Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitan

Tidak mau menerima konsekuensi negatif dalam hidup

Experiential avoidance (penghindaran pengalaman) telah didefinisikan secara luas sebagai segala upaya untuk menghindari pikiran, perasaan, serta sensasi yang tidak nyaman. Dengan kata lain, seseorang akan menekan pengalaman internal yang tidak diinginkan.

Keadaan ini diduga kuat menjadi dasar atas banyak perilaku "pelarian" yang tidak sehat, seperti penggunaan narkoba, konsumsi alkohol, tindakan seksual berisiko, dan melukai diri sendiri. Experiential avoidance tampaknya juga dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan stres pascatrauma (PTSD) pada orang yang pernah mengalami trauma parah.

1. Sejarah kemunculan gagasan

Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitanilustrasi perempuan minum kopi (pexels.com/Karolina Grabowska)

Melakukan penghindaran atas pengalaman internal yang negatif adalah naluri alami manusia. Namun, gagasan yang dicetuskan oleh salah satu tokoh psikologi, Sigmund Freud, tampaknya menjadi renungan bersama. Ia menyatakan bahwa penghindaran dalam menghadapi pengalaman emosional dapat berdampak negatif pada perilaku dan kesehatan mental.

Berlanjut sekitar tahun 1990-an, para psikolog mulai menitikberatkan kajian pada perilaku penghindaran sebagai experiential avoidance. Experiential avoidance dipandang sebagai koping mekanisme yang negatif. Pasalnya, ini hanya akan melanggengkan masalah atau justru menghasilkan masalah baru.

2. Tanda

Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitanilustrasi perempuan melamun (pexels.com/Saulo Esteves)

Praktik experiential avoidance ditandai dengan segala tindakan yang ditujukan untuk menangani pengalaman internal dengan kurang bijak. Ini melibatkan tindakan:

  • Menghindari situasi yang membuat tidak nyaman.
  • Timbul pikiran untuk menghakimi. 
  • Menggunakan zat berbahaya untuk menghindari kemunculan emosi yang tidak diinginkan.
  • Mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal yang menyebabkan kesusahan.
  • Menarik diri dari lingkungan sosial untuk mencegah kecemasan.

Experiential avoidance menjadi bagian dari upaya untuk mengendalikan pengalaman internal. Namun, penting untuk dipahami bahwa tindakan tersebut justru bisa memperburuk masalah dan cenderung membatasi ruang gerak dalam situasi sosial.

Baca Juga: Sibuk Terus-menerus Pengaruhi Kesejahteraan, Ini Faktanya!

3. Dampak

Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitanilustrasi pasangan berdebat (pexels.com/Gustavo Fring)

Praktik experiential avoidance yang berlangsung secara terus-menerus bisa mendatangkan konsekuensi negatif yang berbeda pada masing-masing individu. Beberapa dampak potensial yang menjadi ancaman di kemudian hari, ialah:

  • Sering menunda pekerjaan atau tugas.
  • Tidak segan melukai diri sendiri, bahkan dalam kasus ekstrem sampai bunuh diri.
  • Ketakutan terhadap evaluasi atau penilaian negatif.
  • Ketakutan pada peristiwa traumatis.
  • Risiko peningkatan kecemasan, gangguan kecemasan umum, gangguan bipolar, gangguan obsesif kompulsif (OCD), dan gangguan panik.
  • Melakukan tindakan seksual berisiko tinggi.
  • Penyalahgunaan zat.

4. Kaitannya dengan studi ilmiah

Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitanilustrasi pasangan membaca buku bersama (pexels.com/Ron Lach)

Experiential avoidance memiliki kaitan dengan masalah kesehatan mental, salah satunya PTSD. Pernyataan ini didukung oleh penelitian dalam jurnal Development and Psychopathology tahun 2014. Dalam studi tersebut, tim peneliti mengungkap bahwa anak-anak yang mengalami peristiwa traumatis, seperti dilecehkan, lebih mungkin menghindari pikiran dan emosi yang menyakitkan ketimbang membicarakan perasaan negatifnya.

Studi selanjutnya menyoroti dampak signifikan dari praktik menyesatkan experiential avoidance. Melalui kajian dalam Journal of Child Sexual Abuse, peneliti menekankan bahwa experiential avoidance memiliki dampak yang cukup besar terhadap keparahan tekanan psikologis yang dialami penyintas pelecehan seksual masa kanak-kanak pada masa dewasanya. 

5. Menerapkan mekanisme koping yang positif

Experiential Avoidance, Upaya untuk Selalu Menjauhi Kesulitanilustrasi perempuan sedang bercakap-cakap (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Setelah memahami konsep experiential avoidance yang sebenarnya tidak tepat diterapkan, fokus selanjutnya adalah upaya menghindari praktik tersebut. Ialah acceptance and commitment therapy (ACT), yang mana merupakan jenis psikoterapi untuk membantu mengurangi penghindaran pengalaman.

Melalui penerapan ACT, seseorang bisa mendapatkan insight yang lebih positif, dalam hal:

  • Kesadaran bahwa mencoba melarikan diri dari masalah emosional tidak akan membuahkan hasil.
  • Pengingat bahwa mengabaikan "rasa sakit" bisa memicu masalah baru timbul.
  • Konsep melihat diri sendiri secara terpisah dari pikirannya.
  • Perlahan namun pasti melepaskan upaya penghindaran dari masalah internal.
  • Tuntutan untuk menjalani hidup agar lebih bermanfaat dan bermakna.

Seseorang yang telah lama mempraktikkan experiential avoidance mungkin merasa terjebak. Dilansir Psychology Today, untuk mengikis praktik penghindaran pengalaman, seseorang bisa memulainya dengan mengidentifikasi alasan mengapa ingin berhenti.

Selanjutnya adalah fokus pada pemilihan jalan keluar seperti apa yang diinginkan diri sendiri. Yang tidak kalah penting adalah berani berkomitmen untuk bergerak. Dengan tekad menghentikan praktik experiential avoidance, individu yang bersangkutan pasti bisa keluar dari lingkaran menyesatkan tersebut. 

Baca Juga: Mengenal ADHD Tipe Inatensi pada Perempuan

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya