terhadap kesehatan mental
Editor’s picks
Ternyata, kecemasan dan depresi bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang pernah terinfeksi virus penyebab COVID-19. Pandemi itu sendiri telah memengaruhi semua orang dalam beberapa cara.
Diterangkan dalam laman WebMD, banyak hal terkait pandemi yang dapat memengaruhi kesehatan mental:
- Trauma dari penyakit yang meluas.
- Trauma karena kehilangan orang-orang terdekat.
- Kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi.
- Masalah finansial yang disebabkan karena pandemi, seperti kehilangan pekerjaan dan bisnis yang merugi.
Seiring waktu, gejala depresi kemudian menurun. Namun, beberapa orang masih merasakan dampaknya terhadap kesehatan mental.
4. Beberapa kelompok orang lebih berisiko mengalami gangguan depresi terkait COVID-19
Laporan WHO tentang efek COVID-19 terhadap kesehatan mental juga menunjukkan beberapa kelompok masyarakat lebih berisiko mengalami depresi. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa masysrakat usia muda lebih berisiko terhadap perilaku bunuh diri dan melukai diri sendiri.
Perempuan juga terkena dampak yang lebih parah daripada laki-laki. Selain itu, orang-orang dengan kondisi kesehatan fisik yang sudah ada sebelumnya, seperti asma, kanker, dan penyakit jantung lebih mungkin mengembangkan gejala gangguan mental.
Data menunjukkan bahwa orang yang sudah memiliki gangguan mental tidak lebih rentan terhadap infeksi COVID-19. Namun, begitu orang-orang ini terinfeksi, mereka lebih mungkin membutuhkan rawat inap, mengembangkan penyakit yang lebih parah, dan kematian dibandingkan dengan orang tanpa gangguan mental.
5. Bagaimana kita bisa membantu orang-orang yang mentalnya terdampak?
Hampir semua orang memiliki hari-hari buruk terkait pandemi COVID-19. Namun, ada tanda-tanda yang menjurus kepada kecemasan dan depresi. Diterangkan laman Johns Hopkins Medicine, jangan abaikan jika orang-orang di sekitarmu menunjukkan tanda berikut:
- Bicara tentang menyakiti diri sendiri.
- Percaya bahwa keadaan tidak akan pernah menjadi lebih baik.
- Memberikan barang-barang pribadi.
- Tidak mampu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
Jika kamu mengamati tanda ini pada orang terdekat, mungkin sudah waktunya untuk mengajaknya bicara. Tanyakan bagaimana perasaan mereka dan sarankan untuk menemui praktisi kesehatan mental.
Semua ini menunjukkan bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik pada masa pandemi. Dengan terkendalinya pandemi COVID-19, harapannya kasus gangguan depresi dan kecemasan juga ikut menurun.
Baca Juga: Sunday Scaries: Fenomena Kecemasan saat Menghadapi Hari Minggu