Agar Kognitif Anak Berkembang Optimal, Orang Tua Perlu Memahami Ini

Salah satunya dengan mengetahui gaya belajar anak

Orang tua perlu membekali diri dengan wawasan, keterampilan, ketekunan, dan berkomitmen untuk terus belajar. Tujuannya agar tidak ada tahap perkembangan yang terlewat sekaligus memaksimalkan potensi anak.

Akan tetapi, orang tua perlu bimbingan dari ahli agar tidak salah langkah. Hal ini disadari oleh MS School & Wellbeing Center, yang mengadakan talk show dengan tema "Yuk, Optimalkan Tumbuh Kembang Buah Hati" pada Sabtu (18/3/2022) di Kudos Cafe Surabaya.

Materi ini disampaikan oleh Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPEd, Psikolog. Simak penuturannya, yuk!

1. Mengenal konsep piramida pembelajaran terlebih dahulu

Mula-mula, Diana, panggilan akrabnya, mengenalkan konsep piramida pembelajaran atau the pyramid of learning. Konsep ini dikembangkan oleh Kathleen Taylor, seorang terapis okupasi, dan Maryann Trott, seorang pendidik khusus.

Sederhananya, anak harus memiliki keterampilan dasar untuk mengembangkan keterampilan lain yang lebih advance. Misalnya, sistem saraf pusat yang bekerja dengan baik akan mendukung sistem sensorik, yaitu olfactory (penciuman), visual (penglihatan), auditory (pendengaran), gustatory (pengecap), tactile (sentuhan), vestibular (keseimbangan), dan proprioception atau sense of space (kesadaran tubuh dalam ruang).

"Setelah koordinasi tubuhnya baik, baru anak bisa belajar. Di Finlandia, piramida bawah yang harus diutamakan lebih dulu, baru bagian atas. Sementara di Indonesia, banyak anak yang menganggap belajar tidak menyenangkan sama sekali karena badannya belum siap," terangnya.

2. Selain itu, orang tua juga perlu mengetahui tentang tahap perkembangan kognitif anak

Agar Kognitif Anak Berkembang Optimal, Orang Tua Perlu Memahami IniRosdiana Setyaningrum di hadapan audiens yang berjumlah belasan orang. (IDN Times/Nena Zakiah)

Diana juga menjelaskan tentang tahap perkembangan kognitif anak. Teori ini dicetuskan oleh Jean Piaget, psikolog yang berasal dari Swiss. Terdiri dari empat tahap, yaitu:

  • Tahap sensorimotor: Dari lahir hingga usia 2 tahun. Pada tahap ini, anak memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi, seperti melihat, mendengarkan, menggenggam, dan mengisap.
  • Tahap praoperasional: Dari usia 2 hingga 7 tahun. Anak mulai belajar menggunakan kata-kata dan gambar untuk mewakili objek. Selain itu, anak belum mengerti nilai benda. Jika diminta memilih selembar uang Rp10.000 atau sembilan lembar uang Rp1.000, mereka mungkin akan memilih yang kedua karena terlihat lebih banyak.
  • Tahap operasional konkret: Dari usia 7 hingga 11 tahun. Mulai berpikir logis, terorganisir, dan memahami konsep sebab akibat.
  • Tahap operasional formal: Usia 12 tahun ke atas. Memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan memikirkan konsekuensi sebelum melakukan tindakan.

3. Orang tua juga perlu mengetahui gaya belajar anak

Setiap anak adalah individu yang unik. Masing-masing memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Menurut Diana, ada tiga gaya belajar, yaitu visual, auditori, dan kinestetik.

Anak dengan gaya belajar visual lebih mudah menyerap informasi dalam bentuk tulisan, gambar, diagram, atau bagan. Lain halnya dengan tipe auditori, yang lebih memahami informasi dengan mendengar dan berdiskusi. Sementara itu, tipe kinestetik lebih menyukai pengalaman fisik, seperti menyentuh atau merasakan objek.

"Tiap anak cara belajarnya beda. Orang tua jangan saklek. Dan kalau belajar, jangan dibikin stres," ia mewanti-wanti.

Baca Juga: 5 Dimensi Tumbuh Kembang Anak Usia Prasekolah, Langsung dari Psikolog!

4. Disarankan untuk melakukan tes IQ di usia 5-6 tahun

Agar Kognitif Anak Berkembang Optimal, Orang Tua Perlu Memahami IniPraktek untuk mengetahui mata dominan. (IDN Times/Nena Zakiah)

Tes IQ (intelligence quotient) adalah tes untuk mengukur kemampuan kognitif dan potensi individu. Diana menyarankan untuk melakukan tes IQ saat anak menginjak usia 5-6 tahun. Mengapa?

"Supaya tahu butuh sekolah yang seperti apa. Selain itu, untuk melihat anak pintarnya di mana dan cara belajar yang tepat bagaimana. Tes IQ-nya dengan one on one, bukan tes tulis," jelasnya.

5. Terakhir, orang tua harus mengetahui bahasa cinta anak

Setiap orang memiliki bahasa cinta atau love language yang berbeda-beda. Tugas orang tua adalah mencari tahu bahasa cinta anak, lalu berikan ungkapan kasih yang sesuai supaya anak merasa aman dan dicintai.

Ada lima bahasa cinta, yaitu:

  • Sentuhan fisik (physical touch): Berupa pelukan, ciuman, genggaman tangan, atau elusan di kepala yang menghangatkan hati.
  • Kata-kata penegasan (words of affirmation): Berupa pujian, sanjungan, atau kata-kata yang membuat anak merasa istimewa. Akan lebih baik jika dilakukan dengan kontak mata.
  • Tindakan pelayanan (acts of service): Misalnya dengan membuatkan makanan favoritnya atau memperbaiki mainannya yang rusak.
  • Menerima hadiah (receiving gifts): Sebagian anak merasa sangat dicintai dan diperhatikan ketika menerima hadiah dari orang tuanya.
  • Waktu yang berkualitas (quality time): Sebagian anak tidak menginginkan apa-apa selain waktu yang berkualitas dengan orang tuanya. Ini bisa diwujudkan dengan berbagai cara, seperti membacakan buku sebelum tidur, menemani bermain di taman, dan sebagainya. Dengan ini, kita bisa membangun kepercayaan serta ikatan yang lebih dalam dan bermakna.

Baca Juga: 8 Manfaat Bermain bagi Tumbuh Kembang Anak, Gak Perlu Dilarang! 

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya