Pola Asuh Overparenting Membuat Anak Tidak Mandiri

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Setiap orang tua memiliki parenting style yang berbeda-beda. Namun, jangan sampai menjadi overparenting. Dikhawatirkan, nantinya anak menjadi tidak mandiri dan terlalu bergantung pada orang tua.

Berangkat dari itu, @childlife.id melalui program Thursday Parenting Class mengadakan live Instagram bertema "Pola Asuh Overparenting" pada Kamis (21/7/2022). Narasumber yang dihadirkan ialah Audrey Susanto, M.Psi., M.Sc., Psi, psikolog anak dan keluarga. Simak, yuk!

1. Apa itu overparenting?

Overparenting mengacu pada upaya orang tua untuk micromanaging kehidupan anak atau terlalu mengatur sampai detail terkecil. Mengutip Verywell Family, orang tua akan terus-menerus mengawasi anak untuk memastikan mereka membuat keputusan yang baik.

Menurut Audrey, orang tua yang overparenting memiliki fleksibilitas yang rendah namun sangat dekat dengan anaknya. Mereka tidak ingin melihat anaknya terluka, gagal, atau membuat kesalahan. Yang jadi masalah adalah ketika orang tua mulai takeover tugas anaknya. Orang tua yang menerapkan parenting style ini mungkin berkata, "Sini mama aja yang mengerjakan" atau "Sini mama bantu".

"Orang tua melakukan ini karena sayang dan takut anaknya kenapa-kenapa. Tapi, di sisi lain, anak jadi gak belajar," jelasnya.

2. Ciri-ciri orang tua yang overparenting

Pola Asuh Overparenting Membuat Anak Tidak Mandiriilustrasi orang tua menasihati anaknya (pexels.com/August de Richelieu)

Dari mana kita tahu apakah kita overparenting atau tidak? Terdapat beberapa tanda yang bisa dikenali, seperti:

  • Cenderung me-micromanage anak: Kita berpikir bahwa ini adalah "cara terbaik" atau "cara paling benar" untuk anak. Padahal, ini bisa membatasi anak untuk mengeksplorasi hal baru. Contohnya adalah terlalu mengatur pakaian yang digunakan anak atau mengerjakan PR anak tanpa diminta karena takut mereka gagal.
  • Mencegah anak mengembangkan kemandirian: Sadar atau tidak, sering kali orang tua melarang anak mengembangkan kemandirian. Misalnya, melarang anak membantu di dapur karena takut teriris pisau atau terbakar api kompor. Atau membantu menyiapkan keperluan ketika anak hendak study tour, padahal mereka bisa melakukannya sendiri.
  • Tidak bisa membiarkan anak gagal, terluka, atau kecewa: Sudah menjadi naluri orang tua untuk menjaga dan melindungi anaknya. Akan tetapi, tidak perlu mengintervensi terlalu jauh. Misalnya, anak bermusuhan dengan temannya karena hal sepele dan orang tua berusaha ikut campur. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri untuk mendapatkan pengalaman berharga.
  • Khawatir berlebihan: Khawatir adalah bentuk kepedulian. Namun, tidak sehat apabila berlebihan. Misalnya, anak (yang sudah remaja) hang out dengan teman-temannya, tetapi hanya diizinkan keluar kalau diantar jemput oleh orang tua.
  • Mencoba mengontrol cara orang lain memperlakukan anak: Percaya atau tidak, ada beberapa orang tua yang berusaha mengontrol cara orang lain memperlakukan anaknya. Contohnya, berusaha negosiasi dengan guru supaya anak mendapat nilai yang lebih bagus, atau tersinggung dan marah-marah ketika anaknya ditegur orang lain atas kesalahannya.

3. Fenomena ini tidak hanya ditemui di negara-negara Asia

Banyak dari kita yang berpikir kalau orang tua yang overparenting hanya ada di negara-negara Asia, mengingat masih banyak orang tua yang terlalu mendikte anaknya. Namun, menurut Audrey, fenomena ini juga ditemukan di negara-negara Barat.

"Salah satu riset paling besar tentang overparenting itu dari Stanford University. Ternyata, masih banyak anak di negara Barat yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu tergantung. Bahkan, sampai pemilihan kamar (asrama) dan segala macam masih banyak campur tangan orang tua," tuturnya.

Baca Juga: Anak Dibesarkan Tanpa Ayah, Apa Dampaknya?

4. Dampak negatif overparenting pada anak

Pola Asuh Overparenting Membuat Anak Tidak Mandiriilustrasi anak berebut mainan (pexels.com/Victoria Borodinova)

Chris Segrin dan rekan-rekannya dari University of Arizona, Amerika Serikat (AS), melakukan penelitian tentang overparenting yang melibatkan ratusan orang tua dan anak usia dewasa muda (young adult) di berbagai negara bagian di AS.

Hasilnya, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung memiliki efikasi diri yang rendah. Efikasi diri merupakan kepercayaan seseorang atas keahlian dan kemampuannya sendiri.

Selain itu, mereka juga cenderung self-entitled atau berpikir bahwa mereka pantas mendapatkan segalanya tanpa berusaha meraihnya. Mereka menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta. Dilansir Psychology Today, ini adalah sifat utama yang mendorong perilaku narsistik.

5. Parenting yang baik adalah yang seimbang

Audrey menekankan bahwa parenting yang baik adalah yang balance atau seimbang; tidak terlalu mengatur dan tidak terlalu mengabaikan, tidak terlalu keras serta tidak terlalu lembek, tidak terlalu strict namun tidak terlalu membebaskan.

"Nah, lalu pertanyaannya, bagaimana caranya kita tahu bahwa kita sudah balance? Gak ada ukurannya. Antara satu anak dengan anak lain balance-nya bisa berbeda. Aku selalu percaya orang tua yang paling tahu dan paling bisa ngerasain," pungkasnya.

Baca Juga: Seperti Apa Kondisi Psikologis Orang Tua yang Kehilangan Anaknya?

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya